webnovel

Batasan

Keysa membuka matanya perlahan. Ia menatap dirinya yang sudah di atas ranjang. Ia masih memakai selimut. Ia mengedipkan matanya beberapa kali, saat melihat Mark tertidur di kasur bawah.

"Kak Mark?" Keysa kebingungan. Seharusnya, Mark ada di kamar tamu kalau ingin tidur di rumah Kaysha.

"Kalau gue bikin Kak Mark bangun, kesannya gak sopan. Ya udah, gue bikin sarapan dulu aja," ucap Keysa sembari turun dari ranjang.

Keysa hendak masuk ke kamar mandi. Saat membuka pintu kamar mandi, Keysa refleks mundur. Ia lupa, seharusnya pintu kamar mandi di kamar Kaysha dikunci. Tetapi, kini pintu kamar mandi terbuka lebar di depannya. Potongan kematian Kaysha menyerangnya, kakinya lemas.

"KAKKK! KAK KAYY!" teriak Keysa histeris.

"Kayy?!" Mark tiba – tiba terbangun. Ia mencari sosok sang tunangan yang kini berlutut sembari menutup kedua telinganya. Mark dengan tergesa menarik selimut dan memakaikan pada pundak Keysa.

"Kay, ini aku," ucap Mark sembari menangkup kedua pipi Keysa, memaksa tunangannya untuk menatapnya.

"Kak Mark?" Keysa berusaha mengembalikan dirinya.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Mark lembut, tangannya masih menangkup pipi Keysa.

"Kak…"

"Iya, sayang…aku disini," Mark menarik Keysa ke dalam dekapannya. Tangannya mengelus punggung Keysa lembut. Keysa membalas pelukan Mark. Keysa memejamkan matanya, pikirannya berkecamuk.

'Kenapa pintu kamar mandi kebuka?' batin Keysa bertanya – tanya.

"Kamu udah gak apa?" tanya Mark sembari melepaskan pelukannya. Ia menatap Keysa yang tampak pucat di matanya.

"Hm…aku gak apa. Maaf, kakak jadi kebangun gara – gara aku," Keysa tersenyum palsu.

"Kamu kenapa tadi?" tanya Mark pelan.

Keysa menggeleng pelan, ia memaksakan senyumnya, "Aku mimpi buruk, Kak." Keysa terpaksa berbohong. Ia yakin Mark akan terus bertanya kalau ia tak mengatakan apapun.

"Gak usah diceritain, oke?" ujar Mark. Keysa mengangguk, ia menerima tangan Mark yang terulur.

"Kenapa kamu disini?" tanya Keysa setelah ia duduk di ranjang. Mark ikut duduk di sebelahnya.

"Kamu gak ingat?" Mark balik bertanya.

Mark meraih tangan Keysa kemudian menggenggamnya erat, "Kemarin, kamu megang tangan aku erat banget. Padahal, aku tadinya mau pulang."

"Aku ngomong apa? Aku gak ingat," ujar Keysa sedikit gugup. Dirinya khawatir salah berbicara.

"Kamu bilang kangen sama kakak dan bilang jangan pergi," ucap Mark sembari mengusap pelan rambut Keysa.

Keysa mengedipkan matanya beberapa kali. Ia yakin yang dimaksud dirinya adalah kembarannya, Kaysha bukan Mark. Ia membuat lelaki itu salah paham.

"Ah itu…" Keysa memutuskan kontak matanya dari Mark. Ia berdiri kemudian membuka lemari baju untuk membersihkan dirinya. "Aku mau mandi dulu. Entar ada Bibi yang kasih baju ke kamu." Kemudian, Keysa berlalu dari hadapan Mark. Ia mandi di kamar tamu.

Mark terkekeh kecil, "Lucunya calon istri gue…" Mark menatap kamar mandi yang terbuka. "Kenapa Kay malah mandi disana ya?"

***

Mark menatap Keysa yang sibuk memasak di dapur dibantu oleh Bibi Rere. Mark menyinggungkan senyumnya melihat tunangannya.

"Makin hari gue makin jatuh cinta sama dia," gumam Mark pelan.

Mark mengawasi Keysa yang kini membawa kedua piring untuk keduanya. "Ini Kak."

Mark tersenyum tipis, "Terima kasih ya."

"Sama – sama," ucap Keysa kemudian ia duduk di depan Mark. Keysa menyiapkan roti lapis untuk keduanya.

"Kamu abis ini mau pulang ke rumah kamu?" tanya Keysa di sela – sela makan.

Mark mengangguk, "Aku sekitar jam sepuluh ada rapat."

"Padahal, kamu baru tunangan. Masa Ayah kamu gak kasih keringanan?" tanya Keysa.

Mark terkekeh kecil, "Udah kasih. Cuman aku maunya kerja."

"Jangan gila kerja," peringat Keysa.

"Kenapa?"

"Nanti kita dianggap gak akur karena kamu sibuk pacaran dengan berkas," balas Keysa.

"Hahaha…kamu ada – ada aja," komentar Mark.

Tak terasa, keduanya sudah selesai sarapan. Mark berdiri dari kursinya diikuti Keysa yang bersiap mengantar Mark ke depan.

"Aku bakalan langsung ke kantor," kata Mark.

"Takut gak keburu ya?" tebak Keysa. Mark mengangguk kecil.

"Aku nanti minta Karin untuk beli jas buat aku," info Mark.

Keysa mengangguk paham.

