webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasi
Peringkat tidak cukup
16 Chs

Battle

Hari ketiga. Hari terakhir. Tanganku berkeringat dan pikiranku tidak tenang. Setelah makan siang, Pak Hartono kembali dari kota dengan wajah putus asa. Saat istrinya bertanya, Pak Hartono tidak menjawab, tapi menangis sesegukan.

"Hancur kita, Jane. Hancur!" ratapnya pilu.

Belum sempat kami bertanya, mas Pur berlari tergopoh-gopoh dan masuk dengan omongan yang tidak beraturan.

"Pak! Diserang. Bakar-bakaran! Jin setan semua di desa!" seru mas Pur panik.

"Apa? Gimana Pur? Minum dulu minum."

Pak Hartono memberikan isyarat untuk memberi Mas Pur minum. Andin menyodorkan gelas dan di minum hingga habis.

"Dah, sekarang ayo ngomong," pinta Pak Hartono.

"Ada sekelompok orang menghancurkan alas tengah, Giri selaka pohonnya ditebang dan di bakar, jin dan setan-setan mengamuk desa sudah diserang, kiamat Maaaas ...!" tangis mas Pur. Ya Tuhan, Merin ada di sana. Aku menoleh ke arah Bea, mukanya mengeras.

"Pasti Windu, Pakdhemu Bian, dia sudah beraksi," seru Tante Lies. Mukaku panas. Emosiku mengelegak.

"Hari ini akan selesai semuanya. Mas Bian, ayo kita pergi ke sana dan siapkan pasukan. Sudah saatnya!" desis Bea geram. Aku mengangguk dengan mantap dan mendahului langkahnya.

Kami melesat dengan kecepatan penuh. Di sepanjang jalan Bea berteriak penuh angkara,

"Lay bordus foteska, wertiiiiiz! Est tentani du respite!" (Wahai penghuni hutan, banguuuun! Sudah saatnya kau berbakti!)

Satu persatu pohon bergerak, mencabut diri mereka sendiri. Akar yang besar mencuat dan menggetarkan bumi.

Aku shocked dan memegang tanduk Balu kuat-kuat. Pohon raksasa mengikuti langkah kami menuju ke tengah hutan.

Pertempuran dimulai.

Pasukan pohon raksasa di belakang kami. Mengiringi kami dan kian bertambah banyak. Setelah tiba di Giri Selaka, hatiku miris. Tempat yang tadinya begitu indah hancur berserakan.

Bea menangis, melolong laksana serigala yang menyanyikan lagu kematian. Orang-orang yang tadi diberitakan mas Pur, sedang merapal berbagai mantra dan melawan jin yang murka. Mereka menghancurkan pohon juga gua tempat para pertapa bersemedi.

Raungan Bea tidak menghentikan para perusak. Serangan mereka dengan ilmu hitam dan tenaga dalam meluluh lantakkan hampir sebagian Alas Purwo.

Pasukan pohon tidak tinggal diam, mereka menyebar dan menerjang para perusak. Ada perusak yang hancur tubuhnya ditimpa akar raksasa. Tapi tidak sedikit pohon yang patah dan hancur berkeping-keping.

Para satwa lari serabutan menyelamatkan diri. .

"Quentiva, pergilah ke desa. Selamatkan penduduk, aku akan menangani di sini!" teriak Bea.

Balu membawaku pergi laksana angin. Sepanjang jalan menuju desa kerusakan di beberapa pos terlihat. Aku menahan amarah. Manusia serakah, perusak!

Di gapura masuk desa jerit tangis terdengar.

Aku melihat pemandangan yang mengerikan. Di bawah langit yang tiba-tiba gelap, mahkluk dalam berbagai wujud merasuki, menyerbu dan membantai penduduk tanpa kecuali.

Semua lari tunggang langgang.

Aku meloncat turun. Kusentuh tanah dan kupanggil angin.

"Werdhu en britski, meibiens diaz ...."

(Tanah dan angin, bantulah kami)

Aku mengacungkan tanganku, berkonsentrasi dan fokus. Tanah di sekeliling desa dengan lebar satu meter bergetar naik membentuk tembok. Makin lama semakin tinggi. Hingga mencapai pohon kelapa.

Hewan buas tidak akan bisa menembus desa. Aku melompat dengan bantuan angin, menerjang ke arah mahkluk yang sedang menyerang penduduk.

Entah dari mana kekuatanku berasal, setiap mahkluk yang kuhantam, berteriak kesakitan.

Aku berkeliling ke seluruh batas desa terluar, dan membangun tembok berikutnya.

"Werdhuist! Meibiens totska vollui frontire gur nay exerte!" (Tanah yang sakti! Bantulah menahan semua mahkluk agar tidak bisa keluar)seruku memerintah.

Jika ini keajaiban pertama yang kusaksikan, aku akan hilang kesadaran. Dari tembok tanah yang kubangun, muncul manusia kerdil tanah liat berpuluh-puluh jumlahnya, mendaki tembok tanah dengan lincah dan berdiri waspada.

