webnovel

Bab 6

Charity berdiri ragu di depan pintu sebuah kamar yang sudah pernah di kunjunginya, tanpa tahu harus berbuat apa. Bagaimana caranya ia bisa masuk tanpa membuka pintu? Tangannya mendekat ke pegangan besi, merasa terkejut saat jari-jarinya menembus benda pembuka pintu itu.

Kakinya melangkah masuk dengan menabrakkan diri ke kayu setinggi dua meter itu, lalu menembus seperti seorang seorang hantu, membuatnya tersenyum. Aleva berdiri menghadap cermin besar di sana, menatap jauh ke tempat yang tidak terlihat oleh Charity. Gadis bermanik hijau itu mendekat, ikut melihat ke dalam cermin yang terus dipandang Aleva. Sedikit ngeri karena tidak terpantul bayangannya sendiri, benar-benar tampak seperti hantu.

"Apa kau di sini?" Charity terkejut saat Aleva bicara pada cermin. Apa dia sedikit gila?

"Kau ..., yang memiliki takdir, apakah di sini?"

"Iya! Aku di sini! Aleva! Apa kamu menyadari ... keberadaanku?" Hening. Perempuan berambut hitam panjang di sampingnya seolah tidak mendengar teriakan Charity.

"Aku tidak bisa mendengar ataupun melihatmu. Tapi, coba lihat, dengar, dan perhatikan semua yang terjadi di sini. Ikuti terus aku kalau ingin tahu secara lengkap ceritanya."

Bulu roma Charity meremang, sedikit ragu apakah akan melanjutkan petualangan bodohnya atau tidak. Tapi kalau sudah sampai sejauh ini, dia tidak akan bisa mundur lagi.

Aleva berjalan menuju lemari kayu berukir di sebelah kiri ranjang, membuka laci di dalamnya dan mengeluarkan sebuah buku. Meletakkannya di atas kasur, sebelum menjatuhkan tubuhnya untuk duduk di sana juga. Pupil hijau Charity melebar, saat menyadari buku itu sama persis dengan Diary milik Mercy yang sejak tadi di genggamnya. Bedanya buku yang baru dikeluarkan Aleva terlihat lebih baru, tidak ada tulisan apapun di sampulnya.

"Buku ini mungkin akan cukup berguna untuk menulis semua yang terjadi di sini. Ceritanya harus lengkap, dimulai dari kedatanganmu menemui takdir, dan apa saja yang kau lihat di sini."

Charity mendekat dan langsung memegang buku di ranjang, telapak tangan kirinya terasa menghangat. Sebuah tulisan terlihat mulai muncul bersamaan dengan empat angka di tangan Charity yang mengeluarkan cahaya.

4018

Empat angka yang tiba-tiba tertera di halaman depan membuat Charity mengerutkan kening. Apa artinya dia adalah gadis ke 4018? Kalau sang pemilik takdir datang setiap 33 tahun sekali, sudah berapa lama siklus ini terjadi? Ribuan tahun? Atau sejak jutaan tahun lalu?

"Tidak perlu bertanya siklus ini sudah terjadi berapa lama seperti Mercy, karna aku juga kurang mengerti." Perkataan Aleva sudah cukup menghentikan pemikiran gadis delapan belas tahun itu.

"Aleva ..., kau di dalam?" Suara berat seorang lelaki berada di luar pintu, membuat dua orang yang sedang serius menoleh. Charity segera menggenggam erat buku miliknya sendiri, tanpa melepas Diary Mercy.

"Ada apa?" Wajah Railen adalah yang pertama kali terlihat ketika pintu dibuka, garis kekhawatiran tercetak di sana.

"Kita akan melawan keluarga Tarech hingga titik darah penghabisan. Bisakah kau bantu aku memenangkan perang dan melindungi seluruh rakyat Zeedhania?" Suara tegas Railen memenuhi indera pendengar Charity, membuat titik terdalam di hatinya yang semula ragu seolah jadi begitu kuat.

"Aku senang akhirnya kita melawan, Railen. Tunggu di bawah, aku harus bersiap. Sudahkan kau perintahkan Frederick untuk memberitahu seluruh kepala keluarga bahwa kita akan berperang?"

"Tentu saja. Cepat ke kamar kerja Ayah setelah bersiap." Railen mengusap lembut rambut panjang Aleva sebelum melangkah menjauh.

"Jangan lupa bawa Alesha bersamamu," ucap Railen sebelum benar-benar menghilang. Menghilang dalam arti sesungguhnya.

Bagaimana dia bisa ... menghilang? Charity menatap Aleva lekat ketika wanita bernetra merah itu kembali berdiri di depan cermin sambil memejamkan mata. Sebuah cahaya hijau memancar dari dalam cermin, begitu menyilaukan, memaksa gadis bersyal merah yang berdiri tidak jauh menutup mata.

Sebuah tongkat memancarkan cahaya hijau di ujung yang berbentuk sabit sudah berada di tangan Aleva begitu Charity membuka kedua matanya. Di komik yang sering di bacanya, tongkat seperti itu biasanya milik seorang malaikat maut. Hanya saja warnanya berbeda.

"Namanya Alesha, sahabat jiwaku."

***

Vergo melangkah masuk ke kamar putrinya, merasa bingung karena tidak juga menemukan Charity di sana. Padahal ia hanya mengabaikan gadis itu sebentar ketika menyiapkan makanan. Tapi saat sudah selesai, gadis yang harusnya duduk menunggu malah hilang entah kemana.

