webnovel

tujuh belas

Aku tak bisa menahan senyum. Aku tahu siapa yang memenangkan perdebatan sengit itu.

la meneruskan, "Salve bersumpah kalau mereka ingin mempertahankanmu. Aku tidak begitu percaya, tapi kujelaskan bahwa mereka seharusnya membicaran urusan tersebut jauh sebelum sekarang. Kau mahasiswa, hampir lulus, dan nyaris menjadi associate, bukan sepotong barang. Kukatakan kalau aku tahu dia mengelola kantor pemeras tenaga, tapi kujelaskan bahwa masa perbudakan sudah selesai. Dia tidak begitu saja mengambilmu atau melepaskanmu, transfermu atau mempertahankanmu atau menyiakanmu."

Perempuan hebat. Tepat seperti itulah pikiranku.

"Kami menyelesaikan perdebatan, dan aku menemui Dekan. Dekan menelepon Alan Garber, partner pelaksana di Skadden. Mereka beberapa kali bertukar telepon, dan Alan kembali dengan dalih yang sama—Salve ingin mempertahankanmu, tapi kau tidak memenuhi standar sebagai associate baru di Skadden. Dekan curiga, maka Alan mengatakan bahwa dia akan melihat resume dan transkripmu."

"Tak ada tempat bagiku di Chris & Fou," kataku, seperti orang yang punya banyak pilihan.

"Alan merasakan hal yang sama. Katanya Skadden lebih suka melepasmu."

"Bagus," kataku, sebab aku tak bisa memikirkan apa pun yang cerdas. la tahu lebih baik. la tahu aku duduk di sini menderita.

"Kita tidak punya pengaruh besar pada Skadden. Selama tiga tahun terakhir ini mereka hanya mempekerjakan lima orang lulusan kita. Mereka jadi begitu besar, sehingga tak bisa diandalkan. Terus terang, aku tidak pernah punya keinginan untuk bekerja di sana." la mencoba menghiburku, membuatku merasa seolah-olah sesuatu yang baik telah terjadi padaku. Siapa yang butuh Chris & Fou dan gaji pertamanya sebesar 50.000 dolar setahun?

"Jadi, apa yang tersisa?" aku bertanya.

"Tidak banyak," katanya cepat. "Sebenarnya, tidak ada apa pun." la melihat beberapa catatan. "Aku sudah menelepon semua orang yang kukenal. Ada lowongan sebagai asisten pembela, paro waktu, 12.000 setahun, tapi itu sudah terisi dua hari yang lalu. Aku masukkan Gim Mafuse ke situ. Kau kenal Gim? Akhirnya dia dapat pekerjaan. Dan ada dua prospek bagus sebagai penasihat hukum pada beberapa perusahaan kecil, tapi keduanya mensyaratkan lulus ujian ikatan pengacara lebih dulu."

Ujian itu akan diadakan bulan Juli. Sebenarnya setiap biro hukum menerima associate baru segera sesudah lulus kuliah, membayar mereka, mempersiapkan mereka untuk ujian pengacara, dan mereka langsung lari begitu lulus.

la meletakkan catatan di meja. "Aku akan terus cari-cari, oke? Mungkin nanti dapat juga."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Mulailah mengetuk pintu. Ada tiga ribu pengacara di kota ini, kebanyakan kalau tidak praktek seorang diri, tentu mereka bekerja dalam biro hukum dengan dua atau tiga orang. Mereka tidak berhubungan dengan kantor penempatan ini, jadi kita tidak kenal mereka. Carilah mereka. Aku akan mulai dengan kelompok-kelompok kecil, dua, tiga, atau mungkin empat pengacara, dan membujuk mereka untuk memberikan pekerjaan. Tawarkan untuk menangani fish file mereka, menggarap koleksi..."

"Fish file?" aku bertanya.

"Ya. Setiap pengacara punya setumpuk fish file. Mereka menyimpannya di pojokan dan makin lama makin busuk baunya. Itu kasus-kasus yang mereka sesali usai mereka terima."

Hal-hal yang tak pernah diajarkan di sekolah hukum.

"Boleh aku bertanya?"

"Tentu. Apa pun."

"Nasihat yang kau berikan padaku saat ini, tentang mengetuk pintu, berapa kali pernah kau ulangi dalam tiga bulan terakhir ini?" la tersenyum sekilas, kemudian melihat printout. "Kita punya sekitar lima belas lulusan yang masih mencari pekerjaan,"

"Jadi, mereka ada di luar sana menjelajahi jalanan, saat kita berbicara sekarang?"

"Mungkin. Sulit dipastikan, serius. Beberapa di antaranya punya rencana lain yang tidak selalu mereka ceritakan padaku."

Saat itu sudah lewat pukul lima, dan ia hendak pulang. "Terima kasih, Mrs. Abigail. Untuk segalanya. Rasanya menyenangkan mengetahui jika masih ada orang yang peduli."