"Mirei verde ...!" seruku kaku karena masih terpesona. (Terima kasih)

Kembali aku melayang di udara, angin membawaku ke perumahan desa dan berteriak lantang supaya penduduk mendengarku.

"Semua dengarkan! Satukan diri dan pikiran! Mulailah berdoa!!! Minta pada Allah SWT, Sang Hyang Widhi, Bapa Pencipta alam semesta, pertarungan kalian melawan yang tidak bisa dikalahkan dengan fisik, andalkan imanmu!"

Suaraku di bawa angin bergaung di tiga penjuru desa, bergema dahsyat dan menyadarkan penduduk untuk bertenang dan mulai menguasai keadaan.

Aku turun kembali ke tanah. Sementara lantunan doa mulai bergulir dan di gumamkan, aku terus menghantam satu persatu mahkluk tidak kasat mata yang masih berkeliaran.

Tiba-tiba kudengar Balu melenguh panjang sambil menjejakkan kaki ke tanah gusar. Tanah yang kupijak bergetar. Kulihat kerikil dan debu berterbangan. Auman Argon dari kejauhan membuatku merinding.

Dentuman keras membahana terdengar, dan seiring itu tanah mulai bergoyang hebat. Para wanita dan anak-anak menjerit ketakutan. Gempa pertama!

Hatiku mulai gentar. Aku memanggil angin dan melayang ke atas.

Di kejauhan, kulihat pohon mulai tercabut dan terbakar. Para satwa berlarian tunggang langgang tidak tentu arah. Aku berteriak kepada Balu untuk memimpin mereka.

Banteng perkasa itu melenguh dan menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang handal. Seluruh satwa di giring menuju ke satu titik.

Baru saja aku bernapas lega, sosok yang maha besar setinggi gedung tingkat lima berjalan menuju arah kami berdiri dan semakin mendekat.

Rambutnya terbungkus api, mukanya bengis dan giginya runcing. Mata mahkluk itu nanar memandang kebawah sembari menghancurkan yang dilewatinya.

Oh Tuhan, aku mengenal dia. Hatiku merintih. Apa yang menyebabkan dia seperti ini?

"Sien lingurna ...," bisikku pedih.

Belum sempat aku mendekati dia, Sien Langurna menghantam kembali tanah dengan kedua tangannya. Kali ini lebih dahsyat.

Tanah bergoncang dengan hebat, rumah penduduk mulai rubuh, tanah retak mengangga lebar menciptakan jurang yang mengerikan.

Api dirambutnya menjalar menutupi seluruh tubuh sang penghukum. Langit semakin gelap dan pekat, aku harus melakukan yang menjadi takdirku.

Kusentuh tanah dan kuperintahkan untuk mengunci kaki sang rakeshi. Butuh sekian detik untuk dewi tanah menahan kaki rakeshi hingga tidak mampu bergerak. Raungan keluar dari mulutnya.

"Sien langurna! Ber amortusdu!" Seruku membahana. (Sang penjaga, redam amarahmu)

Dia menengok ke arahku. Aku melayang mendekatinya. Api semakin berkobar di tubuhnya.

Kuberanikan diri semakin mendekat.

"DERA MERIN, DERA MERIN ...!" Ucapan meraung keluar dari mulutnya.

(Dimana Ibu, dimana Ibu - pohon tua-)

Aku tidak bisa menahan rasa sakit di dada, Merin telah tiada. Sontak nyaliku hilang.

Perasaanku campur aduk, terutama menyaksikan wanita yang kucintai dalam rupa sang penghukum. Api dari tubuhnya mulai membakar sekeliling. Aku bisa mendengar rintihan semak dan pepohonan.

Sebelum aku memeluk tubuhnya untuk meredam angkara sang penghukum, aku ingin mengucapkan sesuatu. Pikiranku yang buntu dan panik tidak mampu menciptakan kalimat indah. Detik demi detik berlalu, dan aku melafaskan kalimat, yang mungkin menjadi, terakhirku.

"Bea, aku mencintaimu. Menikahlah denganku jika Tuhan mengijinkan!" Mahkluk itu berhenti dan memandangku. Aku meminta angin untuk membawaku kepada wanita yang kucintai.

Di luar dugaanku, angin tidak mengangkatku tapi menciptakan putaran angin beliung yang besar dan menerpa rakeshi dengan hantaman dahsyat, disusul tanah dan batu menghujaninya.

Aku berteriak histeris, melihat tubuh Bea terlempar ke belakang dan berdebum keras hingga tanah bergetar.

Aku berlari sekuat tenaga, mencoba melampaui jarak dan mencapai tubuhnya.

Kakiku terasa sakit, otot pahaku menjerit. Tapi tidak perduli, aku harus melihat Bea.

Di tanah lapang yang sudah porak poranda, tergeletak tubuh wanita yang menjadi pusat hidupku. Utuh. Dalam bentuk sempurna. Seorang gadis yang bernama Beata Rusli.

Kuangkat kepalanya perlahan dan kukecup keningnya, dengan bulir demi bulir mengalir deras di kedua pipiku.

