Vino baru saja turun dari mobilnya, ia sengaja memarkir mobilnya diluar pelataran sekolah saat melihat mobil Gibran yang juga baru saja tiba. Mereka datang disaat hampir bersamaan.
"Lagi-lagi anak itu terlambat!" gumam Vino menahan emosi. Mang ipin hanya menggeleng melihat Gibran ketahuan terlambat oleh ayahnya.
Ia lalu meminta mang ipin memarkir mobilnya diluar agar kedatangannya tidak begitu menarik perhatian para guru didalam sekolah. Vino ingin melihat apakah lagi-lagi anak nakal itu mendapat perlakuan istimewa disekolah ini. Saat itulah ia melihat Andini yang dengan berani menyerang Gibran tampan ampun, Vino tersenyum miring melihat pemandangan yang menyenangkan itu.
"Berani sekali dia." gumam Vino.
Saat kemudian ia melihat Gracia datang dan memanggil Andini ikut bersama keruangannya, Vino bergegas masuk. Gibran yang melihat kedatangan ayahnya terlihat sangat marah.
"Untuk apa dia datang kesini?" gumam Gibran kesal.
"Ohh tuan Vino." pak Bambang segera menyambutnya ramah.
"Siapa wanita yang pergi bersama dengan Bu Gracia tadi?" tanya Vino tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak lagi memperhatikan keberadaan putranya disana.
"Ahh dia bu Andini. guru baru di sekolah ini tuan." jelas pak Bambang dengan wajah berkeringat ketakutan.
"Andini?" tanya Vino kaget.
"Jadi wanita berani itu adalah Andini teman Kiran?" tanyanya dalam hati.
Kedatangan Vino ke sekolah ini tidak lain adalah untuk menemui Andini, sejak kejadian itu Kiran sontak melabraknya karena marah. Ia bahkan mengatakan temannya ikut menjadi korban dari ketidaksopanan anaknya. Ia juga merasa sangat dibohongi oleh Vino karena ternyata Vino masih memiliki seorang istri, Kiran juga memintanya untuk berhenti menghubunginya lagi.
Dengan cepat Vino berlari menuju keruangan kepala sekolah.
"Cihhhh, apa dia begitu senang bertemu selingkuhannya? Dia sampai berlari seperti itu. Saat mengunjungi ibu di rumah sakit, dia justru merasa sangat keberatan! Sudah pasti karena dia juga wanita itu bisa masuk sebagai guru disini dan berniat membalas dendam kepadaku!" gerutu Gibran marah, ia bahkan memberi penilaian sendiri kepada Andini.
Sejak awal ia tidak percaya dengan alasan Andini, ia berpikir mungkin saja wanita itu menggunakan nama palsu untuk menggoda ayahnya. Atau mungkin itu semua hanya alasan semata untuk menutupi identitas aslinya.
"Gibran, kau boleh kembali ke kelasmu sekarang." Perintah pak Bambang.
"Maksud bapak apa? Berarti kami juga bisa masuk dong?" seru Daren yang tak sengaja mendengar ucapan pak Bambang.
"Diam kamu Daren." tegurnya marah.
"Tidak perlu pak, cuma hukuman membersihkan halaman seperti ini saya juga bisa." jawab Gibran, ia sedang tidak mood memancing keributan dengan Daren, pikirannya kini hanya tertuju pada ayahnya dan selingkuhan ayahnya.
Sementara itu didalam ruangan kepala sekolah tiba-tiba suara yang mencegah Gracia untuk memecat Andini menggema diujung pintu.
"Apa-apaan ini!" bentak Gracia.
Andini diam, ia kaget sekaligus bingung. Sementara Kepala Sekolah Gracia yang semula sempat membentak dengan keras seketika berubah pucat. Ia tampak kelabakan, dengan cepat ia bangkit dan menghampiri pemilik suara.
"Siapa pria ini? Wajahnya seperti tidak asing." Batin Andini mencoba mengingat wajah tersebut.
"Tuan Vino. Kenapa anda datang tanpa mengabariku terlebih dahulu?" Gracia tampak canggung, ia juga terkejut mendengar Vino membela Andini yang hanyalah guru baru disekolah ini.
Andini terbelalak kaget, pria yang ada didepannya ini adalah Vino yang seharusnya ditemuinya waktu itu di restaurant dan bukanlah bocah seperti Gibran. Ia kaget dan bingung harus bersikap apa didepannya. Memberi hormat, atau menatap sinis. Hidupnya berubah sial sejak berurusan dengannya dan juga Kiran.
