webnovel

10 WARISAN

Untuk seminggu pertama, aku dan ibu merasa lumpuh total. Rasa duka dan kehilangan masih menyelimuti hati kami berdua. Kami bingung harus bagaimana.

Untungnya beberapa pelanggan kami menyimpan nomor telepon ibu sehingga walaupun kami tidak memiliki kios sendiri, setidaknya kami tetap bisa melayani pesanan bumbu-bumbu dapur untuk para pelanggan kami. Sementara Kak Yanto yang masih membuka bengkelnya, akhirnya menyarankan kami untuk mulai membuka toko online sendiri di Instagram dan marketplace. Dengan dibantu oleh temannya yang jago fotografi, Kak Yanto lalu memasang foto-foto produk bumbu kami di berbagai

media social. Dan, untungnya, itu berhasil!!

Sekarang, di rumah, ibu sibuk membuat berbagai pesanan bumbu dapur sementara aku bertugas untuk mengelola manajemen dan mendata pesanan serta mencatat data-data para pembeli kami. Untuk kegiatan sekolah, pada akhirnya, aku memilih untuk program homeschooling sehingga aku bisa fokus untuk membantu ibu berjualan sekaligus belajar di rumah sambil menunggu waktu ujian

paket kesetaraan nantinya.

Untuk sementara, keadaan kami cukup membaik ketika tiba-tiba ibuku mendapat panggilan telepon dari seseorang. Dalam sekejab, raut wajahnya langsung berubah. Setelahnya, ibu menemuiku dengan wajah cemas.

"Rika, kita harus ke rumah Tante Lintang sekarang…."

Mendengar permintaan ibu, aku tidak banyak bicara dan langsung menyiapkan sepedaku.

...........................…..

Di rumah Tante Lintang yang asri dan sejuk, ada seseorang yang sudah menunggu kedatangan kami. Seorang pemuda berusia 19 tahun. Lebih tua setahun dari Kak Yanto.

Tubuhnya jangkung dan tinggi. Wajahnya ramah dan matanya bersinar-sinar saat ia sedang berbicara. Penampilannya menarik dan kelihatannya, aku merasa cukup familiar dengan sosok pemuda ini sebelumnya. Hmm…sebentar, aku memicingkan mata sambil coba mengingat-ngingat dimana aku pernah bertemu dia sebelumnya ya?

"Kak Erik?" tanyaku tak yakin.

Mata pemuda itu seketika membesar sambil berseru," Iya, ini aku. Sudah lama kita tak berjumpa ya, Rika?"

Aku hanya tertawa ringan saat tebakanku ternyata benar. Kali terakhir kami bertemu saat aku berusia 5 tahun. Berarti sudah 9 tahun kami tak berjumpa. Sekarang, tubuhnya bertambah tinggi dan gagah.

Wajahnya agak sedikit pucat karena selama di Leiden, ia agak jarang terkena sinar matahari.

Sementara di sini, sinar matahari sangat melimpah ruah sampai kulitku berwarna coklat madu begini.

Kami lalu berbincang seputar masa lalu sebentar termasuk tentang pemberian nama kami berdua yang konyol atas ide Tante Lintang dulu. Saat itu, ibu juga lalu membuka semua rahasianya seputar hubungan persahabatan antara dirinya dan Tante Lintang yang sudah terjalin sejak lama sekali.

Aku dan Kak Erik menyimak penjelasan ibu dengan wajah serius. Semakin lama aku mendengarkan, aku semakin paham kenapa ibu sangat peduli pada Tante Lintang. Persahabatan dan kemiripan nasiblah yang telah menyatukan mereka berdua sampai sejauh ini. Lalu, karena Tante Lintang memiliki seorang sepupu yang telah menikah dengan seorang pria berkebangsaan Belanda dan tidak memiliki anak, maka Kak Erik pun diangkat anak dan pindah ke Leiden sejak ia berusia 10 tahun. Tante Lintang sendiri sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut karena ia memang menganggap kalau hal itu akan bagus untuk membuat Kak Erik menjadi seorang pria yang mandiri dan bertanggungjawab nantinya. Dan, Tante Lintang benar sekali!

Melihat Kak Erik sekarang, ia terlihat sangat dewasa dan menarik.

Lalu, setelah itu, Kak Erik lalu menjelaskan maksud tujuan kedatangannya kembali ke Indonesia yaitu untuk membawa Tante Lintang bersamanya ke Leiden dan tinggal bersama dengan Tante Winda, sepupunya yang kebetulan memiliki usaha restoran yang menjual masakan-masakan Indonesia di sana.

"Keadaan mama sama sekali tidak membaik di sini," terang Kak Erik prihatin.