"Aku pergi dulu ya, Kay. Kamu kalau keluar izin ke aku, oke?" ujar Mark.

"Iya kak," tanggap Keysa kemudian ia mendorong Mark untuk masuk ke mobilnya.

***

Mark sampai di kantornya. Ia menatap bangunan dengan dua puluh lantai itu. Ia menatap Perusahaan Baratama, ia bersyukur mempunyai seorang ayah yang bertanggung jawab. Sang Ayah benar – benar mencurahkan hidupnya untuk membangun Perusahaan Baratama.

Mark masuk ke lift setelah ia menyapa pegawai lain. Mark memanglah ramah, itulah kenapa wanita yang seumuran dengannya menyukainya. Mark menekan tombol 19, dimana ruangannya berada.

"Selamat pagi, Pak Mark," sapa Karin sopan.

"Pagi Karin," balas Mark ramah.

"Saya sudah menyiapkan setelan jas untuk anda di ruangan," tutur Karin.

Mark tersenyum ramah, "Terima kasih. Kamu memang bisa diandalkan," puji Mark.

Seketika pipi Karin memerah dikarenakan mendapat pujian dari Mark. Karin memang menyukai Mark semenjak lelaki itu datang ke kantor dan memperkenalkan diri sebagai direktur operasional yang baru, menggantikan Pak Kai yang sebelumnya menjabat.

"Nanti tolong bawakan dokumen untuk rapat ya," pinta Mark sebelum ia masuk ke ruangannya.

Karin menganggukkan kepalanya dengan semangat, "Baik Pak."

Karin tersenyum manis hingga Mark menghilang dari pandangannya. Ia memegang pipinya yang memanas. Rasa senang menyelimuti gadis itu.

"Bu sekertaris kelihatannya senang sekali," komentar pria yang baru datang dengan membawa dua buah kopi di tangan kirinya.

"Selamat datang, Pak Rayner," Karin buru – buru mengatur wajahnya menjadi datar.

"Gila, muka lo berubahnya cepet bener," komentar Rayner,

"Berisik Ray. Kalau lo mau ketemu sama Pak Mark silakan masuk," kata Karin datar.

"Nah ini baru Karin, si datar kalau ketemu gue," balas Rayner kemudian ia buru – buru masuk ke ruangan Mark sebelum Karin mengamuk.

"Broo!" seru Rayner sembari mendekati Mark yang sibuk dengan berkasnya.

Mark menatap Rayner yang menunjukkan kopinya sekilas. Kemudian Mark kembali tenggelam dengan berkasnya.

"Minum dulu. Lo biasanya gak pernah sarapan," perintah Rayner sembari menyimpan satu kopi di meja Mark. Rayner melangkahkan kakinya ke sofa yang berada di ruangan Mark.

"Makasih, Ray. Tapi, gue udah sarapan," ucap Mark sembari meneguk kopi.

"Siapa yang kasih lo sarapan? Si Karin?"tanya Rayner.

"Kok Karin? Lo lupa gue udah tunangan?" tanya Mark bingung sembari duduk di depan sahabatnya.

Rayner menepuk dahinya pelan, "Astaga, gue lupa! Terus semalem gimana?"

"Gimana apanya?"

"Lo sama Kay ngapain?" tanya Rayner penasaran.

"Oh itu…kemarin gue ajak dia ke rumah yang gue bangun," jawab Mark.

Mark menatap Rayner yang masih menatapnya penasaran, "Terus?"

"Terus, gue antar dia pulang dan gue tidur di ka-"

"TIDUR?!" teriak Rayner heboh.

"Gue tidur di kasur bawah dan Kay di kasur atas. Terus besoknya gue sama Kay sa-"

"Bentar…" sela Rayner bingung. "Lo sama sekali gak melaku-"

Tak

"Kok lo mukul gue?!" tanya Rayner kesal sembari memegang kepalanya.

"Gue tau batasan Ray. Belum waktunya," ucap Mark.

"Gak seru lo!" komentar Rayner.

"Iya iya. Gue gak rame, gak asik, makanya gue dijauhin," balas Mark.

Rayner seketika merasa bersalah, "Bahasa lo jangan gitu dong! Gue jadi gak enak nih sama lo."

"Tapi, Ray, gue masih gak paham kenapa lo tetap bertahan sahabatan sama gue," ujar Mark menatap Rayner penasaran.

Rayner tertawa keras, "Hahaha! Gue juga mikir kali Mark. Kalau teman – teman kita suka ke klub terus itu disana kita narkoba kan gak baik untuk masa depan kita."

"Dewasa banget sohib gue," ucap Mark sembari mengacungkan jempolnya."Kabar yang lain gimana ya?"

"Kabar terakhir yang gue tau, Hendra sempat masuk penjara, terus Theo pernah terlibat sama perjudian illegal," info Rayner.

"Jangan berani – beraninya lo bantuin mereka!" peringat Rayner karena ia mengetahui kebiasaan Mark yang sering membantu temannya.

"Gue enggak!" elak Mark.

"Gue tau lo ya! Entar lo nyuruh bawahan lo buat cari tau kabar mereka dan lo akan berusaha biar mere-"

"Iya iya! Gue hanya penasaran dan merasa bersalah sama mereka," sela Mark.

Rayner menghela napas, "Mark, bukan salah lo oke mereka jadi kaya gitu."

"Termasuk kasus Amira?" tanya Mark menatap Rayner sendu.