Beberapa hari setelah kehilangan Arga di taman, hati dan fikiran Eza benar-benar kacau balau. Sesaat setelah kejadian itu Arga tidak pernah lagi muncul di hadapannya. Ia sudah mencoba menghubungi melalui telfon, namun sayang, nomornya sudah tidak bisa dihubungi lagi.
Awalnya Eza sempat berpikir. Mungkin Arga hanya ingin menenagkan diri, dan akan menghubunginya setelah keadaan hatinya sudah lebih baik. Paling tidak, Arga masih punya kerjaan di kantornya.
Tapi kenyataanya, setelah dua hari, tiga hari, empat hari dan entah sudah berapa hari, sosok Arga tidak pernah muncul lagi di hadapannya. Di tinggalkan tanpa ada kejelasan, adalah hal yang paling menyesakkan.
Karena hal itu juga, Eza menjadi uring-uringan. Bahkan semua pekerjaan di kantor menjadi terbengkalai, tidak pernah ia selesaikan dengan baik.
Meski baru sebentar bersama Arga, tapi pemuda itu sudah mampu mengalihkan dunia Eza.
Perubahan pada diri Eza yang menjadi berantakan, mengundang banyak tanya dari teman-teman sekantornya. Termasuk ibunya.
Hanya Tias, satu-satunya sahabat yang tahu alasan mengapa Eza bisa berubah seperti ini. Mulanya gadis itu sempat berpikir, mungkin perubahan itu akan bertahan beberapa saat saja. Seiring berjalannya waktu, sahabatnya Eza akan terbiasa, dan kembali seperti sedia kala.
Namun, hingga hari ini entah sudah berapa hari, kondisi Eza malah semakin memperihatinkan. Tidak ada perubahan baik seperti yang diharapkan oleh Tias.
Setelah berpikir beberapa saat, Tias membuang napas gusar. Ia beranjak dari tempat duduk, lalu keluar dari kubikel nya.
"Kamu kemana sih Ga?" Geram Tias di tengah perjalanannya ke ruangan Eza.
Setelah menutup pintu ruangan, Tias berdiri mematung. Gadis itu menghela napas melihat sahabatnya, sedang duduk murung di kursi kerjanya. Tatapannya kosong menatap layar komputer, sedangkan telapak tangannya sibuk menggerakan mouse tanpa arah.
Lagi, Tias menghela napas sebelum berjalan mendekati sahabatnya.
"Za," panggil Tias setelah ia berdiri di sampingnya.
Yang dipanggil tidak bergeming.
"-kontak mobil kamu mana?"
Tanpa menoleh ke arah Tias, telapak tangan Eza merogoh kantung kemejanya. Mengambil kontak mobil miliknya, lalu ia berikan kepada gadis yang sedang menatapnya prihatin.
Setelah kontak mobil sudah berpindah ke tangannya, telapak tangan Tias meraih pergelangan Eza dalam genggaman. "Ikut aku," ucapnya sambil menyeret paksa tangan Eza, hingga beranjak dari duduknya.
Keadaannya yang sedang tidak baik, membuat Tias bisa dengan mudah menyeret Eza sampai di lokasi parkir--tanpa perlawanan.
Tias mendorong masuk tubuh Eza ke dalam mobil. Setelah menutup pintunya ia berjalan ke arah pintu kemudi, lalu menghidupkan mesinnya. Tanpa memberitahu kemana ia akan membawa sahabatnya, Tias menjalankan mobil Eza keluar dari halaman kantor.
Sepanjang perjalanan ke tujuan yang belum ia ketahui, Eza hanya membisu.
"Za... kita uda sampai." Pemuda itu baru tersentak sadar, setelah Tias menghentikan mobil lalu menegurnya.
Kening Eza berkerut, perhatian Eza berlaih pada rumah degan bangunan setengah permanen, terlihat sangat sederhana. Rumah itu sudah tidak asing lagi. Eza pernah berkunjung ke sana beberapa kali saat mengantar, dan menjemput pemuda yang sedang ia rindukan.
"Ini rumah pamannya Arga," ucap Eza tanpa menoleh ke arah Tias. "Ngapain kita ke sini."
