webnovel

Bertemu Gajah Liar

Pagi itu, Dayu bersiap-siap dengan sepeda ontelnya. Anak perempuan berseragam putih biru itu mengayuh sepeda dari Simpang Talang Gunung menuju sekolahnya di SMP Simpang Pematang. Dayu kesiangan. Rombongan murid bersepeda yang biasa menjadi temannya mengarungi tujuh kilometer perjalanan menuju sekolah, telah berangkat. Ia kini bersepeda sendirian, ketinggalan rombongan seperjalanan.

Jalan menuju sekolah diapit pohon-pohon besar seukuran drum. Di kiri kanan jalan, tertutup rindang karena rimbunnya dedaunan dari pohon-pohon berusia puluhan tahun. Satu-satunya yang menjadi motivasi Dayu berangkat sekolah hari ini adalah ulangan Bahasa Inggris. Jika tidak ada ulangan, pasti Dayu akan memilih bolos sekolah.

Bibinya sempat melarangnya untuk pergi sekolah seorang diri, namun Dayu tak bergeming. Ya, sudah hampir satu tahun, Dayu menumpang di tempat pamannya karena di kampungnya hanya ada SMP pembantu dengan tiga orang guru honor sebagai tenaga pengajar. Ayahnya menitipkan Dayu di rumah pamannya agar ia bisa sekolah di tempat yang layak.

Gunaim adalah suami dari bibi Eka, adik dari ayahnya. Mereka tinggal di Simpang Talang Gunung yang berjarak lima belas kilometer dari sekolah Dayu. Pamannya memiliki usaha sawmil, penggergajian kayu. Bersama sejumlah pemilik usaha sejenis, pamannya mendapat kontrak land clearing hutan di Register 45 Sungai Buaya dari perusahaan pemegang Hak Pengelolaan Hutan, HPH. Secara ekonomi kehidupan keluarga pamannya itu tergolong mapan. Ia baru memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia empat tahun. Sepulang sekolah, Dayu membantu bibinya mengasuh sepupunya yang masih kecil itu.

Perlahan Dayu mengayuh sepedanya menapaki jalan tanah sedikit berbatu. Malam tadi hujan deras mengguyur wilayah itu, jalan tanah menjadi licin sementara di kiri kanan jalan nampak genangan air yang membuat laju roda sepeda tertahan. Dikuatkan hatinya untuk tetap memutar kaki agar ia sampai di sekolah sebelum bel tanda masuk berbunyi. Di pertengahan jalan, didengarnya suara berdegup-degup kencang seperti suara derap langkah kuda dari prajurit yang akan menuju medan tempur. Seketika Dayu pucat pasi, diarahkannya laju sepeda menuju semak belukar. Sementara Dayu sendiri bersembunyi di balik batang pohon besar.

Tak lama berselang, di hadapan Dayu berjalan berderap-derap sekawanan gajah liar. Gajah yang membuka jalan di depan berukuran sangat besar, usianya sepadan dengan gadingnya yang panjang menyelinap di sela-sela belalainya. Gajah itu pasti pemimpin rombongan dan usianya pasti sudah sangat tua. Di belakangnya berjalan rapi gajah berukuran sedikit lebih kecil dari pemimpin rombongan. Demikian terus berderet rapih gajah-gajah yang berukuran lebih kecil.

Induk-induk gajah mengikuti langkah pemimpin rombongan sementara di belakangnya mengintil anak-anak gajah yang jumlahnya tidak dapat lagi dihitung oleh mata Dayu yang tengah diserang ketakutan luar biasa. Ia bahkan menahan nafas dan mengaturnya agar tidak diketahui ratusan gajah liar itu.

Sudah dua puluh menit berlalu, barisan gajah terus melaju dan belum menunjukkan tanda akan segera berakhir. Dayu semakin pucat pasi. Dalam hatinya ia berdoa agar tidak menjadi korban gajah liar. Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat di sana, jika sedikit saja menyinggung perasaan makhluk besar berbelalai panjang itu, maka ia pasti akan tewas diinjak-injak kawanan gajah. Dayu bergidik dan terus mengatur nafasnya satu-satu.

Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Dilihatnya deret terbelakang dari rombongan gajah liar itu sudah jauh meninggalkan jalan yang hendak dilaluinya. Suara berdentam langkah kaki gajah mulai terdengar sayup-sayup, Dayu keluar dari persembunyiannya. Diambilnya sepeda dari semak-semak dan ia langsung meloncat ke sadel sepeda untuk segera melanjutkan perjalanan.

