webnovel

part 1

Tujuh hari setelah kepergian sang nenek, Bejo kini benar-benar menyandang status sebatang kara. Tak seperti namanya, nasibnya sungguh tidak bejo.

Saat dia berumur enam tahun ayahnya meninggal karena sakit paru-baru, lima tahun kemudian sang ibu menyusul ayah di peristirahatan panjangnya.

"Aku hidup dengan siapa, Nek. Aku sendirian," pekik Bejo di depan gundukan tanah dengan kayu nisan bertuliskan Sri Lasmini.

Menyandang nama Raden Bejo Sudarmun, katanya terlahir dari trah keturunan darah biru. Entah darah biru yang keberapa dia sendiri tak begitu ambil pusing, nyatanya darah biru itu membawa seorang Bejo pada kerajaan gubuk bambu.

Rambutnya yang lurus disisir belah pada bagian tengah, alis tebal, hidung menawan serta badan tinggi atletis yang dimilikinya sesuai jika dia menyandang gelar Raden. Hanya saja penampilannya yang 'gluprut' dengan lumpur sawah seolah menghilangkan kesan Raden.

"Aku minta ganti nama, Mak," kata Bejo kala ibunya masih hidup.

"Jangan, Nak. Itu nama ningrat dari garis keturunan bapakmu," jelas ibu.

"Namaku kata temen-temen jelek, Mak," timpalnya lagi, berharap ibunya akan mengabulkan.

"Ora perlu dipikir. Nama itu ada doa pengharapan kami pada Tuhan," jawab ibu kemudian berlalu meninggalkan Bejo.

Tak berani lagi dia protes namanya, biarlah diejek. Kelak di kemudian hari doa-doa orang tuanya terkabul. Bejo akan beruntung seperti namanya.

Hari sudah sore, Bejo dengan lunglai melangkah meninggalkan kompleks pemakaman. Menyusuri jalan aspal tipis yang banyak lubangnya, jalan itu satu-satunya akses kampung Gulo Manis menuju ke luar kampung. Namun, seiring dengan hilangnya matahari hilang pula orang-orang yang melintas di jalan ini.

"Permisi, tolong antarkan saya ke penginapan di sekitar sini." Seseorang berkata sambil menepuk bahu Bejo.

Bejo yang kaget lantas menoleh ke sumber suara, seketika saja mulutnya menganga. Jantungnya berdetak tak karuan, apa yang barusaja dilihat sangat menawan.

"Nawang Wulannya Joko Tarup turun dari kayangan," lirih Bejo.

"Penginapan, saya butuh penginapan," seru gadis di depan Bejo.

Gadis itu adalah Loreta Azura Wijaya, anak dari pengusaha batu bara Malik Wijaya yang belum lama ini meninggal bersama istrinya Makoto Wijaya karena kecelakaan.

Seluruh aset kekayaan Malik Wijaya beralih tangan Teguh Abas, suami dari adik kandung Malik Wijaya. Dua hari lalu, tante Mahira Wijaya mendatangi Loreta di rumahnya.

"Kamu siap-siap, dua hari lagi Sean dari Tiger group akan melamarmu. Berhenti bersedih! Ayahmu meninggalkan banyak utang, sepatutnya kamu melunasinya," tukasnya.

Loreta tak menjawab, rasanya air mata gadis dua puluh lima tahun itu belum kering akibat kepergian orang tuanya dan sekarang haruskah dia bersedih karena perjodohan ini?

Sesal selalu datang belakangan, selama hidup Loreta hanya mengerti cara menghabiskan uang. Kedua orang tuanya tak mempermasalahkan itu. Belum pernah dia mendengar ayahnya pusing kekurangan uang, benarkah ayahnya banyak utang?

Saat Loreta hendak melangkah ke dapur untuk mengambil air minum, dari ruang keluarga sayup-sayup terdengar perbincangan tante Mahira dengan suaminya.

"Gimana, Ma?"

"Beres dong, aku berhasil meyakinkan dia kalau orang tuanya banyak utang," jelas Mahira.

"Bagus. Tuan Sean sudah bosan dengan istrinya, dia melihat Loreta menangis kemarin langsung jatuh cinta katanya," ujar Teguh.

"Tapi Papa jangan kayak tuan Sean itu, ingat ya, Pa." Teguh langsung menghamburkan ciamannya ke istrinya.

