webnovel

Siapa "orang itu?"

Yagi"

"Yagi, Yagi, ayo keluar dong!"

Esya sibuk mengedarkan pandangannya, mencari dimana keberadaan Yagi. Esya tahu, lelaki itu pasti tahu semuanya.

Sudah beberapa menit berlalu, tapi Yagi belum muncul juga. Itu membuatnya putus asa. Tapi, Esya bisa apa?

Otaknya kembali berpikir keras. Padahal hari ini dia sudah berkutat dengan kerjaannya. Tapi seperti biasa, Esya akan terus berlaku melewati batas jika dia benar-benar penasaran.

Ditengah kebingungannya, Esya mengingat sesuatu. Itu tentang pengakuan Yagi. Yang dimana lelaki itu berasal dari embun air matanya. Walaupun terasa amat mustahil, tapi Esya akan mencobanya.

Wanita itu mulai mencoba mengingat-ingat kejadian yang membuatnya sangat sedih. Itu tentang kematian ibunya. Mendadak, embun air mata itu mendarat mulus di kedua pipinya. Dan, tak berapa lama dia merasakan kalau Yagi telah hadir dalam kamarnya.

"Yagi?"

Tangannya mengusap-usap air mata yang berjatuhan itu, dan–senyuman manisnya melengkung indah, membuat siapapun yang melihatnya begitu terpesona pada aura ketampanannya.

"Maaf" Kalimat pertama yang bisa dia katakan ketika Esya memeluknya adalah permintaan maaf yang terdengar begitu lirih.

"Hiks, hiks, Haaahhh …." Perempuan itu semakin erat memeluk lelaki itu. Seakan-akan tak mau kehilangan sosok yang selalu ada.

Seumur hidup, Esya tidak pernah memeluk cowok sampai sebegininya. Bahkan, Anugerah saja tidak pernah memeluknya. Tapi, Yagi? Cowok itu sangat beruntung ketimbang cowok-cowok lain yang sudah mengenal Esya jauh lebih lama darinya.

"Iya, Ca. Udah, ya, jangan nangis lagi," Suaranya sangat lembut. Begitu nyaman terdengar di telinga.

Perlakuannya. Semua perlakuan Yagi begitu lemah lembut. Sampai-sampai Esya merasa kalau Yagi benar-benar tulus menyayanginya. Sampai …

"Ca? Kamu udah lama pulang?"

Terlihat Yagi yang tengah berdiri di depan pintu rumah dengan tangan di lipat di dada. Pakaiannya berbeda, bukan seperti yang tadi. Kali ini lebih terlihat seperti pria eksekutif.

Melihat itu, dahi Esya mengerut. "Kok?"

"Ca, udah ya, jangan nangis lagi. Tidurlah cepat. Besok masih hari kerja."

Tepat diakhir ucapan itu, Yagi mematikan lampu kamar wanita itu.

"Esyara, syara …,"

Samar-samar wanita itu mendengar suara yang mirip seperti Yagi. Lagi dan lagi kejadian ini terulang kembali. Esya semakin dibuat bingung dengan apa yang terjadi.

Ini seperti labirin otaknya sendiri. Seperti sedang di tipu haluan otak sendiri. Esya tidak tahu mana yang bisa disebut nyata dan tidak nyata. Dia seperti orang gila yang tengah kebingungan.

Dan, tiba-tiba saja terdengar gebrakan keras di suatu tempat yang terdengar dekat dengan kamar tidurnya. Suara itu sangat keras. Sampai-sampai membuat Esya tidak jadi tidur.

Dia melangkahkan kaki ke arah suara itu berasal. Namun, suara keras itu terhalang oleh tembok kamar gudang yang selama ini dikunci ayahnya. Selama ini yang Esya tahu, tidak pernah ada seorangpun yang pernah masuk kesana.

"Ca, ngapain?"

Tiba-tiba saja Yagi mengagetkannya. Wanita itu tak jadi melangkah lebih jauh. Sesaat dia menatap Yagi, lalu kembali ke kamarnya bersama pria itu.

"Ca, tadi kamu lihat apa, sih?" Yagi tampak penasaran mengulik sesuatu dibalik pikiran Esya.

Dia menggeleng lemah. "Gak ada."

"Kamu ada yang mau ditanyain sama saya?" Yagi semakin menyudutkan wanita itu. Jika Esya tidak pelupa, dia pasti sudah tahu kalau Yagi tahu semuanya. Tentunya dengan kemampuannya itu.

Esya tak menjawab. Tapi, lelaki itu bisa tahu isi hatinya. Jadi, tak sulit bagi Yagi untuk memahami apa yang Esya pikirkan saat ini.

'Ini semua terlalu aneh.'

'Kalau aku tanya Yagi, apakah dia akan mengaku?'

'Sebenarnya siapa yang salah?'

'Penglihatanku atau Yagi yang sepertinya sedang mempermainkan indera penglihatanku?'

Esya menghela napas, matanya menatap Yagi dengan tatapan tegas. "Gak ada. Sebaiknya aku tidur cepat. Besok masih hari kerja. Selamat malam."

