webnovel

part 3

Sah!

Riuh semarak nikah masal gratis membuat Bejo yang grogi setelah menerima sebuah kecupan di rumah kian bertambah grogi. Ditambah lagi, sepanjang jalan Loreta erat menggenggam tangannya. Meskipun sangat menyukai ini, jantungnya berdetak lebih cepat akibat ulah bidadarinya itu.

Bejo memakai kemeja biru muda dengan lengan digulung hingga siku, rambut ditata sangat rapi oleh calon istrinya membuat semua mata yang hadir teralihkan pada pasangan ini. Tentu saja membuat si Bejo doble grogi, tapi berbeda dengan Loreta yang justru tersenyum riang. Rasanya dia tak lagi sendirian, sedihnya sedikit terhibur dengan keramaian dan hadirnya laki-laki yang kini duduk di sampingnya.

Bahkan lebih parahnya, gadis sangat cantik itu meminta Bejo mencium keningnya selepas akad. Tentu bukan Bejo tidak ingin, hanya saja tubuhnya gemetar tak karuan. Akibat terlalu grogi, karena sebuah kecupan terus terngiang, dia harus mengulang ucapan akad sebanyak lima kali.

"Saya terima nikah dan kawinnya Loreta Azahra mmm....,"

"Azura ... siapa Azahra?" hardik Loreta.

"Saya Loreta_"

"WKwkwk ... kamu Bejo," riuh orang tertawa

"Saya terima nikah dan kawinnya Azura Malik,"

"Mas, Malik itu ayahku," geram Loreta.

Tak ada jawaban dari mulut Bejo, hanya peluh dan getar tangan mewakili. Loreta paham akan hal itu.

.

.

.

"Mas ... ranjangnya keras," keluh Loreta.

"Iya," jawab Bejo.

"Aku nggak bisa tidur kalau kayak gini," rengeknya lagi.

"Terus? Mau begadang?" tanya Bejo.

"Huaha ... hiks hiks aku mau kasur empuk," jerit Loreta sambil meraung-raung.

"Aku mesti gimana?" tanya Bejo lagi.

"Kasur, aku mau kasur," ucap Loreta sesenggukan.

"Pasar jauh, lagi pula sudah tutup jam segini," jelas Bejo.

"Keras, Mas. Punggungku sakit," lirih Loreta masih dengan derai air matanya.

Bejo sadar, gadis di depannya yang kini sudah sah menjadi seorang istri tak terbiasa dengan ranjang reot beralaskan tikar pandan.

"Besok kita ke pasar, membeli apa yang kamu butuhkan. Sekarang coba tidur seadanya dulu ya," ucap Bejo lembut.

"Huaha ... hiks hiks, nggak bisa tidur," kata Loreta masih menangis.

"Ya sudah. Ambil jaket, kita keliling bersepeda sampai kamu ngantuk, oke. Jangan nangis lagi," kata Bejo kemudian berjalan mengambil sepedanya.

Dengan telaten Bejo melapisi goncengan sepedanya dengan kain yang dilipat agar sedikit empuk, meminta istrinya hati-hati menaikinya.

"Pegangan, nanti kalau sudah ngantuk bilang. Bisa jatuh kalau tidur di atas sepeda," jelasnya.

"Iya, Mas. Ayo ngebut!" teriak Loreta.

"Nggak bisa ngebut, ini malam nanti jatuh," jawab Bejo.

"Ada cahaya bulan, Mas," teriak Loreta girang seperti baru pertama melihat bulan.

"Ada setiap malam, kalau nggak mendung," celetuk Bejo.

"Ish ... nggak romantis," ucap Loreta seraya memukul paha Bejo yang sedang dipegangnya.

Malam semakin larut, dingin pun kian menusuk kulit. Namun, Loreta tak kunjung mengatakan bahwa dirinya mengantuk. Bejo masih setia mengayuh sepedanya keliling kampung. Beberapa kali berpapasan dengan warga yang sedang melakukan siskamling.

"Mau kemana, Jo? Malam-malam begini," sapa salah satu warga.

"Ini lagi jalan-jalan, Pak," jawab Bejo.

Sedangkan Loreta memilih hanya tersenyum di belakang Bejo. Senyumnya tentu tak seberapa kelihatan di bawah cahaya temaram bulan.

"Istrimu cantik banget, dapat dari mana? Nggak pernah ngapel tau-tau ikut nikah masal," timpal warga lainnya.

Ada sekitar lima orang warga yang semuanya laki-laki berkeliling kampung sambil membawa kentongan. Sesekali mereka berhenti dan membakar singkong. Seperti saat ini, mereka sedang menyantap singkong bakar di dekat posko ronda.