"Apa aku perlu mengabari dulu hanya untuk mengunjungi sekolah milikku?" tanyanya tanpa ragu.
"Ahh tentu saja tidak tuan, mari silahkan masuk." Gracia mempersilahkan Vino untuk masuk.
"Andini." sapa Vino dengan ramah, ia berjalan tanpa menghiraukan Gracia. Gracia jelas kaget dan tidak percaya Vino menyapa Andini dengan senyuman diwajahnya.
"Aku sangat ingin bertemu denganmu." Imbuhnya dengan begitu ramah.
Andini jelas kaget, bagaimana bisa pria ini mengenalnya dan bahkan berbicara santai seolah mereka sudah saling mengenal lama.
"Apakah tuan Vino mengenal bu Andini?" tanya Gracia mencoba mencari tau.
"Tidak bu.."
"Tentu saja aku mengenalnya, aku datang kesini khusus untuk menemuinya." kata Vino pelan memotong ucapan Andini, ia menatap mata Andini yang masih tampak kebingungan.
"Ahh benarkah? Maafkan aku tuan, aku menyesal karena hampir memecat bu Andini yang ternyata kenalan anda." jelas Gracia merasa tidak nyaman.
"Kalau begitu, sebaiknya anda tidak melanjutkan niat anda untuk memecatnya." Jelas Vino memberi perintah.
"Baiklah tuan." Gracia menjawab dengan wajah terlihat tidak senang.
"Kalau begitu, aku ingin berbicara berdua dengannya. Bisakah aku membawanya pergi dari ruangan ini sekarang?" tanya Vino.
"Ahh tentu saja tuan."
Andini terlihat masih bingung dan tidak tau harus berkata apa, ia bahkan bisa melihat tatapan sinis dari mata kepala sekolah. Andini bahkan dengan pasrah mengikuti langkah Vino keluar dari ruangan itu.
"Mungkinkah rumor itu benar?" gumam Gracia dengan tatapan menyelidik.
Andini mengikuti Vino hingga mereka berada didepan ruang guru, tatapan beberapa guru yang menatapnya penuh keheranan membuat Andini merasa sangat tidak nyaman.
"Terimakasih sudah membantu saya tuan, tapi sepertinya anda tidak perlu melakukan hal seperti itu." Andini berbicara dengan terus terang. Vino sontak berbalik dan tersenyum.
"Bisakah kita berbicara ditempat yang lebih tenang Andini?"
Andini mengerutkan keningnya.
"Memangnya ada yang perlu kita bicarakan lagi tuan?" tanya Andini, dari nada suaranya tergambar penolakan yang jelas.
"Tentu saja ada, aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu." Jelas Vino. Andini terdiam, ia berpikir sejenak. Sepertinya ia perlu mendengar setidaknya penjelasan mengenai kehadiran Gibran malam itu yang telah memperlakukannya.
"Baiklah."
Vino mengajak Andini untuk berbicara diluar sekolah, karena rasanya tidak patut menceritakan hal itu di lingkungan sekolah. Andini setuju, ia mengikuti langkah Vino. Namun ternyata Gibran yang baru saja selesai menjalani hukumannya tak sengaja melihat bayangan Vino dan Andini yang berjalan melalui pintu samping sekolah.
"Haahh, salah paham katanya? Dasar wanita licik!" gumam Gibran kesal. Ia bangkit dan bersiap mengejar Vino dan Andini, tapi tiba-tiba seseorang menggesernya hingga terjungkal.
"Minggir kau." Bentak Daren dengan berani.
"Kau gak punya mata? Gak bisa lihat ada orang disini ha?" teriak Gibran terpancing emosinya.
"Gibran, Daren. Kalian jangan buat keributan lagi yah." tegur pak Bambang.
"Sudah-sudah sebaiknya kalian kembali keruangan. Apel pagi juga sudah selesai. Besok jangan coba-coba terlambat lagi!" seru pak Bambang memberi ultimatum.
Para siswa itu kemudian berhamburan ke kelas masing-masing, Gibran bergegas berlari mengejar Andini dan Vino, namun ia tidak lagi bisa melihat kedua sosok tersebut.
"Kemana sih perginya mereka?" gumam Gibran menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun ia bahkan tidak melihat mobil ayahnya disana.
"Haaaiiiisss Sial!" maki Gibran kesal.