webnovel

BAB 1

Alunan lagu yang terputar dari arah tape yang diletakkan di dekat jendela, membuat seisi ruangan menggemakan suaranya dengan bibir yang terus bergumam tidak jelas.

Seorang perempuan yang baru saja menyelesaikan lipatan kainnya menoleh ke arah jendela, dan tersenyum manis seraya mengagumi betapa indahnya langit jingga sore ini.

Matanya ikut berkilau diterpa sinar matahari sore dan rambutnya yang tertata perlahan tersibak oleh angin sepoi, ia lagi - lagi kembali tersenyum.

Dengan langkah yang pelan, ia berjalan ke arah jendela dan meraih tape yang sedang memutarkan lagu dan membelainya dengan lembut. Wajahnya penuh dengan kehangatan.

Ia kembali tersenyum dan memandang keluar jendela, angin kembali menyibakkan rambutnya, dan membuat alam kembali berdecak kagum akan kecantikan yang perempuan itu miliki. Bahkan matahari yang hendak terbenampun merasa iri.

Tukang pos yang sedang melintasi rumahnya bahkan tak bisa mengalihkan pandangannya dari perempuan yang sedang tersenyum ini. Mata perempuan itu bagaikan magnet yang menarik sang tukang pos untuk mendekat.

Namun dari arah pintu terdengar suara yang cukup menggelegar, ia menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya memandangnya dengan tatapan marah dan wajah yang penuh keangkuhan.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya dan menatap wanita paruh baya itu lama. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan dalam lubuk hatinya yang menganggunya. Ia merasa terganggu.

Perempuan itu perlahan merasakan ketakutan yang amat sangat sehingga lututnya bahkan sudah mulai tak kuat untuk menopang berat tubuhnya. Ia menjadi gugup tidak jelas.

Ah, aku benar benar dalam masalah ucapnya dalam hati ragu. Ia tau ini tak akan berjalan dengan baik. Hal yang ia lakukan pasti akan mendapatkan sesuatu.

"Jocelyn Richards, apa kau akan terus bertingkah seperti seorang bintang film dengan memutar tape itu?"

Tanya wanita paruh baya itu dengan wajah memerah menahan amarah.

"Ah, ibu" Jocelyn mendengus kesal.

Benar, wanita paruh baya itu adalah Anna Richards, ibu dari perempuan penikmat barang antik yang memiliki manik mata zamrud dengan rambut brown ikal.

Tingginya semampai bahkan senyumnya pun sangat menawan, perempuan itu adalah anak perempuan kedua di keluarga Richards.

Perempuan itu bernama Jocelyn Richards, ia memiliki seorang kakak perempuan yang sangat ambisius yang bernama Emily Richards.

Jika terlihat sekilas keluarga ini memang harmonis namun sebenarnya hubungan antara kedua anak perempuan ini tidak begitu baik adanya.

Jocelyn lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya, Thomas Richards adalah seorang profesor di sebuah kampus ternama di Brooklyn sedangkan ibunya adalah seorang perawat.

"Ibu tau kau sangat menikmati hari libur saat ini, tapi bukankah ini agak keterlaluan? Waktumu tampaknya terasa sangat senggang ya," ucap ibunya dengan raut wajah kesal.

Jocelyn hanya terdiam. Ah, ibunya benar hanya karena ia sangat menikmati hari libur yang sudah sangat lama dinantinya ia bahkan tak turun kebawah sama sekali.

Keluarga Richards punya kebiasaan untuk makan siang dan malam bersama serta menghabiskan waktu sorenya dengan menikmati secangkir teh di kebun belakang rumahnya.

Dan hari ini, Jocelyn tidak keluar sama sekali dari kamarnya hingga membuat sang ibu kesal dan pada akhirnya menyusul dirinya ke kamar.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Jocelyn melakukan ini, ia hanya ingin menikmati musim panasnya untuk pertama kali semenjak kesibukan kuliah dan jadwalnya yang begitu padat.

Selama ia memasuki kampus, jadwalnya menjadi lebih padat dan bahkan ia tak memiliki waktu untuk bernafas dan ketika ia mendapat hari libur, ia benar-benar ingin memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

Atau begitulah yang terbesit di dalam pikirannya, benar adanya sampai ibunya datang dan membuatnya dilanda rasa bersalah. Seperti yang saat ini sedang terjadi.

