webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasi
Peringkat tidak cukup
16 Chs

Give My Heart Away

Aku duduk dengan tubuh segar. Andin tertidur di kasur Lido, sementara Lido tidur di karpet bawah. Suara dengkuran manusia yang satu ini mampu mengalahkan beruang kutub!

Aku tidak berniat membangunkan mereka. Dengan perlahan aku menuju kamar mandi dan bersiap untuk kembali beraktivitas hari itu.

"Gila! Udah seger aja, yakin bisa gawe, Bi?" tanya Lido dengan mulut menguap saat aku keluar dari kamar mandi.

"Udah," jawabku singkat.

Lido mengangguk dan tidak lagi bertanya.

Andin bangun dan menanyakan hal yang sama. Aku hanya tersenyum dan mengacungkan jempolku. Dia terlihat masih mengantuk. Mungkin cewek itu begadang tadi malam. Menurut Andin, ia turut bertanggung jawab terhadap keselamatan hidupku. Sebuah prinsip dan pemikiran yang aneh. Tapi aku baru sadar, aku sangat menyayangi sahabatku yang satu ini.

Seruan panik dari Pak Hartono terdengar dari luar, memanggil kami untuk membaca pesan yang ia terima.

Tanpa membuang waktu, aku bergegas keluar dan menghampiri Pak Hartono. Tangannya mengulurkan ponsel dan aku menerima dengan gemetar.

-Har, sorry aku juga ditekan. Tapi kali ini aku tidak akan diam. Wilayah selatan, deket pantai Plengkung juga sudah di acc untuk dibangun besar-besaran sebuah resort. Bukan cuman itu, Alas Purwo juga bakal di buat kayak safari. Bagus sih, tapi sayangnya akan mengorbankan banyak lahan. Har, aku bakal dukung kamu. Besok aku datang.

salam

Wiryo-

"Siapa ini, Pak?" tanyaku.

"Kapolsek. Pak Lurah juga sudah mengajukan diri untuk mendukung," jawabnya. Wajahnya masih gusar.

Ibu Jane menunjukkan wajah lega, dipeluknya Pak Hartono dengan erat.

"Good news," bisiknya.

"Mereka nggak tau apa ya? Alasan tempat ini tidak pernah di utak-atik karena ini satu-satunya tempat terakhir hutan yang bertahan di pulau Jawa? Kemana lagi satwa itu mau hidup bebas? Dimana lagi pohon bisa tumbuh tanpa takut ditebang?" Mas Pur terdengar emosional.

"Aku mulai gerakin semua petugas malam ini. Rencana Bea sama kamu apa?" tanya Mas Rudi sambil membetulkan syalnya.

"Kapan rencananya perataan tanah dimulai?" tiba-tiba Bea bertanya setelah sekian lama tidak muncul. Atau mungkin aku yang tidak pernah melihatnya.

"Nggak ada info, mungkin minggu depan?" jawab Pak Har.

Bea menyambar sepatu ketsnya dan memberiku isyarat untuk mengikuti.

"Aku ke utara dan kamu ke selatan, kita ketemu tengah malam di Pura Giri Selaka."

Begitu singkatnya pemberitahuan itu aku menjadi gugup dan hanya mengikuti tanpa sempat bertanya lagi.

Gadis itu melihat ketidak siapanku, Bea mendekat dan berjingkat mencium pipiku.

"Vor ave," (good luck) bisiknya.

Pekikan girang tertahan, keluar dari mulut Andin dan Lido, aku tersipu sejenak. Ibu Jane tertawa pelan. Dengan gugup, aku bergegas menyusul Bea ke tepi hutan untuk menghindari komentar Pak Hartono dan yang lain.

Siulan nyaring memanggil Argon dan Balu untuk datang dan membawa kami ke dua arah berbeda.

Beata Rusli - Wilayah Utara

Gadis berambut merah ikal itu berlari di sepanjang teluk Banyubiru. Mesin-mesin besar traktor sudah tidak ada, berganti timbunan pasir dan tumpukan karung semen di ujung jalan. Batako, kerikil dan besi terlihat masih di atas truk.

Bea kembali ke tepi hutan. Jari lentiknya menyentuh pohon satu persatu yang tergeletak begitu saja setelah ditebang.

Mukanya menyimpan duka.

"Lay berivu, grutedui hemirnedui y cranski nay ponstuna. Lonstiqe bansei zurutshi, gur darey thertra wertiz komune, et hertiz werdhu prebine curey gigantez."