Dengan kata lain, Esya mengusir lelaki itu secara halus. Tapi, dia tetap berada disitu. Dengan kata lain dia menolak untuk pergi. Energinya terlalu kuat.

"Kamu merasa ada yang aneh?" Yagi menatap wanita itu dengan santai, seketika pergerakan Esya untuk menutup tubuhnya dengan selimut terhenti.

Esya tetap bungkam. Intuisinya merasa Yagi pun menyimpan sesuatu yang sebenarnya harus dia ketahui.

Tapi, karena terbentur waktu, dia tetap memilih pilihan yang sama. "Gak. Tolong jangan tanya apa-apa lagi. Biarkan saya istirahat!"

Entah apa yang dipikirkan Yagi, tapi lelaki itu sudah menghilang sekarang. Dia pergi begitu saja.

=======

Sekarang wanita itu tengah berada di suatu tempat yang tak asing baginya. Inderanya melihat kalau lelaki misterius yang pernah datang ke mimpinya kini muncul lagi. Seperti biasa, wajah itu tidak terlihat secara pasti seperti apa bentuknya.

Wajah itu blur, tapi intuisinya tahu kalau itu adalah lelaki yang sama, yang pernah hadir dalam mimpinya.

Waktu itu, Esya melakukan suatu kesalahan besar yang membuat ayahnya naik pitam.

"Apa kamu tahu seberapa mahal figura itu?! Bahkan lebih baik kamu mati daripada figura ini yang pecah!"

Tepat saat terakhir kata-kata itu dilontarkan, sebuah tamparan mendarat mulus di pipi anak kecil malang itu.

Sangat sakit, rasanya seperti duniamu begitu menyedihkan. Tak ada yang lebih baik dari menangis sepanjang malam di dalam kamar.

Esya kecil yang tengah meringkuk lemah dengan tubuh yang sepenuhnya tertutup selimut itu menangis sesenggukan. Uluh hatinya sakit. Karena sang ayah telah berkata hal yang menurutnya sangat menyakiti hatinya.

Yah, siapapun pasti akan sangat sakit hati.

Terdengar suara ibu yang dari tadi tak berhenti mengetuk-ngetuk pintu kamar gadis kecilnya. Dari suaranya terdengar begitu cemas. Wanita itu tahu kalau Esya gadis yang berkarakter seperti apa.

Dia khawatir kalau Esya melakukan suatu hal yang menyakiti diri sendiri. Anak itu sangat tempramental.

Banyak orang yang bilang, kelamaan menangis dapat membuatmu tertidur pulas. Dan tak butuh waktu lama, Esya sudah mengetuk alam bawah sadarnya.

Samar-samar dia melihat pertikaian orang tuanya. Terlihat ibunya yang tengah jatuh terduduk dengan linangan air mata dimana-mana. Dan ayahnya yang berkacak pinggang sembari mencaci-maki ibunya dengan intonasi suara yang benar-benar keras. Sesekali dia melemparkan benda-benda yang ada di sekitarnya. Lelaki itu punya sifat tempramental yang sama seperti anak semata wayangnya.

Esya yang tak tahu apa-apa hanya bisa melongo, menyaksikan perdebatan diantara keduanya. Dengan titik permasalahan adalah hak asuh untuk Esya bila mereka bercerai nanti.

Mendengar kata "perceraian", hati Esya sangat sakit. Dia tak kuat menahan embun air matanya yang sebentar lagi pasti tumpah.

Tes …

Ditengah situasi yang genting ini, Esya ditarik ke dalam pelukan hangat dari orang yang bertubuh besar. Tubuhnya sangat hangat, membuat Esya nyaman menguraikan air mata disana.

"Kenapa? Bukankah aku sudah tidur? Kenapa hidupku berantakan seperti ini? Hiks …," suara pecahan barang-barang dan juga suara pertikaian kedua orang tuanya masih terdengar. Walaupun tidak sejelas tadi. Karena sepertinya orang ini membawa Esya menjauh dari tempat menyedihkan itu.

Tiba-tiba ada tangan besar yang mengusap-usap pucuk kepalanya. Perlakuannya sangat lembut. Esya yang polos pasti akan menganggap "orang ini" adalah orang baik. Tapi, jangan lupa juga kalau Esya tak punya seorangpun teman karena dia tak bisa menerima kebaikan dari orang disekitarnya.

"Gapapa, ada saya disini. Saya akan terus bersamamu. Jangan takut, gadis cantik …,"

Suara itu menghilang tepat saat Esya ingin melepas pelukannya. Saat itu Esya sudah mulai tersadar kalau dia tak boleh bersandar bahkan terlihat rapuh di depan orang asing. Dia ingin memaki lelaki itu. Tapi sayangnya perlahan-lahan "orang itu" menghilang dan wajahnya tidak bisa terlihat sempurna. Wajahnya blur. Tapi terukir senyum indah yang seketika membuat hatinya tenang ketika melihatnya.