"Charity! Dimana kamu?" Lelaki empat puluh tahun itu kembali menyusuri rumah menuju perpustakaan, ruang kerjanya sendiri, bahkan seluruh kamar juga tidak mendapatkan di mana putrinya.

"Ayah!" Vergo mendongak saat suara yang begitu ia kenal memanggil, Charity berdiri di lantai dua seraya tersenyum. Benar juga, ia belum sempat memeriksa ke sana.

"Apa yang kamu lakukan di sana? Ayo turun, kita makan dulu."

Gadis berambut gelombang yang dipanggilnya hanya diam, menatap Vergo lama dengan bibir masih mengembang.

"Aku menemukan hal luar biasa di sini, Ayah. Maukah melihatnya bersamaku? Punya nilai seni yang luar biasa,"ucap Charity penuh semangat yang disambut kerutan di kening Vergo. Lelaki itu menaiki anak tangga dengan tergesa, menghampiri Charity yang tersenyum lebar.

"Masuklah ke sini."

Meski merasa sedikit aneh, Vergo terus mengikuti langkah putrinya memasuki sebuah kamar. Ruangan ke tiga dari tangga di lantai dua.

***

"Setiap keturunan murni seorang Leonard, pasti memiliki senjata jiwa yang akan jadi penyempurna kekuatan sejak ia lahir. Ini senjata jiwa, aku lebih suka menyebutnya sahabat jiwa milikku. Namanya Alesha, kuberi nama begitu agar mirip dengan namaku sendiri."

Charity terus mendengarkan celoteh wanita beberapa senti lebih tinggi darinya yang berjalan tergesa dengan serius. Aleva masih mengenakan gaun panjang berwarna ungu seperti yang pertama kali dilihatnya, dengan senjata jiwa atau Alesha berada dalam genggaman.

"Aku mulai bisa memanggil Alesha sejak usiaku lima tahun," ucap wanita itu memelankan suaranya saat berpapasan dengan seorang wanita berseragam pelayan yang tersenyum sopan.

"Senjata jiwa setiap orang berbeda. Milikku seperti ini, terlihat seperti tongkat kematian. Sedangkan milik Ayah berbentuk busur dan panah yang mengeluarkan petir tiap kali di lempar."

Perkataan Aleva membuat gadis berwajah oval itu sedikit terkejut, lupa bahwa ia meninggalkan Vergo tanpa pamit terlebih dahulu. Tidak akan terjadi apa-apa pada Ayah, kan? Perasaannya tiba-tiba dirundung kecemasan.

Charity terus mengikuti langkah Aleva memasuki sebuah ruangan, yang seingatnya itu adalah perpustakaan di waktunya sendiri. Tatanan yang sama seperti rumahnya sendiri, perpustakaan itu sama sekali tidak berubah. Hanya saja semua terlihat begitu baru dan hangat. Buku-buku yang berjejer juga tampak terawat tanpa debu.

Wanita yang memiliki tatapan tajam itu melangkah menuju rak buku berukuran tidak lebih dari satu meter, menggesernya ke tepi dan menampilkan pintu kecil yang semula tidak terlihat tertutup rak. Charity menatap takjub ketika pintu kecil itu di buka, langsung bertemu anak tangga menuju ruang bawah tanah.

Kedua gadis itu menyusuri tangga yang tidak terlalu jauh, langsung bertemu sebuah koridor panjang dan gelap. Suara tapak kaki memenuhi koridor sempit yang lantainya terbuat dari kayu, kadang menimbulkan decitan yang membuat Charity sedikit ngeri. Koridor panjang itu berakhir dengan sebuah pintu besar yang menjulang, Aleva mengetukkan senjata jiwanya tiga kali dan pintu pun terbuka. Beberapa meter dari pintu yang baru saja terbuka, ada pintu lain terlihat.

"Ini ruang kerja sekaligus kamar Ayahku, pemimpin Zeedhania saat ini. Kami menyebutnya ruangan seribu pintu, hanya mereka yang memiliki senjata jiwa diperbolehkan masuk dengan cara mengetukkannya sebanyak tiga kali. Kau juga tidak bisa masuk ke sini meski sedang jadi seorang ruh."

Charity hanya diam saat Aleva memasuki tempat itu, mengerti bahwa ia tidak bisa melangkah lebih jauh. Berada sendirian di koridor yang gelap dan sempit, membuat perasaannya sedikit ngeri. Charity menghempaskan tubuh dan duduk di lantai, merasa lelah.

Ekor matanya melirik buku bertuliskan 4018 yang sejak beberapa menit lalu resmi menjadi miliknya, semua halaman masih kosong tanpa tulisan. Membuka buku milik Mercy, gadis itu akhirnya bisa membaca tulisan di halaman berikutnya. Tapi lagi-lagi hanya sampai saat Mercy harus menunggu Aleva di sini seperti dirinya. Yang aneh, tidak ada sedikitpun tentang lukisan wajah yang tertulis.

Kalau Charity hanya mengulang setiap kejadian yang dilihat pemilik takdir sebelumnya, bukankah harusnya ada cerita tentang lukisan wajahnya sendiri di gulungan yang dijatuhkan Railen? Ada sesuatu yang tidak beres! Mercy langsung mengikuti langkah Aleva memasuki rumah tanpa duduk di samping Railen terlebih dahulu, tidak seperti Charity.

Suara langkah yang memenuhi koridor membuat gadis mengenakan syal merah terkesiap dan menutup buku dengan cepat. Seorang lelaki berperawakan tinggi, memiliki manik persis seperti Aleva berhenti tepat di depan pintu, sebelum menjatuhkan tubuh dan duduk di lantai tepat di samping Charity.