Bahagia adalah kata yang paling sering diminta setiap insan dalam doa-doanya. Dalam kenyataan, bahagia sangatlah sulit untuk ditemukan terutama oleh orang-orang yang tidak tahu apa arti bahagia yang sesungguhnya. Sebenarnya apa itu bahagia? Apa bahagia itu harta? Memiliki uang yang banyak? Atau cinta?
Arti kebahagiaan berbeda-beda untuk setiap orang. Begitupun cara berpikir manusia yang berbeda-beda dalam menjalani hidup.
Happiness is when what you think what you say, and what you domare in harmony, kata Mahatma Gandhi. Sedangkan Aristotles mengungkapkan, Happiness is the meaning and the purpose of life, the whole aim and end of human existence.
Terserah apa kata orang tentang kebahagian. Bagi Dira kebahagiannya hanya satu, yaitu melihat senyuman menemani hidup Rani. Hanya kebahagian kecil itu yang selalu Dira harapkan, semoga Tuhan tidak mengecewakan Dira dengan menolak kebahagian yang selalu ia dambakan.
Bukankah Tuhan itu sangat baik?
Dira melengkungkan bibirnya saat melihat tawa lepas dari bibir Rani. Gadis kecil kesayangannya sedang bercanda dengan Bayu di sofa yang ada di theater room. Rani dengan manja duduk di atas pangkuan Bayu. Dira tidak menyangka keduanya akan akrab dengan sangat cepat. Padahal ini baru hari ketiga Dira dan Rani tinggal di kediaman keluarga Anggara.
Kedekatan Bayu dan Rani terjalin dengan natural. Rani selalu menempeli Bayu. Dan Bayu yang selalu berusaha agar bisa akrab dengan Rani guna memenuhi janjinya sesuai dengan surat perjanjian. Mereka mencoba untuk saling melengkapi.
"Ayah, kenapa langit warnanya biru?" tanya Rani dengan gaya khas anak kecil.
"Karena gak merah," jawab Bayu. Laki-laki itu menampilkan wajah sok pintar.
"Kenapa satu tambah satu, bisa jadi dua?" Rani kembali bertanya.
"Karena gak tiga, makanya jadi dua."
"Kenapa matahari itu terang?"
"Karena gak gelap."
"Kenapa Ayah ganteng?"
"Karena takdir."
"Woooa," Rani berseru bangga. "Ayah pintar! Semua pertanyaan Rani bisa Ayah jawab."
Bayu merapikan tatanan rambutnya dengan gaya songong. “Manusia tampan seperti Ayah tidak pernah lahir menjadi orang bodoh. Jadi Rani juga harus jadi pintar, seperti Ayah.”
Dira yang mendengarkan percakapan keduanya dari ambang pintu hanya dapat menggeleng tidak percaya. Dia tidak habis pikir laki-laki perfeksionis seperti Bayu bisa berkata ngaur. Apa yang diajarkan Bayu pada anaknya adalah ajaran sesat. Kenapa bisa satu tambah satu jadi dua? Dan jawabannya adalah karena bukan tiga. Adakah yang lebih lucu dari tiga? Mungkin empat!
"Bundaaa!"
Dira tersentak kaget mendengar teriakan Rani. Lamunan singkatnya buyar seketika.
"Bunda, ayo sini gabung sama Ayah dan Rani," ajak Rani semangat. Gadis kecil itu mengayun-ayunkan tangannya sebagai isyarat agar Dira segera bergabung dengan mereka.
Mata Dira melirik pada Bayu. Senyuman kaku tercipta di bibirnya. Sekalipun Rani sudah cukup akrab dengan Bayu, bukan berarti hubungan Dira dengan laki-laki itu juga berjalan baik.
Komunikasi antara Dira dan Baru hanya terjalin sekedarnya. Bayu selalu bersikap angkuh di hadapan Dira. Tak jarang laki-laki itu menotot garang pada Dira, seperti seseorang yang menyimpan dendam keramat.
"Bunda!"
Suara Rani kembali menyentak Dira. Dengan gelagapan dia segera menuruti permintaan Rani untuk bergabung dengan gadis kecil itu dan juga Bayu. Dira berdiri kaku di samping sofa yang diduduki Bayu dan Rani. Melihat ekspresi datar Bayu membuat tingkat kegugupan Dira semakin tinggi.
