webnovel

Ngomong-ngomong Siapa Namamu?

Tidak terlalu banyak penginapan yang ada di kota kecil ini, dan hampir semuanya sudah terisi dan di pesan sejak jauh-jauh hari. Tampak raut kekecewaan terlihat di wajah Abigail. Ia tak tahu harus pergi ke mana lagi mencari tempat untuk dirinya menginap, bahkan saat ini sudah hampir siang sedangkan mereka sudah mengelilingi hampir seluruh kota dan penginapan-penginapan yang ada di kota ini.

Bahkan Ryan merasa heran, mengapa saat ini semua penginapan sudah penuh seperti ini.

"Sebaiknya pergi berbelanja dulu dan kembali ke rumah, setelah itu aku akan mencari tempat yang lain," ujar Ryan pada akhirnya, ia sendiri hampir menyerah dengan pencarian penginapan ini. Bukan hanya itu, ia sudah agak telat mengirimkan laporan pada Andrew yang sudah ditunggu sejak tadi. Setelah ia menyelesaikan laporan masalah wanita ini akan ia pikirkan lagi.

"A-apa tidak apa-apa?" tanya Abigail ragu karena ia akan kembali ke rumah pria itu lagi selama ia belum mendapatkan penginapan untuknya.

"Setidaknya ada kamar kosong di rumahku, jika terjadi apa-apa denganmu aku juga yang akan repot nantinya," balas pria itu tanpa menoleh sedikitpun padanya karena pria itu tampak fokus pada jalanan mengemudikan mobilnya.

"Aku akan menyewanya, aku akan bayar selama aku belum menemukan penginapan," balas Abigail. Setidaknya ia tidak tidur di jalanan, dan bisa merasakan jika pria ini tak memiliki niat jahat padanya.

"Terserah…" jawab pria itu seakan tak peduli.

Hingga akhirnya pria itu memarkirkan mobilnya di sebuah pelataran parkir supermarket lokal kota ini yang tak terlalu besar.

"Kau mau menunggu di sini atau ikut masuk?" tanya pria itu seraya keluar dari dalam mobil.

"A-aku ikut saja," jawab Abigail. Ia berpikir mungkin di sana ada pakaian yang bisa dibelinya. Karena ia hanya sepasang pakaian ganti saja. Dan mungkin beberapa perlengkapan yang ia butuhkan.

Abigail langsung mengikuti langkah kaki pria itu, Abigail harus bersusah payah mengimbangi langkah lebar pria itu.

**

"Boleh aku membantumu?" tawar Abigail saat ia melihat pria yang masih belum ia ketahui namanya itu sedang membereskan bahan-bahan makananan yang dibelinya tadi di supermarket. Sedangkan barang-barang yang tadi di belinya bersama tas ranselnya ia simpan di ruang tamu. Ia merasa tak enak jika sampai hanya berdiam diri saja sedangkan pria itu sudah menawarinya untuk tinggal dan membantunya, meski ia akan membayarnya seakan menyewa kamar yang akan ditinggalinya itu. Mungkin besok akan ada penginapan yang sudah kosong.

"Jika kamu mau," balas pria itu yang kini sedang mengeluarkan bahan-bahan makanan itu dari kantong belanjaannya di atas meja makan yang ada di dapur.

"Apa kau bisa memasak?" tanya pria itu lagi sebelum Abigail sempat menjawab ucapannya. "Ini sudah saatnya makan siang."

"B-bisa. Kamu mau makan apa?" tanya Abigail.

"Apa saja yang kamu bisa, selama kamu memasak aku akan membereskan belanjaan ini," balas Ryan.

Abigail mengangguk, kemudian ia mengambil beberapa bahan makanan yang tadi sudah dibeli oleh pria itu. Kemudian ia bersiap di balik kompor untuk mengeksekusi bahan makanan tersebut dan membuat makan siang untuk mereka berdua. Memasak bukanlah hal yang sulit bagi Abigail, karena ia sejak dulu ia memiliki hobi memasak, yang sudah diajarkan oleh ibunya sejak kecil. Hanya saja sejak menikah aktifitasnya begitu dibatasi. Ia hanya bisa makan, makanan yang sudah dibuatkan oleh pelayan tanpa boleh protes.

Abigail sudah siap dengan makanannya, begitu juga belanjaan tadi sudah tersusun rapi di tempatnya masing-masing.

Kini keduanya sudah duduk saling berhadapan di meja makan.

"Akhir-akhir ini di daerah ini cukup rawan, jadi kamu jangan keluar sembarangan di malam hari di sini," ujar Ryan mengawali percakapan setelah duduk dan hendak menikmati makan siang mereka.

"A-aku mengerti," sahut Abigail masih takut-takut bahkan ia tak berani menatap langsung ke mata pria itu.

Ryan mulai mengambil suapan pertama makanan yang dibuat oleh wanita itu, makanan itu tampak enak. Selama ia tinggal di sini ia hanya memasak makanan yang bisa ia buat saja. Tentu saja yang mudah untuk dibuat.