"Aku nggak bisa lihat kamu terus-terusan kayak gini Eza. Kasihan sama mama, dia kepikiran sama perubahan kamu."
"Aku udah pernah ke sini. Seharian aku nungguin dia, tapi aku enggak liat dia keluar. Aku pikir, dia udah enggak tinggal lagi di situ."
"Terus kamu nggak nanya sama keluarganya?" Tegas Tias.
Eza menggeleng pelan.
Tias menghela napas sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil.
***
Took... took... took...!!
"Permisi." Seru Tias sambil mengetuk pintu rumah yang terlihat sederhana itu.
Eza hanya terdiam, sambil melipat kedua tangannya di perut. Di dalam sana, hatinya mulai berdebar tidak menentu.
"Permisi!" Ulang Tias.
Sesaat kemudian, terdengar bunyi suara pintu seperti sedang dibuka dari dalam sana. Tias mengulas senyum, melihat wanita paru baya keluar dari balik pintu tersebut.
"Permisi bu," sapa Tias sopan. "Maaf mengganggu, saya Tias dan ini teman saya Eza."
Bu Lina sibuk memberiskan telapak tangan menggunakan daster yang ia kenakan, sebelum mengulurkan tangan ke arah tamunya.
"Oh iya, ini mas Reza." Ucap bu Lina setelah selesai urusannya dengan berjabat tangan. "Ibu belum lupa, kan mas Reza pernah kesini."
Eza hanya mengulas senyum. Meski terlihat tenang, tapi desir-desir di hatinya semakin bergejolak.
"Jadi gini bu," Tias mengalihkan perhatian ibu Lina. "Tujuan kami ke sini, ingin tahu kabar tentang Arga."
"Oh gitu, kalau gitu ngobrol di dalem aja ya, nggak enak kalau diluar."
Ibu Lina masuk kedalam rumah, diikuti Eza dan Tias dari belakang.
***
Raut wajah Eza semakin terlihat murung, setelah pemuda itu keluar dari rumah bu Lina. Keterangan dari ibu Lina barusan membuat hatinya, semakin tidak karuan.
Sesak, dan sulit bernapas. Itu yang tengah dirasakan oleh Eza sekarang. Pria yang sukses membuat ia mengerti apa itu cinta, benar-benar pergi meninggalkan dirinya.
"Terima kasih banyak ya bu," ucap Tias sambil menjabat tangan ibu Lina. "Kami permisi, maaf udah mengganggu waktu ibu."
"Enggak ganggu kok," sahut ibu Lina. "Mas Reza, walaupun enggak ada Arga mas Reza boleh kok sering-sering main ke sini."
Eza hanya tersenyum getir, sambil melipat kedua tangannya di perut. Telapak tanganya menggenggam erat kotak bewarna hitam dan amplop putih yang baru saja ia terima dari ibu Lina, sewaktu masih berada di dalam.
Manik mata Tias melirik ke arah sahabatnya. Melihat keadaannya yang semakin buruk, sepertinya gadis itu harus cepat-cepat membawa Eza dari pergi dari rumah itu.
"Yaudah bu, kamu pamit dulu." Ucap Tias kemudian.
"Hati-hati ya mbak Tias, mas Reza."
Setelah memberikan senyum perpisahan, Tias menggandeng lengan Eza, lalu membawanya pergi.
***
Tias menghentikan mobil di tepi jalan raya--dimana terlihat hamparan sawah yang luas di sisi kanan dan kiri jalan tersebut.
Tias menghela napas, menatap prihatin pada sahabatnya yang sedang merunduk sambil menggenggam kotak hitam dan amplop putih. Tias memang sahabat yang baik, dan sangat mengerti bagaimana Eza. Selama dekat dengannya, ia tidak pernah melihat Eza sampai sesedih ini. Bahkan pada saat ada masalah dengan Mira pun, sahabatnya tidak semenderita sekarang.
"Za," panggil Tias kemudian. "Kamu enggak mau baca surat dari Arga? Biar enggak kepikiran terus, mending kamu baca sekarang, deh."
Entahlah, selama perjalanan dari rumah ibu Lina, Eza belum berani membuka amplop tersebut.