Dira menelan air liur dengan susah payah. Ia mencoba meredam kegugupannya. "Rani, mandi yuk ini sudah sore. Ayah juga pasti capek karena baru pulang kerja. Ayah harus istirahat."
"Yaaah Bunda, baru juga Rani ngobrol berdua sama ayah," sahut Rani dengan nada kecewa. Siapa yang tidak kecewa jika kesenangannya diusik?
"Tapi Ayah harus istirahat, sayang," bujuknya.
Rani merenggut tidak suka. Bibir kecilnya sengaja ia monyong-monyongkan sebagai bentuk kekesalannya pada Dira. Bundanya itu suka sekali mengganggu.
Dira segera membungkukan badannya untuk mengambil Rani dari pangkuan Bayu. "Ayo kita mandi, sayang."
Tanpa Dira sadari, Bayu menahan napas karena jarak Dira yang terlalu dekat. Bayu dapat mencium aroma sampo yang digunakan perempuan itu. Tidak pernah Bayu menghirup wangi semenenangkan ini sebelumnya. Ingin rasanya dia menghirup aroma ini untuk waktu yang lama. Syaraf-syaraf Bayu seolah berhenti berkerja karena wanginya. Dan dia merasa kehilangan saat Dira kembali tegak setelah berhasil meraih Rani dalam gendongan.
"Ayo, pamit dulu sama Ayah," instruksi Dira pada Rani.
"Ayah, Rani mandi dulu ya. Nanti kita main lagi," pamit Rani dan hanya dibalas anggukan kaku oleh Bayu.
Melalui ekor matanya Bayu mengiringi langkah Dira dengan lirikan. Setiap berada di sekitar perempuan itu Bayu selalu merasa bingung harus berbuat apa. Kecanggungan membuat Bayu harus bersikap galak pada Dira, jaga wibawa istilahnya.
~000~
Malam semakin dalam. Matahari jauh tenggelam ditelan kegelapan, hilang dan tak terlihat lagi. Hanya cahaya bulan dan bintang yang menguasai langit malam.
Saat semua makhluk terlelap dalam balutan selimut tebalnya, Bayu justru masih larut dalam buaian tablet yang ia genggam. Laki-laki itu memeriksa file yang memang perlu untuk diperiksa. Berulang kali kerutan muncul di keningnya yang menandakan betapa serius Bayu menekuni pekerjaannya.
Bayu meletakkan tablet-nya. Rasa haus menghampiri Bayu, ia meraih gelas yang ada di atas nakas. Gelas yang tadi berisi air kini kosong. Ah, terpaksa dia harus pergi ke dapur.
Dengan langkah malas Bayu menuruni ranjangnya menuju dapur. Ia berjalan menuju lantai bawah yang gelap. Bayu menuruni tangga, melewati theater room, ruang tamu, dan tunggu!
Langkah Bayu terhenti di ruang tamu saat ia melihat bayangan yang melintas. Itu bukan hantu, bukan. Jaman sekarang tidak ada yang namanya hantu. Itu pasti seorang manusia. Kini indra pendengaran Bayu yang bekerja. Ada suara langkah kaki menuju dapur. Dengan pelan laki-laki itu mengikutinya.
Suara langkah itu berhenti di dekat meja makan, kemudian terdengar suara kursi yang bergeser. Sepertinya seseorang akan duduk.
"Hmmm, besok kita ketemu." Seseorang berbicara dengan nada pelan melalui sambungan telepon. Bayu mendengarkan dengan seksama dari balik pintu masuk dapur.
Jika tidak salah menebak, suara ini adalah milik Dira. Bayu yakin itu.
"Apa? Kita jalan-jalan? Ke mana?" Dira kembali bersuara.
"Apa tidak merepotkan kalau bawa Rani? Hmmm ... ya sudah, Rani ditinggal saja."
“Hahaha, ada-ada saja,” Dira tertawa lebar. Entah apa yang dibicarakan seseorang di sana, hingga Dira tertawa sampai matanya menyipit.
Senyuman Dira menipis. “Ada banyak hal yang terjadi beberapa hari ini.”
"Oke! Besok kita ketemu di taman kampus. Sampai besok, Rama," ujar Dira halus pada seseorang yang jauh di sana, kemudian dia mengakhiri sambungan telepon itu.
