webnovel

TEARS OF DEATH

Kehadiranmu membuatku mengerti akan arti cinta Namun, sebuah rasa yang terbelenggu membuatnya hancur berantakan Haruskah aku damai pada sang semesta? Atau haruskah aku berteriak marah pada Sang Pencipta? Ini kisah dua orang terbentuk dari ketidaksengajaan. Berawal dari rasa penasaran hingga sampai akhirnya menjadi sebuah perasaan. Perasaan yang dalam menjadi sebuah boomerang itu sendiri. Alvaro yang tidak sengaja merasa penasaran dengan Akira pun menjadi jatuh cinta. Cinta yang tidak seharusnya ada di dalam hatinya. Sebab, cinta itu sendiri akan menjadi sebuah rasa kebencian yang tidak termaafkan. Selamat membaca!

alexha · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
10 Chs

7. Keterlambatan

Di tengah perjalanan menuju mansion Akira, tiba-tiba Ken menghentikan mobilnya dan menatap wajah Cyra bingung. Perempuan modis itu nampak memeriksa tas kecilnya berkali-kali. Kerutan di dahinya pun nampak sangat jelas sambil sesekali mengusap hidungnya gatal.

"Kenapa sih lo?" Devin memajukan tubuhnya menatap Cyra penasaran.

Cyra menoleh sekilas, lalu menggeleng pelan sambil memilin bibir tipisnya ke dalam. Kebiasaan perempuan itu ketika sedang bingung.

Ken yang tak kalah penasaran pun menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia yang biasanya cuek dan kesal, kini sedikit bersimpati melihat kecemasan di wajah Cyra.

"Ponsel gue ketinggalan kayaknya," ujar Cyra pelan.

Devin mengangkat alisnya bingung. "Bukannya lo tadi ngasih ke gue?" Tangan kanan laki-laki tampan itu terulur menyerahkan sebuah ponsel ber-case Doraemon.

Seketika Cyra menatap Devin penuh, lalu menyambut ponselnya dengan wajah suka cita. Ia sedikit khawatir jika sampai melupakan benda pipih yang amat berharga itu. Sebab, di sinilah ia bisa mengabadikan setiap momen. Mungkin selfie Bahasa gaulnya.

"Oh my ghost! Gue kira enggak kebawa." Cyra menggenggam ponselnya dengan erat, lalu tersenyum lebar memamerkan deretan gigi behelnya yang nampak seperti pagar atas-bawah.

Ken menoyor kepala Cyra pelan. "Makanya jangan pikun."

Cyra menatap Ken sengit, lalu menjulurkan lidahnya dengan gaya mengejek.

Sementara Devin hanya tersenyum maklum melihat pertengkaran Cyra dengan Ken. Kedua makhluk berbeda jenis kelamin itu memang sangat tidak akur. Sangat berbeda dengan ketika sedang bersama Akira, Ken akan selalu banyak tertawa. Bahkan sering dikatakan sepasang kekasih. Walaupun dari mereka tidak pernah merasakan perasaan aneh yang muncul. Murni sebagai sahabat.

Ken mulai melajukan kembali mobilnya melewati Ciangsana, lalu belok ke arah Kota Wisata. Jalanan nampak agak lenggang. Padahal biasanya di jalan Trans Yogi-lah banyak kendaraan yang berjejer rapi menunggu giliran untuk melintas atau pun berbelok melalui putaran arah yang biasa dilakukan.

Patung-patung khas Romawi Kuno mulai menyambut pandangan mereka bertiga. Berkali-kali Cyra berdecak kagum dengan patung-patung kuda berwarna coklat-nude. Mereka tampak gagah dengan warna yang tidak pernah memudar, meskipun sering diterpa hujan.

Setelah memasuki wilayah Kota Wisata, Ken melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, ia ingin memanjakan mata melihat keindahan kota yang telah lama sekali tidak dirinya kunjungi. Semenjak perpindahan Akira dan dirinya ke salah satu kota padat di Bekasi.

Memang sering kali Akira meminta Ken untuk sesekali mampir ketika berkunjung, tetapi tidak pernah ia sempatkan. Sebab, dirinya selalu ditumpangi oleh kedua orang tuanya atau kakaknya yang kebetulan meminta tumpangan ketika iseng melintasi kota ini.

Jika dikebanyakan wilayah lebih mementingkan bangunan, sangat berbeda dengan di sini. Karena setiap bangunan atau pun kedai-kedai yang ada, mereka didirikan dengan gaya khas Romawi. Bahkan mereka sangat memperhatikan warna cat dan penempatan patung-patung kuda atau pun kaisar Romawi Kuno.