"Bangun, Bea. Bangunlah," ratapku penuh harap. Suara rem mobil jeep terdengar dari belakangku. Pak Hartono dan Ibu Jane menghambur dan memeluk Bea dengan ratapan pilu.

Sebuah sulur pohon turun perlahan dan merambat membungkus tubuh Bea. Daun-daun sulur itu mengeluarkan getaran dan sinar redup berwarna hijau.

Sulur lainnya menjulur dari berbagai arah, membungkus dan mengeluarkan sinar hijau yang sama. Tubuh Bea tertutup oleh dedaunan. Kami takjub oleh pemandangan itu.

Satu menit berselang, sulur pohon itu mulai terurai. Kami tidak tahu apa yang selanjutnya dilakukan.

"Bea, wake up my baby, please wake up ...." bisik Ibu Jane dengan bibir dan tangan gemetar.

Kelopak mata Bea mulai bergerak. Ucapan syukur terucap dari mulut kedua orangtuanya. Tanganku masih memegang jarinya. Bea membuka mata, pandangannya menyapu ke semua yang hadir. Aku pun baru sadar Andin, Lido dan Tante Lies sudah berada di belakangku.

Kami menunggu dengan sabar kata-kata pertamanya, Bea mengerjapkan matanya dan memandangku.

"Damn, you asked me to marry you without a ring? What kind of proposal is that?" serunya dengan suara Bea yang biasa kami dengar. Sejenak kami berpandangan, dan akhirnya aku tertawa terbahak-bahak yang disusul oleh yang lain.

Argon berlari bak kucing manja ke pelukan Bea dan menjilat seluruh wajahnya.

Sementara Balu dari jauh masih berdiri siaga menjaga hewan-hewan supaya tidak berlarian. Lenguhan panjangnya menambah kegelianku. Rupanya dia protes karena tidak bisa bergabung dengan kami.

Tante Lies, Andin, Pak Hartono, dan seluruh petugas yang selamat, mengumandangkan zikir dan ayat-ayat suci untuk meredam dan mengembalikan mahkluk dunia bawah ke asal mereka.

Aku selamat.

Aaah, inilah kemenanganku.

Ternyata dengan sedikit bantuan dari Mr. God akan berjalan baik. Eh, maksudku a big help, not a little, peace for you dear God ....!

The real Guardian of the Universe.

Hujan rintik turun. Ucapan syukur bergaung. Kami tertatih-tatih berdiri dan memandang alam yang hancur.

Petaka telah berlalu.

♡♡♡

Epilog

Setahun kemudian.

Alas Purwo sudah pulih kembali.

Ibu membetulkan dasiku. Aku tersenyum grogi. Tapi ibuku? Tersenyum puas. Dasi pilihannyalah yang bertengger di leherku, bukan dasi pilihan Tante Lies.

Andin masuk ke kamar dan berdehem jahil.

"Ciiieeeeh yang mau belah duren ntar malem," ledeknya genit.

Aku hanya menggerakkan alisku cuek.

"Ndin, sisir rambutnya lagi berantakan tuh," perintah ibuku. Andin mengambil sisir dan aku mengelak dengan berdiri.

"Udah ah, ngak kelar-kelar dari tadi," gerutuku.

Kepala tante Lies muncul dengan sanggulnya yang besar.

"Tamu resepsi dah kumpul. Ayo keluar semua," ajaknya dengan tidak sabar. Ibu dan Andin bergegas keluar.

Aku mengintip dari jendela. Halaman sudah tampak penuh tamu undangan.

Astaga, Bea sudah di bawah sibuk bersalaman dan saat melihatku, dia tertawa riang,

"Kesinilah pengantinku, jangan malu-malu!" Serunya keras dan menggoda.

Hadirin tertawa terkikik. Aku mendelik.

Belum sempat memprotes, Bea bersiul, aku sudah menduga ini akan terjadi.

Argon dan Balu muncul dengan gagah dan sombongnya mengaum serta melenguh bersahut-sahutan.

Hadirin yang datang bertepuk tangan dan menjerit kagum. Aku tertawa dan melompat dari jendela ke bawah. Ibu dan tante Lies melotot dan teriak jengkel.

Bea menarikku dengan perkasanya menuju Argon dan Balu. Aku pasrah dan mengikutinya.

Duh resiko punya istri power ranger. Huhuhu ...

Ditepi sungai segoro anak, kami melabuhkan bunga.

"Seandainya Merin masih ada," bisik Bea mengusap butiran yang jatuh.

"Dia akan selalu ada, di hutan ini," jawabku sambil memeluk tubuhnya. Bea mempererat pelukannya.

"Bi," panggilnya.

"Ya,"

"2019 akan ada angkara dari negeri seberang, Sien lingurna dari negeri itu akan membutuhkan semua untuk berkumpul dan membantu," kata Bea dengan suara bergetar.

"Akan kita hadapi bersama ...." jawabku sambil mengecup keningnya.

Rasa damai menyelinap. Kami sudah bersama. Untuk seratus tahun ke depan.

Terima kasih Tuhan, hidupku penuh keajaiban!

-Tamat-