Bayu tersenyum miring mendengar percakapan Dira. Licik sekali perempuan itu, dia ingin pergi jalan dengan cowok sementara anaknya ia terlantarkan. Ibu macam apa Dira?! Dasar tidak bertanggungjawab!
Lihat saja, Bayu tidak akan membiarkan Dira pergi dengan laki-laki itu. Bukannya cemburu atau apa, pokoknya tidak boleh saja.
Beberapa ide muncul di otak jenius Bayu untuk menggagalkan acara Dira besok. Enak saja perempuan itu ingin bersenang-senang dengan laki-laki lain, sementara dia harus bersusah payah menjadi sosok Ayah yang siap-siaga. Itu tidak adil namanya.
"Ya ampun!" Dira memekik kaget saat mendapati Bayu berdiri di balik pintu ketika dia berjalan keluar dapur.
Tidak jauh beda dengan Dira, Bayu juga sama kagetnya seperti Dira. Apa dia ketahuan menguping oleh Dira?
"Lo sedang apa di sini?" selidik Dira dengan nada kaku.
Bayu menggaruk tengkuknya bingung. Dia harus menjawab apa sekarang? Apa Bayu harus jujur dan mengatakan kalau dia sedang nguping? Big no, itu memalukan. Mau ditaruh di mana nanti wajah Bayu yang tampan ini?
"Gue lagi santai di sini." Sial! Ini jawaban yang sangat tidak keren, ketahuan kalau Bayu sedang bohong.
Dira hanya manggut-manggut, seolah ia dapat menerima alasan Bayu. Dia terlalu malas untuk membahas alasan Bayu yang kelihatan jelas sekali bohongnya. Dira tidak ingin terlibat komunikasi yang panjang dengan laki-laki itu.
"Lo sendiri lagi apa di sini?" Bayu balik bertanya.
"Gue habis teleponan sebentar dengan teman."
Sama pacar kali, Bayu mengkoreksi jawaban Dira dalam hatinya.
"Kenapa harus teleponan di sini?" Pengen pamer kalau lo punya pacar, Bayu mengomel sendiri melalui dewa batinnya. Tunggu dulu, kenapa Bayu jadi kesal sendiri seperti orang sedang dilanda cemburu? Ah, tidak!
"Kalau di kamar takut Rani terganggu. Dia sedang tidur," jawab Dira seadanya.
Bayu merespon Dira dengan bergumam sok cuek. Langkah kakinya bergerak memasuki dapur untuk menjalankan niatnya yang tertunda untuk minum.
Desahan lega lepas dari bibir Bayu saat satu gelas air dingin berhasil melewati tenggorokannya. Bayu melirik Dira sekilas. Bayu belum berani mematap Dira secara terang-terangan. Perempuan itu masih berdiri di ambang pintu dapur dengan kaku.
"Kenapa lo masih di sini?" Bayu berujar ketus guna menutupi kecanggungannya.
Apa maksud perkataan Bayu? Apa itu artinya Dira sedang diusir sekarang? Otak Dira sedang mencerna kalimat yang keluar dari bibir Bayu.
"Ayo sana masuk ke kamar lo!"
Oh benar, Dira diusir untuk segera pergi dari hadapan Bayu. Dengan gaya terburu-buru Dira memutar tubuh dan berlari kecil menuju kamar yang ia tempati bersama Rani.
Suara pintu kamar yang ditutup memenuhi keheningan malam. Dira memang sedikit membanting pintu kamar karena terburu-buru hingga menimbulkan suara yang cukup kuat.
Sumpah, itu hanya gerakan refleks karena tertekan akibat Bayu. Rasanya seluruh tubuh Dira bergetar saat berada di sekitar laki-laki itu.
Dira meraba dadanya, alat pemompa darah itu berdetak dengan cepat. Kata orang-orang, jika jantung kita berdetak dengan cepat saat berdekatan dengan lawan jenis itu artinya cinta. Eh salah, mana mungkin Dira jatuh cinta dengan Bayu. Sementara saat berada di sekitar laki-laki itu saja rasanya ia ingin pingsan karena gugup dan takut. Masihkah itu disebut cinta? Tolong tendang orang yang mengatakan itu sebagai cinta.
"Entah kenapa gue merasa aura Bayu itu mengerikan, padahal dia ganteng luar biasa," keluh Dira frustasi.
~o0o~