"Mas, mereka makan apa? Aku pengen," bisik Loreta mendekat ke telinga Bejo.

Bejo sengaja berhenti untuk beramah tamah. Namun , tetap berdiri di atas sepedanya. Tak berminat menjawab pertanyaan istrinya.

"Pak, istri saya mau nyicip singkongnya masih ada?" tanya Bejo.

"Ini silakan," kata seorang warga sambil menyerahkan sebiji singkong bakar yang masih hangat.

Bejo menerima itu, kemudian meletakkannya di keranjang depan.

"Masih panas, nanti kalau sudah hangat dimakan. Jalan lagi ya," bisiknya ke Loreta.

"Mau nyicip sekarang, Mas. Aku penasaran," rengek Loreta.

Demi apa akhirnya Bejo turun dan meminta ikut serta, menyandarkan sepedanya dan bergabung bersama rombongan bapak-bapak di depan perapian yang dibuat dadakan. Membelah singkong bakar agar cepat dingin, menyerahkan potongan kecil ke istrinya.

"Mas, enak. Aku mau lagi," kata Loreta.

"Sebentar ya, Mas potong dulu biar nggak kepanasan," ucap Bejo sabar.

"Dari kota ya, Mbak?" tanya salah satu warga ke Loreta.

"Iya!" jawab Bejo sebelum istrinya menjawab. Ada rasa tidak suka, istrinya diperhatikan laki-laki lain.

Sedari tadi di balai desa, Bejo sudah menahan kesal. Banyak sekali mulut laki-laki memuji di belakang, dengan jelas Bejo mendengar itu. Loreta sebenarnya tak berniat menjawab, dia tidak pandai beramah tamah.

"Mas, aku sangat ngantuk, tapi ini sakit," rengek Loreta manja saat mereka sudah kembali ke rumah karena sudah ngantuk.

"Miringkan badanmu ke kanan," perintah Bejo.

"Kamu mau apa? Aku nggak mau," tukasnya.

"Mau membantumu tidur, ayo. Ini sudah malam, nanti sakit," memijat pelan punggung istrinya agar kerasnya ranjang sedikit berkurang.

"Nyaman, Mas. Terus," ucap Loreta, lambat laun dia sudah tertidur pulas.

.

.

.

"Mas...." teriak Loreta dari dalam kamar.

Tentu saja hal itu membuat Bejo lari menuju sumber suara.

"Ada apa?" tanya Bejo saat mendapati Loreta berbaring nyaman di ranjang.

"Aku lapar, tapi aku juga mau mandi air hangat. Badanku sakit semua," ucapnya sambil menunjuk ranjang.

"Iya, ayo mandi dulu. Air hangat sudah siap," ucap Bejo sambil tersenyum.

"Gendong. Aku udah bilang badanku sakit. Mas ko nggak nawarin sih," kata Loreta cemberut.

"Maaf, takutnya kamu nggak mau disentuh aku. Ayo sini naik." Bejo memposisikan diri memungungi Loreta.

"Siapa bilang, aku mau kok. Mas aja yang nggak peka, hiks hiks," ucap Loreta, kali ini dia pura-pura menangis.

"Maaf, semalam kamu kayak ketakutan mau kusentuh. Ayo jadi gendong nggak ini," ucap Bejo lembut.

"Mas, aku mau kok disentuh. Sekarang juga nggak papa," kata Loreta sambil merangkak menuju punggung suaminya.

"Kita pelan-pelan saja ya, saling kenal dulu. Sentuhan yang kamu maksud itu memang ibadah, tapi jangan lupa ada ibadah wajib lainnya," jelas Bejo sambil berjalan membawa istrinya ke kamar mandi.

"Astaga malunya aku, benar juga," batinnya.

Sejak dulu orang tuanya selalu mengungatkan untuk salat. Loreta hanya salat kalau ada orang tuanya. Dia eperti mendapat tamparan dari kalimat suaminya ini.

"Silakan mandi, Tuan Putri. Ini sudah kuisi air hangat, air di ember untuk bilasnya. Aku siapin makan dulu," kata Bejo saat menurunkan istrinya di kamar mandi.

"Mas udah mandi?"

"Sudah sebelum subuh tadi,"jawab Bejo sambil tersenyum manis.

"Mas...."

"Apa lagi?"

"Panggil aku dinda sayang gitu," ucapnya manja.

"Cepatlah, Din da Sa yang. Kita harus ke pasar untuk membeli kasur untukmu, setelah itu aku harus ke ladang untuk bekerja," kata Bejo sambil mengedipkan sebelah matanya.