"-sapa tahu, habis baca surat itu, kamu jadi lebih baik. Seenggaknya kamu tahu kalau dia baik-baik aja."
Eza menelan ludah. Tenggorokannya seperti tercekat saat menahan tangis. Setelah berpikir sesaat, Eza melatakan kotak hitam di atas dasbor. Setelahnya, dengan hati yang gelisah dan tidak menentu, Eza membuka amplop putih--mengeluar kertas terlipat dari dalamnya.
Secara perlahan telapak tangan Eza membuka lipatan kertas tersebut. Sedikit demi sedikit, namun pasti, lipatan kertas itu terbuka sampurna hingga menampilkan banyak rangkaian kata, yang membentuk sebuah kalimat.
Di dalam hati, Eza membaca tulisan tangan di atas kertas tersebut.
To Eza...
Za, aku minta maaf ya, sekarang aku udah enggak lagi di sini. Aku milih pergi dari pada jadi beban buat hidup kamu.
Za, mengenal kamu ada hal yang indah buatku, tapi memilikimu adalah hal yang mustahil. Dan hal terindah dalam hidupku adalah saat aku bersamamu, tapi terus bersama kamu itu juga hal yang mustahil.
Za..aku sayang sama kamu. Aku juga tahu kalau kamu sayang sama aku... tapi takdir nggak mengijinkan kita bersama.
Pergi dan menjauh darimu itu sangat menyakitkan buatku tapi itu aku lakukan untuk kamu. Terbaik buat kita.
Semoga kebaikan dan kebahagian selalu datang padamu. Bentuk keluargamu dan jadilah ayah yang baik buat anak² mu nanti.
Aku titip kenang-kenangan kita ya. Simpan baik-baik. Kalau aku bawa aku takut jadi nggak bisa ngelupain kamu.
Salam sayang untuk mama dan Tias.
Dari kamu aku banyak belajar. Termasuk cinta yang tidak harus memiliki.
I love you.
Arga.
Air mata Eza lolos begitu saja, setelah ia selesai membaca kalimat demi kalimat yang ditulis oleh Arga. Ia menelan ludah, namun terasa sakit karena ludahnya sudah habis ia telan pada saat ia membaca tulisan tersebut.
Jemarinya mengepal, meramas kuat kertas yang membuatnya terseguk.
Semetara Tias hanya diam menatap prihatin kepada sahabatnya. Meski gadis itu tidak membaca isi surat itu, tapi ia yakin surat itu sangat menyakitkan untuk sahabatnya.
Melatak kertas yang sudah ia remas--hingga terlihat lecek, dengan tangan dan kaki yang gemetar, Eza membuka pintu mobilnya.
"Kamu mau kemana Za," tegur Tias.
"Cari angin.."
"Hati-hati Za."
Pemuda itu melihat gubuk di tengah sawah, di seberang jalan sana. Ia ingin duduk--sambil menenagkan hatinya yang sedang kacau, di gubuk itu.
Terpahan angin yang kencang, membuat rambut dan kemeja yang di kenakan Eza manjadi ber ombak, dan acak-acakkan. Terasa sejuk, namun tidak mampu menyejukkan hati dan pikirannya.
Eza melangkah lesu ke seberang jalan. Kalimat-kalimat yang baru saja ia baca, membuat ia tertunduk lesu. Bayang-bayang wajah Arga, terus merasuki pikirannya, membuat ia semakin kalut, hingga ia tidak menyadari kendaran roda dua, sedang meluncur cepat ke arahnya.
Tiiin....!
Eza baru tersentak sadar pada saat suara klakson mengejutkannya. Namun sayang, ia terlambat karena pada saat ia menoleh, brak! Motor itu sudah menghantam tubuhnya, hingga membuatnya terpental.
Deg!
Tias terdiam, matanya membulat dan mulutnya terbuka buka lebar. Melihat sahabatnya yang sudah tersungkur bercucuran darah, membuat ia sulit untuk bersuara. Namun ia tetap berusaha sekuat tenaga.
Hingga akhirnya, "EZAA.....!!!" Tias berteriak histeris setelah mulutnya seperti terkunci selama beberapa detik.