Chelsea terus mondar-mandir di dapurnya yang berukuran standar. Tangannya bergerak sama aktif dengan kakinya. Menuang adonan, memasukkan loyang ke oven, melepas cokelat dari cetakan, melakukan plating. Semuanya dilakukan dengan konsentrasi tingkat tinggi dan super fokus.
Berkebalikan dengan tangan dan kakinya yang penuh koordinasi, benak Chelsea justru berkecamuk oleh banyak hal. Satu keajaiban jika mengetahui wanita itu mampu bergerak simultan dengan otak yang semrawut macam sekarang.
"Hai, Chels. Kita kehabisan opera cake di depan. Apa dapurmu sudah siap mengisi ulang atau kita perlu memberi tanda habis untuk opera cake?"
Tangan Chelsea yang tengah membuat mawar dengan piping bag langsung berhenti di udara. Jantung wanita itu berdetak kencang. Segumpal rasa panas menyumbat tenggorokannya dan membuat lidah wanita itu kelu.
"Chels?"
"Ambil sendiri di kulkas," jawab Chelsea ketus.
Dia sengaja tidak mendongakkan kepala. Chelsea masih terus menunduk di atas hummingbird cake yang masih dikerjakannya. Seolah kue dengan paduan pisang dan nanas itu adalah pusat dunia Chelsea dan tidak ada yang bisa mengalihkan dirinya.
"Tengoklah aku."
Bulu kuduk Chelsea meremang kala merasakan hangat tubuh mendekapnya dari belakang. Wanita itu hanya melakukan gerakan refleks saat mengibaskan bahu. Namun, piping bag berisi adonan krim karamel tidak sengaja tertekan dan mengakibatkan isinya muncrat tidak karuan.
"Astaga. Berantakan!" Chelsea mengeluh keras.
Wanita itu buru-buru mengambil lap. Dia sedikit khawatir dengan pola rumah lebah yang tengah dibentuknya di atas cake hummingbird. Cipratan adonan sedikit merusak hiasan yang dibentuknya.
"Glen, berhenti!" Chelsea masih menolak pelukan yang kembali diluncurkan pria di belakangnya.
"Kenapa, Chels? Aku hanya rindu kamu." Glen memprotes.
"Lihat kueku!" bentak wanita itu keras. "Kau mengacaukannya!"
Glen melongok dari balik punggung Chelsea. Wanita itu terlihat tengah merapikan sesuatu yang menurutnya seperti bentuk rumah lebah.
Terdengar desisan keras Chelsea, disusul entakan kaki yang membuat tubuh wanita itu sedikit terguncang. Chelsea kembali membungkukkan badan dan berkonsentrasi penuh pada kue yang tengah digarap.
Kening wanita itu berkerut. Hidungnya turut mengerut. Sepasang mata Chelsea tampak terpaku ke pola-pola segi enam di atas hamparan fondan putih.
Pola rumah lebah yang sedikit rusak berhasil disulapnya dengan indah. Wanita itu membentuk bunga yang tengah dihinggapi seekor lebah di atas gumpalan krim karamel yang tidak sengaja muncrat tadi.
Glen terkesima melihat bagaimana pergelangan tangan Chelsea dengan lihai bergerak dan berputar. Krim sewarna cokelst keemasan meluncur keluar dari ujung piping bag seiring gerakan tangan wanita itu.
"Kenapa masih di sini? Katamu tadi kehabisan opera cake," tegur Chelsea saat melihat pegawai barunya masih mematung di belakangnya.
Glen mengerucutkan bibir. "Kamu membuat batasan."
Chelsea menghela napas berat. Setelah berhasil membereskan kekacauan kecil akibat krim karamel yang salah bentuk, wanita itu berbalik menghadap Glen. Ekspresi Chelsea teramat dingin. Namun, wanita itu tahu apa pun yang ditampilkannya saat ini pasti tidak akan berefek pada Glen. Karena pria itu sangat sulit diintimidasi.
"Be professional," ujar Chelsea dingin. "Saat ini masih jam kerja. Bedakan kepentingan pribadi dan pekerjaan."
"Jadi, kalau di luar jam kerja kita bebas berkencan?"
Chelsea memutar bola mata. "Tidak ada kencan, Glen. Sama sekali tidak ada hubungan khusus di antara kita."
Glen menelengkan kepala. Sorot matanya jahil.
"Benarkah?" Pria itu kembali mendekati Chelsea. Dia menahan pergelangan wanita itu agar tidak kabur.
"Semalam itu luar biasa. Seharusnya kita berkencan karena sudah terbukti kita cocok satu sama lain."
Chelsea mendengkus. "Semalam itu kesalahan."
"Ah, yang benar?" Glen menaikkan alis. "Kesalahan yang terulang sampai tiga kali?"
Rona merah spontan merambati wajah Chelsea. Wanita itu kembali balik badan dan memusatkan perhatian pada kuenya.
