Chelsea menyipitkan mata. Jengkel. Spontan dijilatnya telapak tangan yang menutupi mulut. Saat merasakan bekapan sedikit melonggar, gadis itu langsung menggigit pinggiran telapak tangan pembekapnya.
"Brengsek! Sialan! Sakit tahu, Chels!"
Akhirnya pegangan di tubuh Chelsea terlepas. Namun, lelaki itu segera menariknya kembali merapat.
"Glen, lepas!" bentak Chelsea.
"Sstt ... diam bentar. Ada anak buah Bapak di luar."
Chelsea membeku. Dia tidak tahu mengapa patuh begitu saja pada perintah Glen. Kakinya bergerak merapat pada lelaki itu dan tak berani bernapas kencang. Glen sepertinya mengerti ketegangan Chelsea lantas mengusap lembut bahu gadis itu.
"Tenang," bisik Glen.
Perkataan lelaki terbukti benar. Dari celah bawah daun pintu, terlihat bayangan-bayangan berseliweran. Chelsea terkesiap saat mendengar suara langkah kaki dan obrolan cukup pelan, tapi masih tertangkap telinga, dari orang di luar.
"Dia tidak ada di sini, Bos!"
"Sialan. Cepet bener kaburnya tuh, anak."
"Kita cari ke mana lagi, Bos?"
"Pulang dulu. Besok kita lacak ponsel anak itu."
Terdengar derak kerikil terinjak kaki. Kemudian, suara-suara itu menghilang berganti keheningan. Saat benar-benar yakin para penyusup telah pergi, baru Chelsea merasa lega. Embusan napasnya terdengar sangat keras.
"Ya Tuhan, gila kau, Glen. Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa ada di sini?" Chelsea berbalik. Dari keremangan area ruang belakang, dia melihat wajah tampan Glen yang kuyu dan lelah.
"Aku lapar. Bisa minta makan dulu?"
Chelsea berdecak keras, tetapi tak urung menuruti keinginan lelaki itu. Setelah memastikan pintu belakang sudah terkunci, dia menggamit lengan Glen agar mengikutinya ke dapur.
"Mau bersabar menunggu atau langsung makan sekarang?" Chelsea menawarkan.
"Keduanya. Masakanmu selalu enak, Chelsea."
Gadis itu mengangguk. Dia mengeluarkan setoples biskuit anzac, biskuit yang dibuat tanpa telur dan dicampur parutan kelapa dengan tekstur keras, lalu menyorongkan ke pelukan Glen.
"Makan itu dulu untuk ganjal perut. Ambil sendiri soda di kulkas jika mau. Air putih ada di dispenser sebelah kulkas." Chelsea memberi tahu.
"Kopi?"
"Buat sendiri. Semua bahannya ada di kabinet itu." Telunjuk Chelsea menuding kotak-kotak penyimpanan yang tertata rapi di atas meja samping lemari pendingin. Glen tak perlu salah ambil bahan karena setiap kotak memiliki label masing-masing.
"Jadi, bagaimana bunga yang kukirim? Suka?"
Chelsea yang tengah mengambil kulit pai siap pakai tertegun. "Buket bunga mawar dan baby's breath?"
"Ya, yang warna pink dan putih itu."
Chelsea tak sadar mengembuskan napas sangat keras. Tawa tercekiknya lolos. "Astaga. Ya, Tuhan. Kukira tadi ...."
"Apa?" Kening Glen berkerut mendengar kalimat tergantung gadis di depannya.
"Tidak, lupakan saja." Chelsea menggeleng-geleng keras. "Itu tidak penting. Kenapa kau tidak memberitahukan namamu tadi?"
"Apa anak yang kuminta tolong tidak memberitahukan namaku?" Glen berdecak keras. "Brengsek. Dia memang hanya ingin uangku saja," gerutu lelaki itu.
Bibir Chelsea melengkung lebar. Tangannya cekatan melelehkan margarin di penggorengan lalu menumis bawang bombay dan bawang putih. Dapur kecil itu dipenuhi aroma harum tumisan bawang.
"Bikin apa?" Glen mendekat, masih dengan tangan mencomot kepingan-kepingan biskuit anzac.
"Pai daging. Aku tak punya nasi seperti yang biasa kau makan selama ini." Chelsea memasukkan cincangan daging dan irisan tipis daging asap. Kemudian memasaknya hingga cukup matang sebelum menambahkan tepung dan bumbu-bumbu.
"Aku rindu masakanmu." Glen mengistirahatkan kepala di lekukan bahu Chelsea, menyerap kehangatan tubuh gadis itu.
Sementara gadis itu berusaha tidak terpengaruh dengan Glen. Dikedikkannya bahu mengusir lelaki itu. Gagal. Glen kembali menopangkan dagu ke lekukan leher dan bahu Chelsea.
"Kenapa kau mengirimiku bunga?" tanya Chelsea mencoba mengalihkan suasana. Keintiman yang terjadi dadakan ini membuatnya kewalahan.
Bayangan peristiwa di parkiran mobil salah satu taman di Solo melintas lagi di ingatan. Chelsea mengencangkan rahang. Satu bagian tubuhnya mendadak merindukan sentuhan jari terampil Glen.
Demi Tuhan, kami sudah berpisah!
Chelsea merutuki pertahanan dirinya yang sangat lemah. Dia tak ingin terjebak dalam masa lalu. Berusaha keras meninggalkan Indonesia demi menghindari Glen, nyatanya lelaki ini justru menempel padanya sekarang. Lelucon takdir memang sangat konyol.
"Kenapa masih nanya, sih?" Nada informal Glen kembali lagi.