Ia mulai memasukkan suapan pertamanya dan rasa makanan itu cukup enak. "Enak…" pujinya pelan namun tetap bisa di dengar oleh Abigail.

"Terima kasih. Mungkin sampai aku menemukan penginapan aku akan membuatkan makanan untukmu sebagai ucapan terima kasihku karena memperbolehkanku menginap di sini," balas Abigail.

Ada rasa lega dalam hatinya karena ia tak mendapatkan penginapan, karena ia tak perlu mengeluarkan kartu identitas dirinya. Jika sampai identitasnya terdaftar di hotel atau penginapan ia takut keberadaan dirinya cepat diketahui oleh suami dan keluarga suaminya.

Abigail yakin kini suami dan keluarga sudah menyadari dirinya yang sudah tidak ada di sana. Besar kemungkinan mereka sudah melaporkan dirinya yang menghilang pada polisi. Karena sudah beberapa hari dia pergi dari rumahnya.

Ia sendiri bingung bagaimana besok ia akan menginap di penginapan tanpa memberikan identitas aslinya, atau pelariannya ini hanya akan sia-sia.

"Boleh, tapi aku bangun sangat pagi," sahut Ryan kemudian.

"Tidak masalah, karena aku juga bangun pagi," balas Abigail.

Pria itu tampak mengangguk, setidaknya selama wanita itu berada di sini sampai ia mendapatkan penginapan ia tak perlu memasak.

"Ngomong-ngomong siapa namamu? Aku tidak enak hanya memanggilmu 'kau' atau 'kamu' saja padamu," tanya Ryan

Wanita itu tampak menatap padanya dengan ragu sesaat sebelum membuka mulutnya, "Quinn, Cali Quinn!" jawab Abigail cepat. Dan hanya itu namanya yang terlintas di benaknya.

"Baiklah, Cali, perkenalkan aku Ryan." Tanpa menyebut nama panjangnya, "setelah makan aku akan kembali ke ruang kerjaku dan menyelesaikan pekerjaanku. Setelah itu kau bisa kembali ke kamar tempat tadi kamu tidur. Kamu tahu kan di mana letak kamar itu?"

Abigail mengangguk pelan. Ia cukup lega karena pria bernama Ryan itu tidak mencurigai nama palsu yang diberikannya. Abigail tidak mau mengambil resiko, jika sampai pria itu tahu siapa dirinya. Maka dari itu, mulai saat ini ia akan mencoba untuk hidup dengan nama barunya.

Setelah Ryan menghabiskan makanannya ia segera bangkit dan meninggalkannya begitu saja tanpa satu katapun yang terucap dari mulutnya. Abigail hanya mengamati punggung Ryan yang mulai menjauh darinya dan tak lama kemudian menghilang di tangga.

'Beberapa hari ini sangat berat untukku!' gumam Abigail dalam hati.

Setelah ia menghabiskan makanannya ia akan mencuci piring-piring kotor bekas makan mereka, kemudian membawa barang-barang miliknya dan kembali ke kamar yang tadi ditempatinya di rumah ini.

Jika tidak ada pria itu, Abigail sendiri tak tahu ia akan kemana lagi dan berdiam di mana. Setidaknya kini ia ada tempat untuk berteduh.

Sebelum beranjak berdiri dan mencuci piring Abigail memegang paha kirinya yang terasa sakit. Luka-luka di tubuhnya belum sembuh sepenuhnya karena ia tak mengobatinya, tadi sempat terpikir untuk membeli obat. Tapi keberadaan pria itu di dekatnya mengurungkan niatnya, meski mungkin ia sudah mengetahui luka-luka di tubuhnya.

'Tidak, Abi. Kau harus kuat, kau sudah membulatkan tekadmu untuk kabur, dan kau tidak bisa kembali lagi ke rumah yang terasa seperti neraka itu!' serunya dalam hati.

Kemudian Abigail menghela napas panjangnya, ia kemudian bangkit dari duduknya dan membawa piring-piring kotor itu ke wastafel dan mulai mencucinya.

Di lantai 2 Ryan mencoba memperhatikan gerak-gerik dari wanita tersebut. Meski wanita itu tampak tak berbahaya tapi tetap saja ia harus tetap berhati-hati.

Dari gerak-geriknya, wanita itu tampak masih kesakitan dengan luka-luka di tubuhnya. Ryan bisa melihat wanita itu menyentuh beberapa bagian tubuhnya di mana seingatnya ada luka di bagian sana. Entah apa yang terjadi pada wanita itu, Ryan sendiri masih belum tahu hingga saat ini.

"Semoga saja membiarkan wanita itu tinggal di sini tidak akan menimbulkan masalah apa-apa," gumam Ryan sangat pelan sebelum akhirnya ia berjalan menuju ruang kerjanya yang berada di samping kamarnya.

-To Be Continue-