webnovel

Kearifan Tetua

"Mbok….., ayah mencarimu!" suara adik menghentikan langkah Lanai. Dalam bahasa setempat, mbok adalah panggilan untuk kakak perempuan. Pagi ini ia memang sedang berjalan menyusuri desanya untuk melihat perubahan-perubahan di sana.

Bergegas Lanai memutar arah langkahnya, pulang ke rumah. Baru sampai di halaman rumah, terlihat ayahnya telah berpakaian rapi.

"Kita pergi ke rumah Gede Deron dulu. Ayah mau ia memberikan pandangan terhadap penyakitmu itu." Suara ayah yang berat seketika memecah keheningan.

Kami berdua naik ke perahu. Kemudi perahu dikendalikan oleh Ujuk Liman. Dengan cekatan dihidupkannya mesin perahu dan kami berlayar menuju Utara desa. Rumah Gede Deron berada di kawasan hutan kayu Nangi berjarak sekitar lima kilometer dari desa.

Batang-batang Lepironia Mucronata tumbuh di pinggiran sungai. Dalam bahasa setempat, tumbuhan itu disebut Purun. Tumbuhan tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku utama pembuatan tikar. Purun merupakan tumbuhan yang hidup di lahan termasuk ke dalam famili Cyperaceae. Dalam sebuah ekosistem rawa gambut, purun hidup bersama-sama dengan gelam, perepat, pelangas, belidang, seduduk dan pakis udang. Tumbuhan liar itu nampak bergoyang-goyang ditiup angin. Warnanya yang hijau menghiasi pemandangan di sisi sungai pagi hari itu. Sinar matahari yang belum tinggi, memantul-mantul dari daun yang masih dibasahi embun pagi.

Rumah Gede Deron tidak berada di pinggir sungai namun agak masuk ke dalam kira-kira sekitar seratus meter. Ujuk Liman meminggirkan perahu dan menambatkannya di dermaga kecil yang terbuat dari kayu seru. Mereka menjejakkan kaki di daratan di atas papan dermaga itu. Dari sana mereka harus menyusuri jalanan setapak yang di kiri kanannya ditumbuhi semak perdu. Hanya sekedipan mata, rumah yang dituju telah nampak.

Rumah panggung itu keseluruhannya berbahan baku kayu. Tiang-tiang dari kayu Lepate berdiri kuat menyangga berat di atasnya. Lepate hanya dikenal oleh warga setempat, sementara secara nasional kayu itu disebut kayu besi. Di Kalimantan, kayu itu disebut kayu ulin atau bulian. Nama binomialnya Eusideroxylon Zwageri yang termasuk dalam famili Lauraceae. Lepate termasuk jenis pohon besar yang tingginya bisa mencapai lima puluh meter dengan diameter sampai seratus dua puluh meter. Pohon ini tumbuh pada dataran rendah pada ketinggian lima sampai empat ratus meter di atas permukaan laut dengan medan datar hingga miring.

Lepate tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan kayu campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa. Kayu Lepate tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban dan pengaruh air laut, sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras. Oleh masyarakat setempat, kayu ini dibuat untuk tiang-tiang penyangga rumah. Jika terbenam dalam air sungai, kayu Lepate tidak lapuk namun malah menjadi lebih kuat.

Sekelebatan mata saja sudah bisa ditaksir rumah itu paling tidak berukuran delapan kali empat belas meter. Kayunya yang hitam membuat rumah besar itu nampak angker. Di sinilah tetua kampung tinggal. Saat mereka menaiki anak tangga dan mengucapkan salam, pria tua itu telah menyambut kedatangan mereka.

"Wa alaikum salam. Silakan masuk." Suaranya kedengaran jelas dan berat. Menurut cerita orang-orang kampung, Gede Deron umurnya mungkin telah mencapai seratus tahun, tetapi tubuhnya tetap kuat dan sehat.

Tidak ada kursi di rumah itu. Yang ada hanya tikar purun yang dibentangkan di ruang tamu. Ayah dan Lanai langsung duduk di hadapan tetua yang mereka hormati. Kulit Gede Deron yang hitam itu ditambah dengan kumisnya yang melintang lebat membuat Lanai tak berani bicara. Tubuhnya yang gempal – dengan tinggi badan hanya sekitar seratus lima puluh lima centimeter – menambah kesan angker pada diri tetua kampung tersebut.

Sudah jadi kebiasaan masyarakat di kampung Lanai, setiap ada peristiwa besar yang menimpa warga kampung, mereka pasti meminta pendapat dan saran dari tetuanya ini. Kedatangan ayah membawa Lanai ke rumah ini juga untuk tujuan yang sama.

"Kami datang ke sini untuk meminta saran dan pandangan Gede terkait kesehatan Lanai. Menurut dokter di kota, Lanai kini telah terbebas dari penyakitnya. Ibunya berencana untuk memindahkan sekolahnya lagi ke kampung," jelas ayah.

Lanai sempat kaget mendengar rencana itu. Sebelumnya, baik dalam perjalanan di atas perahu hingga tiba di rumah, ayah dan ibunya tidak pernah menyinggung tentang rencana itu. Tetua mengunyah sirih sambil mulutnya berkomat-kamit. Entah apa yang dibacanya. Tiba-tiba tangannya merengkuh lengan Lanai. Dipukulinya tangan kecil itu dengan selembar daun sirih. Ia bergumam, "Tak baik anak ini tinggal di sini. Kau harus mengembalikannya ke kota segera. Menurut pandanganku, jika ia kembali tinggal di kampung, maka penyakit ganas lain akan menyerangnya."

"Tetapi ibu Lanai bersikeras untuk membawanya pulang ke kampung. Dia kan bisa sekolah di sini. Tidak ada yang mengasuh adik-adiknya jika ia tetap di kota. Sementara Mboknya, Dayu, telah hampir satu tahun ini sekolah di Simpang Pematang. Satu bulan sekali, ia baru pulang ke rumah," jawab ayah.

"Kalian tidak bisa membuat rencana untuk anak ini. Tuhan sudah punya rencana-rencana besar untuknya. Oh iya, satu lagi. Dayu, anak perempuanmu lainnya, harus juga kau pindahkan ke kota. Ia ditakdirkan untuk menjadi penjaga dan pengasuh Lanai." Suara itu tegas, ayah tidak berani membantahnya.

Ayah dan anak itu langsung pamit pulang ketika Gede Deron mengibaskan tangan kanannya. Itu pertanda ia tidak mau bicara lagi. Mereka seketika pulang ke rumah. Sesampai di rumah, kami sudah disambut oleh anggota keluarga lengkap. Ada kakak, Mbok Dayu dan dua adik Lanai. Mereka menunggu ayah bicara.

"Kami sudah meminta saran dari tetua, tetapi sayang sekali Bu…., keinginan engkau untuk membawa pulang Lanai tidak bisa kita diwujudkan. Akan ada penyakit ganas lainnya yang akan menyerang Lanai jika ia tinggal di sini." Ayah menyeruput kopi pahit yang memang telah disiapkan ibu.

"Oh iya, satu lagi, Dayu harus ikut sekolah di kota untuk menemani Lanai." Keterangan itu menyelesaikan pertemuan keluarga mereka. Dalam kerlingan mata Lanai, nampak Dayu tersenyum simpul, dalam sekali makna senyumannya itu.

*****