"Bu, aku minta maaf. Kalau begitu mari kita kebawah sekarang, tea time belum berakhir kan?" Tanya Jocelyn pada ibunya dengan nada dan raut wajah penuh sesal.

"Waktu minum teh sudah selesai dari dua puluh menit yang lalu. Lagipula, apa kau sudah berkemas? Kita akan berangkat besok pagi-pagi sekali," ingat ibunya pada Jocelyn.

Jocelyn mengernyitkan dahinya tak mengerti, apa maksud perkataan ibunya  mengenai hal ini. Dan seakan mengerti apa yang dipikirkan putrinya ia melanjutkan kalimatnya yang nampak menggantung.

"Ah, apa kakakmu belum memberitahumu? Kita akan berlibur di tempat pamanmu, di Manhattan." ujar ibunya dengan sedikit perasaan heran.

"Ah, begitukah?" ujarnya kecewa, Jocelyn akhirnya menyadari situasinya saat ini.

"Sudah, selesaikan urusanmu dan lanjut berberes. KIta akan pergi selama 2 minggu, jadi pastikan tidak ada yang tertinggal," ibunya berujar seraya berlalu menutup pintu kamarnya.

Jocelyn menghembuskan nafas pelan, sebenarnya ada sedikit rasa kecewa saat ia mengetahui bahwa kakaknya bahkan tak menyampaikan perkataan orangtuanya padanya.

Ia paham betul bahwa kakaknya membencinya namun ada satu hal yang belum ia pahami sampai sekarang.

Apa alasannya?

Apakah sangat sulit untuk mengutarakannya?

Apakah boleh jika ia bertanya?

Ada ratusan bahkan ribuan pertanyaan di benak Jocelyn mengenai sikap dingin kakaknya yang bahkan tak pernah ditunjukkan pada orang lain dan hanya berlaku untuknya.

Ia bahkan tak mengerti apa kesalahan yang mungkin menjadi penyebab ketidakrukunan antara ia dan kakaknya.

Setelah cukup larut dalam pikirannya, Jocelyn mengambil kopernya dan mulai mengemasi barang miliknya serta beberapa hal yang ia perlukan. Namun ada yang aneh.

Ada perasaan tak karuan yang dirasakannya, rasa cemas akan sesuatu namun ia tak mengerti apa itu. Perasaan yang begitu menegangkan hingga cukup membuat jantungnya berdebar.

Ia perlahan memegangi dadanya sambil terus bertanya di dalam hati namun tak urung ia juga berdoa.

"Semoga tidak ada hal buruk yang mungkin terjadi," ucapnya penuh harap lalu kembali mengemasi barangnya.

Disisi lain, seorang pria juga sedang mengemasi kopernya ia akan berangkat ke manhattan besok pagi dengan menggunakan jet pribadi miliknya.

Seorang pria dengan umur yang sepertinya dua tahun lebih tua dari pria itu menghampirinya lalu memberi hormat.

"Tuan saya sudah menyiapkan semua sesuai dengan perintah anda" ujar pria itu sopan.

"Apa kau membawa senjataku?" Tanya pria itu pada pria yang sebelumnya.

"Sudah tuan, saya sudah mengamankan semuanya sesuai keinginan anda," ujarnya kembali.

"Baiklah Robert, kau bekerja dengan baik. Pastikan untuk tidak mendapat masalah, aku benar-benar harus menyelesaikan ini dengan segera,"

"Kutu itu cukup menganggu, dia sangat lincah dalam bersembunyi sampai aku sendiri harus turun tangan. Dasar bodoh! Lihat dan tunggu saja nasib burukmu!"

Pria itu berujar seraya menyeruput wine yang telah dituangkan oleh sekretarisnya itu dengan mimik wajah datar namun sirat akan emosi.

"Baik tuan. Target juga telah dikonfirmasi akan berangkat besok dan semuanya akan sesuai dengan rencana anda" Robert berujar dengan pasti.

Pria itu tersenyum dingin dan memutar gelas wine yang ada ditangannya pelan.

"Ah, ini akan sangat menyenangkan" ujar pria itu dengan smirk khas nya.

"Membunuh orang adalah hal yang paling menyenangkan," ujarnya terkekeh kecil.