"Aku akan terus mencari, aku janji. Periksalah kembali minggu depan."

"Baiklah. Terima kasih. "

Aku kembali ke bilik belajarku tanpa diketahui.

***

RUMAH Miss Natalie Streep terletak di Midtown wilayah kota yang lebih tua dan makmur, hanya beberapa mil dari kampus sekolah hukum. Jalanannya dipagari pohon-pohon ek tua dan tampak terpencil. Beberapa rumah di situ cukup indah, dengan halaman rumput terpangkas dan mobil-mobil mewah berkilauan di jalan masuknya. Namun ada juga rumah lain yang tampak tak terurus, mengintip menyeramkan dari pohon-pohon lebat dan semak-semak tak terpangkas. Masih ada lainnya di antara dua kelompok itu. Rumah Miss Streep terbuat dari batu putih bergaya Victoria permulaan abad ini, dengan teras luas sampai menghilang di salah satu ujung. Rumah itu butuh cat dan atap baru, dan halamannya perlu dirapikan. Jendela-jendelanya kotor dan selokannya tersumbat dedaunan, tapi jelas kalau masih ada yang tinggal di sini dan mungkin ia juga masih berusaha mengurusnya. Jalan masuknya dipagari pagar berwarna hijau yang tak teratur. Aku parkir di belakang sebuah mobil cadillac kotor, mungkin umurnya sudah sepuluh tahun.

Papan terasnya berkeriut ketika aku melangkah ke pintu depan sambil melihat ke segala penjuru, sambil mencari kalau-kalau ada anjing besar dengan gigi tajam. Hari sudah cukup larut, hampir gelap, dan tak ada lampu di teras tersebut. Pintu kayu besar itu terbuka lebar, dan dari balik pintu kasa aku bisa melihat bentuk sebuah serambi sempit. Aku tak bisa menemukan tombol bel, jadi kuketuk pintu kasa itu pelan-pelan. Pintu itu bergemeretak tak terkendali. Aku menahan napas—tak ada salak anjing.

Tak ada suara dan tak ada gerakan. Aku mengetuk lebih keras.

"Siapa itu?" sebuah suara yang sudah kukenal berseru.

"Miss Streep?"

Sesosok bayangan bergerak ke dalam serambi, lampu menyala, dan itu dia orangnya, memakai gaun katun sama seperti yang ia kenakan kemarin di Lincoln Gardens Building. la melihat melalui pintu dengan menyipitkan mata.

"Ini saya. Edward Cicero. Mahasiswa hukum yang Anda ajak bicara kemarin."

"Hai Edward!" la tergetar gembira melihatku. Sedetik aku merasa agak jengah, kemudian tiba-tiba sedih. La hidup seorang diri di rumah seram ini, dan ia yakin kalau keluarganya sudah tak menghiraukannya lagi. Saat saat terpenting dalam hidupnya sehari-hari adalah ketika ia mengurus para manula tersisih yang berkumpul untuk makan siang dan bernyanyi satu-dua lagu. Miss Streep adalah orang yang sangat kesepian.

la buru-buru membuka kunci pintu kasa itu. "Masuk, masuk," ia mengulangi tanpa sedikit pun nada ingin tahu. la menuntunku pada siku dan membawaku melewati serambi dan gang, sambil memencet tombol-tombol lampu sepanjang jalan. Setiap dindingnya tertutup puluhan potret keluarga yang sudah tua. Karpetnya berdebu dan cabik. Baunya apak dan pengap. Rumah tua ini benar-benar butuh pembersihan dan perbaikan serius.

"Benar benar menyenangkan mengetahui kau mampir," katanya manis, masih meremas lenganku. "Bukankah kemarin pengalaman menyenangkan bersama kami?"

"Ya, Ma'am."

"Apa kau akan mengunjungi kami lagi?"

"Sudah tak sabar lagi." la mendudukkanku di depan meja dapur. "Kopi atau teh?" ia bertanya, melangkah ke rak dan menepuk tombol lampu.

"Kopi," kataku sambil melihat sekeliling ruangan.

"Bagaimana kalau kopi instan?"

"Tidak apa." Sesudah tiga tahun kuliah ilmu hukum, aku tak bisa lagi membedakan kopi instan dari kopi asli.

"Krim atau gula?" ia bertanya, mengulurkan tangan ke dalam lemari es.

"Pahit saja." la menyiapkan air dan mengatur cangkir, lalu duduk di depan meja, di seberangku. la tersenyum lebar. Aku telah mendatangkan kegembiraan luar biasa.

"Aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu," katanya untuk ketiga atau keempat kali.

"Rumah Anda sungguh indah, Miss Streep," kataku sambil menghirup udara apak.

"Oh, terima kasih. Aku dan Yugo membelinya lima puluh tahun yang lalu."

Wajan dan panci, bak cuci dan keran, serta kompor dan panggangan di situ paling sedikit sudah berusia empat puluh tahun. Lemari esnya mungkin buatan awal tahun enam puluhan.