Semua yang berhubungan dengan Romawi Kuno sudah pasti ada di tempat ini. Hingga tanpa sadar mobil putih milik Ken telah memasuki gerbang mansion milik Kakek Hasbi. Sebelum mereka masuk sempat dipertanyakan, namun karena Ken telah sering berkunjung, akhirnya dengan mudah ia memasuki jalan utama menuju mansion.

Butuh beberapa menit hingga bangunan tingkat tinggi itu mulai memanjakan mata Cyra. Berkali-kali ia berdecak kagum melihat keindahan mansion milik Kakek Hasbi. Sebetulnya, Cyra sendiri belum mengenal Kakek Hasbi, tetapi berkat bujukan Devin dan Ken, akhirnya ia mau. Walaupun sedikit merasa tidak enak.

"Sumpah! Dari gerbang sampai mansion aja butuh waktu bermeniit-menit," celetuk Devin sambil menggelengkan kepalanya takjub.

"Belum lagi kalau lo kehabisan bensin di tengah jalan begini," sahut Ken datar.

Seketika Cyra mendelik kesal. Bagaimana bisa Ken berpikiran hal yang menyeramkan seperti itu. Apakah laki-laki itu tidak melihat keadaan sekitar yang nampak seperti hutan lebar yang hidup di tengah-tengah perkotaan. Meskipun, muncung mansion nampak berdiri tegak. Tetapi, aura ketakutan itu masih menghantui benak Cyra.

"Ssst ... lo jangan nakut-nakutin dong!" sungut Cyra kesal.

Senyum licik terbit di bibir Ken. "Gue dulu pernah main di sekitar sini dan gue pernah ketemu salah satu ular peliharaan Kakek Hasbi."

"Yang bener lo?" Kali ini Devin yang bertanya dengan tatapan serius.

"Ya enggaklah!" sahut Ken tertawa lebar.

"Fuck!" pungkas Cyra kesal dengan wajah yang sehorror mungkin.

***

"Gerah juga lama-lama di hotel," gerutu Alvaro pelan.

Setelah menemani kakeknya bertemu dengan salah satu kolega bisnis, Alvaro memang sedikit tidak nyaman dengan perlakukan sekretaris dari kolega tersebut. Entah apa yang membuat dirinya tak nyaman. Padahal perempuan itu nampak biasa saja, walaupun pakaiannya yang sedikit terbuka dengan belahan dada yang sengaja diperlihatkan.

"Alvaro?"

Seorang laki-laki berpakaian hitam lengkap dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya itu bahu kokoh Alvaro pelan.

"Dzaky?" sahut Daffa tersenyum lebar.

"Sejak kapan pohon cemara mampir ke sini?" ejek Dzaky mendapati adik sepupunya tengah berdiam di sudut hotel. Laki-laki yang lebih tua beberapa tahun dari Alvaro ini nampak rapi. Walaupun sebenarnya Dzaky berpakaian santai. Namun, entah sentuhan apa yang diberi orang tuanya dulu sehingga laki-laki itu dalam keadaan apapun akan terlihat formal.

Alvaro menepuk bahu Dzaky pelan sambil tersenyum lebar. "Semejak kantor lo punya cewek cakep."

"Si Goblok! Siapa yang lo maksud?" Dzaky menatap Alvaro serius.

"Sekretaris kolega Kakek," balas Alvaro dengan wajah malas.

"Kali ini cakep enggak?" Wajah Dzaky sedikit bersemangat. Sepertinya kali ini ia akan maju paling depan jika berurusan dengan wanita.

Alvaro sedikit mengerutkan dahinya menatap Dzaky. "Mau lo tikung?"

"Yoi. Kalau cakep siapa sih yang enggak suka," sahut Dzaky tersenyum nakal.

"Putih dan mulus," ujar Alvaro acuh tak acuh.

"Sip. Incaran gue nanti malam," pungkas Dzaky bersemangat, mengabaikan tatapan Alvaro yang prihatin melihat kebrengsekan kakak sepupunya ini.

Sudah berlusin-lusin Dzaky menghabiskan hidupnya dengan para wanita. Sama seperti Alvaro. Semenjak dirinya menetap di negara Eropa, Dzaky sering kali berpindah apartemen hanya untuk mencari kepuasan semata. Padahal laki-laki itu dengan gampangnya mencampakkan, tetapi tidak pernah ada satu pun wanita yang dendam padanya.

"Gue bantu," putus Alvaro sambil melenggang pergi meninggalkan Dzaky yang tersenyum kegirangan.