"Kau tiba-tiba datang, mengirim bunga tanpa identitas, setelah empat tahun berpi—"
"Setelah satu bulan berpisah," potong Glen.
Chelsea menghentikan gerakan spatulanya. "Itu tidak dihitung, Glen."
"Dihitunglah. Gara-gara kejadian bulan kemarin, aku ada di sini sekarang. Pake diuber centengnya Bapak lagi," keluh lelaki itu.
Alis Chelsea terangkat tinggi. "Baiklah, kebiasaanmu belum berubah. Kau belum menjawab pertanyaanku dan sekarang sudah muncul pertanyaan lain."
Glen tergelak. "Selesaikan saja masakanmu. Kita bicara sambil makan. Aku sudah sangat lapar."
"Tidak, jawab dulu pertanyaanku." Chelsea menahan Glen yang hendak berjalan menjauh.
Lelaki itu menatap Chelsea lekat-lekat. Ekspresi serius tergambar jelas di raut tampan lelaki asli Surakarta itu. Tak ada senyum tersungging. Suara dalam dan berat Glen terdengar misterius.
"Pura-pura enggak tahu?" Lelaki itu kembali berjalan mendekat. Jemarinya mengusap bibir lembut Chelsea. "Atau emang kamu jadi bodoh?"
"Glen?" Chelsea menepis tangan lelaki itu dengan setengah rasa tak suka.
"Aku pengen balikan sama kamu," kata Glen tiba-tiba.
"Hah?" Gadis itu melongo. Matanya mengerjap-ngerjap bingung. "Yang benar saja."
"Kenapa enggak bener? Toh, aku juga udah putus sama Mita. Aku lajang dan kamu juga lajang."
"Dari mana kau tahu aku lajang?" Chelsea menyipitkan mata.
Satu ujung bibir Glen tertarik ke belakang. Seringai penuh percaya diri tercetak di wajah itu. "Karena aku tahu, kamu enggak bakal bisa lupain aku."
"Hah, sok sekali." Chelsea meninju dada lelaki itu. "Tunggu aku di atas. Kusiapkan makan malammu."
"Kutemani di sini." Glen menjauh. Dia menarik kursi dan duduk mengamati kesibukan Chelsea.
Waktu sangat cepat berlalu. Glen membatin. Dia tahu Chelsea suka memasak. Namun, kemampuan kuliner gadis itu meningkat pesat dalam beberapa tahun. Glen nyaris tak bisa mempercayai penglihatannya saat menyadari gadis yang suka berkutat di dapur itu kini sudah menjadi seorang patissier profesional.
Setengah jam kemudian, mereka duduk berdua di patio kecil toko. Pot-pot tanaman herba menjadi penyemarak dini hari. Ditemani sepiring pai daging hangat yang baru keluar dari oven.
"Jadi, apa aku diterima?" tanya Glen.
"Menjadi pacarku lagi? Tidak." Chelsea menjawab tanpa ragu.
"Chelsea?" protes keras tertuju ke arah gadis itu.
Chelsea mengangkat tangan. "Aku tak mau dengar bujukan apa pun. Kau tahu alasanku putus denganmu, bukan? Aku tak mau mengulang kesalahan yang sama."
"Tapi kamu menikmati sentuhan terakhirku." Glen mengangkat sebelah alis.
Wajah Chelsea memerah. Untuk sejenak, dia merasa linglung. Peristiwa terakhir memang sangat memengaruhinya. Bahkan setelah empat minggu berlalu, dia belum bisa melupakan sesi pencapaian kenikmatan yang diberikan mantan pacarnya.
"Ayolah, Chelsea. Kita tahu, kita sama-sama masih saling tertarik. Kenapa kamu mempersulit diri dengan berlagak sok jual mahal?"
"Aku tidak jual mahal!" Chelsea membentak. "Yang terjadi di Solo kemarin, itu sebuah kesalahan."
"Bukan kesalahan lagi karena aku bukan milik orang lain." Glen keras kepala. "Apa itu alasanmu buru-buru kembali ke Australia? Kamu bahkan enggak ninggalin alamat baru padaku. Aku nyaris tersesat jika Tomi enggak kasih info."
"Tomi?" Bola mata Chelsea melebar. "Ada hubungan apa dirimu dengan Tomi?"
"Dia pacar Mita sekarang. Backstreet." Glen menjelaskan. "Aku kebingungan di Melbourne saat menelepon Mita. Kebetulan dia bersama Tomi. Jadi, yah, Tomi memberitahuku alamat barumu di Brisbane."
"Aku sudah memberitahumu akan pindah ke Queensland," sela Chelsea.
"Tapi kamu enggak kasih tahu lokasi pastinya." Glen mengerucutkan bibir.
Dia beranjak mendekati Chelsea, memangkas jarak di antara mereka. Mendadak, patio kecil itu makin terasa sempit. Cuaca dingin di dini hari musim gugur tak mampu mengenyahkan rasa gerah yang dirasakan Chelsea akibat hawa panas tubuh Glen.
"Mau balikan enggak?" Glen berbisik.
"Tidak mau." Rambut kecokelatan itu bergoyang seiring gelengan Chelsea.
"Yakin?" Glen makin mendekat. Jempol dan telunjuknya menjepit dagu sang gadis. "Mau kuyakinkan agar terima perasaanku lagi?"
"Coba saja. Aku tak akan go—"
Gadis itu tak bisa melanjutkan ucapan. Glen menunduk cepat, membungkam bibir ranum Chelsea yang terus mengoceh, melumatnya kuat-kuat, dan menyelipkan lidah memasuki mulut Chelsea.