(Wahai malam, kutitipkan para sahabat yang tergeletak tak berdaya. Biarlah mereka tertidur, agar matahari esok bisa membangunkan. Dewi tanah akan mendukung mereka untuk tumbuh hingga kokoh kembali)

Bea meratap dan terus meratap. Seratus lebih pohon teronggok di sepanjang tepi hutan.

Mereka tidak tahu, bahwa saat mereka bertunas, berdaun, beranting adalah seperti proses sebuah kehidupan bertumbuh.

Memotong dan menggunakan mereka tanpa sebab hanya membuat satu kehidupan sebuah pohon sia-sia.

Semua ini hanya karena sistem dunia modern yang bergulir mengikuti ego satu species. Manusia.

Bian - Wilayah Selatan

Daerah selatan belum separah wilayah utara, tapi area sekitar 5 are mulai ditebang pohonnya. Betul-betul nekat.

Pinggir pantai terlihat lebih luas dan mungkin itu tujuannya, membuat sebuah hotel mewah dengan beach frontage.

Balu melenguh panjang. Aku langsung bersikap waspada. Kutepuk Balu untuk terus melangkah.

Sekitar seratus meter dari lokasi, sekumpulan orang mengelilingi api unggun di tepi pantai.

Kupikir penduduk sekitar, tapi setelah melihat pakaian mereka, baru kusadari, mereka pendatang yang berusaha mengusir penghuni dunia bawah, dengan ritual!

Hampir tengah malam aku tiba di Giri Selaka. Perjalananku dari pantai Plengkung cukup dekat.

Tapi berhubung kami harus melalui pohon yang berserakan, aku harus bersabar. Balu berjalan laksana panglima melewati para prajuritnya yang tewas di medan perang, sangat berhati-hati dan mendengus sedih.

Giri Selaka tampak sedikit terang. Entah darimana asal penerangan itu. Setahuku listrik tidak mencapai hingga ke lokasi ini.

Argon yang berbaring melingkar di gapura masuk, langsung berdiri. Aku menganggukkan kepala padanya dan dibalas dengan rundukkan kepala penuh hikmat.

Begitu aku melangkah masuk, di pelataran pura tampak Gayatri dan punggawanya. Bea duduk di hadapan mereka. Aku bersimpuh dan memberi salam. Gayatri mempersilahkan aku untuk bergabung.

Kulirik Bea yang tertunduk. Wajahnya tertutup rambut ikal panjangnya. Gaun yang berwarna biru pudar tampak kusut.

Gayatri melanjutkan keluhannya. Persis sama dengan yang kami hadapi sebelumnya. Rakyatnya harus mengungsi dari utara dan selatan. Kegundahan dunia bawah sudah hampir berada di puncak kesabaran.

Salah satu punggawanya bahkan menyebut jika Bea tidak bisa menghentikan, maka kerajaan jin di Alas Purwo akan bertindak.

Bea terdiam. Berada pada pilihan sulit dan terdesak. Dilema jika membiarkan ini terjadi maka manusia akan berperang melawan yang tidak bisa mereka sentuh atau lihat. Kekalahan bagi kaum yang hidup, manusia.

Tapi menghentikan pembangunan itu pun bukan hal yang mudah. Mana mungkin Bea bisa menyakinkan manusia modern yang tidak percaya akan hal di luar nalar?

"Beri kami waktu tiga hari," jawab Bea akhirnya.

"Aku akan mendampingi Bea, hingga ini bisa kami redam. Akan kukumpulkan segenap lekuatan untuk melindungi Alas Purwo." Ucapanku terdengar dengan tegas dan jelas.

Gayatri masih terlihat tidak puas. Tapi kepercayaannya terhadap Bea menyingkirkan keraguan. Setelah mendengar janji kami, mereka lenyap dan menghilang.

Bea menghela napas panjang. Kami bangun dan berjalan keluar pura. Di gapura langkah Bea terhenti.

"Bi, maukah kamu bertahan hingga akhir?" tanyanya seperti tidak yakin.

Aku diam. Hatiku bergejolak tidak tenang. Perasaan yang ada selama ini semakin nyata. Tidak perduli seberapa keras kuingkari, dialah yang terpilih oleh hatiku.

Bea berdiri dua tangga di atasku. Posisi kami sama tinggi. Aku hanya bisa melihat wajahnya samar-samar.

Aku ingin menjawab tapi hatiku berkata lain. Kuangkat dagu mungil Bea, dengan gemetar aku mencium bibirnya dengan lembut. Aroma mints terasa di mulutku.

"Itu jawabanku," bisikku dan berlalu menuju Balu yang melompat girang.

Entah aku yang salah lihat atau tidak, kulihat senyum tersungging di bibir Bea. Malam ini, aku menyerahkan hatiku pada Sien Lingurna!

♧♧♧

Bersambung