Tante Lintang sendiri memang kondisinya berubah drastis sejak kebakaran tersebut. Wajahnya selalu murung dan tak berseri. Makannya pun sedikit sekali. Kak Erik takut kalau keadaan kesehatan Tante Lintang akan memburuk lagi. Maka, ia berniat untuk membawa Tante Lintang ke Belanda setelah ijin visa keluar minggu ini juga.

"Terima kasih karena sudah menjaga mama selama ini, Tante Dwi. Maaf kalau kadang-kadang mama ada salah kata dan seringkali merepotkan kalian berdua…" kata Kak Erik sopan. Aku dan ibu langsung memberi tanda tak usah sungkan padanya.

"Aku dan Lintang sudah merasa seperti saudara kandung sendiri. Kami bermain dan tumbuh besar bersama. Aku juga tahu kalau keberadaan Pasar Dukuh sangat penting baginya. Melihatnya begini, hatiku juga sedih sekali. Jika dengan ia pergi dari Indonesia akan membuat keadaannya lebih baik, silakan saja… kami tidak akan memaksa Lintang untuk tetap tinggal di sini.."

Kak Erik hanya manggut-manggut saja setelah mendengar penjelasan ibuku. Lalu, ia mulai bercerita,

"Sebenarnya dulu mama pernah menyuruhku untuk tetap mengurus manajemen Pasar Dukuh dengan dalih warisan keluarga. Sayangnya, aku tak tertarik. Jadi, melihat keadaan mama yang sekarang, aku sedikit banyak merasa bersalah juga. Jika dulu aku ikut membantu mama, mungkin tidak akan seperti ini kondisi mama sekarang…"

Wajah tampannya menunjukkan raut sedih dengan penyesalan yang mendalam. Tapi ibuku lalu menggenggam tangannya sambil tersenyum untuk menenangkan hatinya.

"Tiap orang punya jalannya masing-masing. Pasar Dukuh adalah pilihan dan panggilan hati Lintang. Tapi masa depanmu bukan di sini. Jangan pernah merasa bersalah atas semua yang sudah terjadi ya? Tante percaya, kau akan memiliki panggilan hidupmu nanti."

Mata Kak Erik tampak berkaca-kaca saat mendengar kata ibuku. Sebuah beban berat tampak terangkat dari atas bahunya.

"Terima kasih banyak, tante…"

Ibuku hanya tersenyum sambil mengusap punggungnya pelan.

Pertemuan kami hanya berlangsung singkat hari itu. Setelah menerangkan maksud kedatangannya, Kak Erik juga mengatakan kalau rumah Tante Lintang sudah dijual ke salah satu kenalannya dan urusan jual beli di notaris akan diselesaikan pada minggu ini juga.

Sementara untuk Pasar Dukuh sendiri, Kak Erik masih akan berdiskusi tentang bagaimana rencananya ke depan nanti bersama dengan Tante Winda dan suaminya. Kak Erik sendiri juga mengajak kami masuk ke dalam rumahnya sambil melihat-lihat foto masa kecil dirinya dan Tante Lintang serta suaminya semasa mereka muda dulu dan bagaimana sejarahnya Pasar Dukuh bisa berdiri dulu. Tak lupa, kami juga berpamitan singkat sebentar dengan Tante Lintang. Beliau masih dalam keadaan syok berat dan tidak bisa merespon kami dengan benar, tapi Kak Erik sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Siang itu kami berpisah dalam canda dan tawa. Kak Erik juga mengundangku untuk pergi mengunjunginya di Leiden kapan-kapan kalau aku ada waktu kosong. Aku hanya mengangguk saja sambil mengiyakan ajakan menggiurkan tersebut walaupun aku sendiri tak tahu kapan aku akan bisa pergi ke sana.

Dalam perjalanan pulang, aku mengayuh sepedaku sambil berpikir. Ternyata selama ini aku sama sekali tidak mengenal Tante Lintang. Aku hanya tahu Tante Lintang sebagai seorang dictator kelas kakap tanpa tahu kalau ia juga adalah seorang yang penuh welas asih dan sangat bertanggung jawab pada apa yang menjadi tugasnya. Tanpa kusadari, aku malu sekali.

Dengan jahatnya, mulutku seringkali mencerca dan memaki-maki Tante Lintang, padahal atas jasanyalah, ibu dan aku bisa berdagang dan memiliki kios di Pasar Dukuh sehingga aku bisa tetap bersekolah.

Perlahan, air mataku kembali jatuh. Kali ini, dengan penuh penyesalan.

"Maafkan aku, Tante Lintang. Selamat jalan…."