Dalam hati Teguh kesal selalu diingatkan oleh istrinya, bahwa semua yang dimilikinya kini adalah lantaran istrinya adalah adik dari Malik Wijaya. Tentu saja Teguh tidak lupa.

Setelah mendengar pembicaraan suami istri itu, Loreta memilih kembali ke kamarnya. Dia membereskan pakaian seperlunya, membawa perhiasan dan aset berhaga yang bisa dijualnya di perjalanan nanti. Tak ada tempat tujuan yang pasti, bahkan saudara bisa jadi musuh bagi Loreta.

Keluar dari rumah besar yang selama ini ditempatinya, rumah sejuta kenangan bersama ayah dan ibunya kini serupa rumah hantu yang menyeramkan. Tak ada seorang pun pembantunya dulu yang tersisa di rumah ini, sehingga dia bisa keluar tanpa ketahuan.

Kemarin, tante Mahira datang bersama seorang pengacara. Katanya si, dia pengacara ayahnya, membacakan surat kuasa bahwa seluruh aset Malik Wijaya berpindah tangan ke Mahira Wijaya karena harta itu adalah warisan dari kakek. Orang tua dari Mahira dan Malik. Loreta hanya mendapat lima persen saham perusahaan.

Setelah menobatkan diri sebagai penguasa rumah, seluruh pembantu yang bekerja pada keluarga Loreta dipecat oleh Teguh.

Loreta menaiki taksi online yang dipesannya, tak lupa dia memformat ulang ponselnya setelah nyaman duduk di dalam taksi, mengganti aku email untuk seluruh aplikasi di ponsel dan membuang nomor yang diketahui oleh umum. Menyisakan satu sim card yang dahulu hanya dipakai untuk berkomunikasi dengan ayah dan ibunya.

Menempuh perjalanan sehari semalam tak tentu arah, akhirnya di sinilah Loreta terdampar. Di sebuah pemakaman umum sebuah kampung. Sudah tak ada lagi penumpang lain yang turun bersamanya, sedari tadi sopir mobil bertanya dari kursi kemudi tak ada sahutan.

Mobil angkutan umum beratap dengan pintu di bagian belakang, ibu-ibu tadi menyebutnya mobil kol. Mobil yang mampu menampung segala jenis bawaan penumpangnya, dari ayam, kempu air, bahkan ada yang membawa kambing.

Tak kuasa menahan aroma yang beradu di hidung, Loreta memilih tidur di dalam mobil. Pergi sejauh-jauhnya dari rumah adalah pilihan terbaik baginya, dari pada menjadi budak bagi keluarga yang tak lagi menginginkan dirinya. Ditambah lagi, dia harus menikah dengan suami orang. Bagai buah simalakama, tak menikah dia jadi budak tante dan paman yang menginginkan harta orang tuanya. Menikah dia menyakiti wanita lain dan sudah tentu laki-laki itu juga akan mencampakkanya saat bosan. Mengingat alasan menikahi Loreta adalah bosan dengan istrinya.

"Mbak, turun di sini saja. Dari tadi saya tanya diam saja, ternyata turu," kata sopir mobil kol itu.

"Loh, Pak. Kok di kuburan. Saya sudah bilang turunkan di penginapan," ucap Loreta malas, dia baru saja membuka matanya.

"Ora ada penginapan di sini, coba tanya saja orang lewat. Aku ora ngerti," seru sopir yang tak fasih bahasa Indonesia.

"Udah! Segera turun," seru sopir lagi.

Loreta menoleh ke segala arah, melihat kemungkinan adanya penginapan. Matanya menangkap sosok laki-laki yang berjalan pelan tak jauh dari posisinya sekarang.

"Di sini nggak ada penginapan, Mbak," jawab Bejo.

"Kalau gitu aku nginep tempatmu ya," ucap Loreta mulai dengan bahasa santai, setelah melihat laki-laki di depannya masih muda mungkin seumuran dengan dirinya.

"Nggak boleh!"

"Dasar pelit! Terus aku tidur dimana? Huahaha ... ibu mengapa aku nggak kau ajak aja ke surga." Loreta menangis histeris.

Bejo kalang kabut dibuatnya, tak pernah dilihatnya seorang wanita menangis karena dirinya. Pantang bagi Bejo melakukan itu.

"Udah, diamlah. Iya iya, minep di rumahku," ujarnya.