Namun, mereka berdua tahu apa yang dilakukan Chelsea sia-sia belaka. Masa lalu di antara mereka mengikat begitu kuat. Chelsea tak kuasa menolak.
Bahkan saat tangannya mulai membuat hiasan di atas kue hummingbird, otak Chelsea masih terus memikirkan tentang permintaan Glen.
Tidak, itu bukan permintaan. Chelsea membatin. Ada simbiosis komensalisme terjadi di sini.
Glen menawarkan kerja sama dengannya. Tawaran yang membuat Chelsea jadi tidak fokus sejak pagi tadi.
"Kita lanjutkan nanti malam, Chels."
Chelsea terperanjat kaget saat merasakan elusan lembut di kepalanya. Disusul suara lemari pendingin yang dibuka tutup dan langkah kaki menjauh dari dapur.
Lalu hening.
Wanita itu berdiri membeku di tepian konter dapur. Pandangannya hampa dan kosong. Piping bag di tangan tiba-tiba terasa luar biasa berat. Seolah Chelsea tengah memegang beban lima kilogram hanya dengan satu tangan.
"Sialan kau, Glen." Wanita itu mendesis pilu. "Aku hidup kembali bukan untuk mendapat tawaran konyol macam ini. Aku hanya ingin memilikimu sepenuhnya tanpa syarat apa pun."
Menghela napas panjang Chelsea akhirnya kembali berkutat dengan kue-kuenya. Butuh tiga jam penuh baginya untuk menyelesaikan seluruh kue dan pastri yang hendak dijual. Lalu Chelsea mulai bergabung di depan.
Selama duduk di belakang mesin kasir, Chelsea terus mengamati tingkah Glen. Pria itu terbukti mampu menyedot perhatian banyak orang. Wajar saja.
Selain tampan, Glen juga ramah dan kharismatik. Fisik pria itu sempurna. Garis wajahnya yang percampuran melayu dan kaukasoid menghasilkan tampilan rupa luar biasa menawan.
Bayangkan saja percampuran antara Godfrey Gao dan Hamish Daud. Itulah pesona seorang Glen yang berhasil membius pengunjung kafe Cacaote. Belum lagi senyumnya yang melelehkan hati, ditambah caranya mengedipkan mata yang ....
"Oh, Tuhan. Kau memang benar-benar jatuh cinta padanya."
Chelsea terlonjak kaget. Setumpuk uang yang digenggamnya meleset dan jatuh berserakan di lantai. Buru-buru Chelsea membungkuk untuk memungut lembaran-lembaran dolar yang berceceran.
"Tumben sekali seorang Chelsea jadi kikuk."
Chelsea memberikan lirikan tajam membunuh pada Diane. Pegawai kesayangannya itu justru membalas dengan seringai lebar dan sorot mata jahil.
Diane meletakkan nampan yang dipegangnya di samping mesin kasir. Kafe sedang dalam kondisi sepi. Tidak ada masalah baginya untuk sedikit mencuri waktu mengobrol dengan sang pemilik Cacaote.
"Aku tidak mengira kalian sudah saling kenal," ucap Diane menyuarakan keheranannya.
"Kenapa kau menerima dia sebagai pegawai di sini?" Chelsea menata uang yang dipungutnya dari lantai lantas memasukkannya ke mesin kasir.
"Karena wajahnya."
Mata Chelsea mengerjap-ngerjap bingung. "Maaf?"
"Apa kau tak lihat ketampanannya?" Diane balas bertanya seolah Chelsea adalah makhluk dari planet asing yang belum pernah melihat paras rupawan seorang manusia.
Chelsea memejamkan mata. Dia berusaha keras tidak melayangkan jitakan ke dahi pegawainya.
"Itu sistem penerimaan yang sangat bias, Diane. Skala ketampanan masing-masing orang berbeda, tergantung perspektif dari si pelihat."
"Tapi untuk Glen, kita semua sepakat. Dia tampan, bukan?" Diane menyodok lembut siku atasannya.
Chelsea menghela napas berat.
"Lagi pula dia pandai meraih hati pengunjung. Aku berani bertaruh mulai besok pengunjung kafe kita pasti akan membludak."
Chelsea masih bergeming. Dia pilih menyibukkan diri menata uang dalam kompartemen di mesin kasir, ketimbang meladeni ocehan Diane yang sedari tadi tidak henti memuji ketampanan Glen.
Namun, hati kecil Chelsea tidak memungkiri jika muncul sedikit rasa cemburu. Keberadaan Glen yang berhasil mempesona para wanita membuat emosi Chelsea semakin naik dan naik.
"Dia memang tampan," aku Chelsea akhirnya.
"Nah, kan!" Diane terkekeh.
"Dan dia baru saja memintaku jadi istrinya," imbuh Chelsea lagi.
Tawa di wajah Diane hilang sudah. Wanita itu menatap Chelsea dengan mata terbelalak.
"Oh, Tuhan. Hubungan kalian sudah sampai sejauh itu? Astaga, jadi Glen bukan hanya kencan semalammu?"