Namun baru empat kali kakinya mengayuh sepeda – dilihatnya dari arah semak-semak yang kini rata dengan tanah karena diinjak kawanan gajah – muncul tiga anak gajah seukuran sapi muda. Seketika Dayu menghentikan sepedanya. Ia tak sempat lagi bersembunyi, anak gajah itu telah mengetahui kehadirannya. Dayu diam mematung di sadel sepeda dan menahan nafasnya.

Dua anak gajah tidak menghiraukan keberadaannya, namun anak gajah ketiga yang berukuran paling kecil menghampiri sepedanya. Gajah kecil itu mengarahkan belalainya menciumi roda depan sepeda lalu berputar ke belakang dan terus mengendus kaki dan tubuh Dayu. Rasanya saat itu, Dayu ingin berteriak kencang meminta pertolongan lalu melompat berlari menjauh meninggalkan sepedanya. Namun apa daya saat itu ia mati rasa. Yang dirasakannya hanya degupan kencang jantungnya sementara seluruh tulang-tulang persendiannya seakan terkulai menyisakan daging lembut dibalik kulit tubuhnya.

Dayu hanya bisa berdoa, mudah-mudahan anak gajah itu tidak memukulkan belalainya yang keras itu. Dayu faham jika ada anak gajah yang tertinggal rombongan, biasanya di belakangnya masih ada induk-induknya yang lain.

Seluruh doa yang didapatnya dari guru ngaji di desa telah habis dirapalnya dalam hati. Sayangnya anak gajah itu masih ingin bermain-main dengan sepeda dan penumpangnya yang pucat pasi tersebut. Aku harus sabar dan kuat, begitu dayu memotivasi dirinya sendiri.

Beruntung saat Dayu hampir tak kuasa lagi menopang berat badannya, dari arah berlawanan muncul sebuah mobil taft 4 x 4 terbuka yang berisi serombongan petugas pengamanan hutan. Dalam jarak tiga puluh meter dari tempat Dayu berdiri, mobil itu berhenti. Lima penumpangnya segera turun menghalau anak gajah yang saat itu masih bermain dengan sepeda Dayu. Dayu seolah mendapat kekuatan baru. Kendati masih tetap diam mematung di tempatnya semula, ia kembali berhasil mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk tetap berdiri di atas sepeda.

Lima petugas itu memang sangat terlatih menghalau gajah-gajah liar. Satu diantara mereka dikenal Dayu karena ia tinggal di samping sekolahnya. Namanya Pak Nuel, aslinya ia orang Bugis. Mereka dikirim ke tempat ini sebagai pegawai pemerintah yang bertugas mengamankan hutan dan sangat terlatih menghalau gajah liar. Pamannya pun mengenal pria itu karena ia kerap mampir di sawmil milik mereka.

"Kamu diam saja di tempat, jangan bergerak-gerak," ujarnya dengan suara keras.

Salah seorang petugas itu kemudian memukul-mukul body mobil yang mereka kendarai, sementara yang lainnya meneriakan seruan dengan suara kencang. Seketika suasana hening langsung berubah gaduh. Anak gajah langsung terusik dan berlari menjauh menuju jalan yang telah dilintasi rombongannya terdahulu. Dua anak gajah lainnya sudah tidak terlihat lagi ketika itu. Anak gajah itu lalu ikut menghilang dari pandangan mereka menyusul rombongan di depannya. Dayu dan sepedanya lalu diamankan oleh seorang petugas. Ia dinaikkan ke atas mobil dan mereka berlalu dari tempat tersebut menuju ke rumah paman.

Bibinya yang mendengar cerita dari petugas itu langsung memeluk tubuh Dayu. Terlihat jelas di wajah cantik itu, raut cemas yang tak terkira. Dayu langsung dibawa ke dalam rumah berdinding papan, tempat keluarga pamannya tinggal. Saat itu masih terdengar di telinga Dayu obrolan mereka bahwa akan datang rombongan gajah jinak dari Thailand yang kini berada di Way Kambas untuk menangkapi gajah-gajah liar di Mesuji. Hari itu pengalaman sangat berharga dialami Dayu, ia nyaris jadi korban gajah-gajah liar.

*****