Gibran terlihat datang dengan gaya nyentriknya, ia datang dengan kancing baju yang sedikit terbuka, rambutnya pun jauh dari gambaran anak sekolah pada umumnya. Ia bahkan datang terlambat hari ini. Sialnya Andini adalah guru jaga hari ini, dia diberikan tugas membantu dosen BK mendisiplinkan siswa yang datang terlambat dan melanggar.
Andini langsung mendapat firasat buruk ketika melihat tampang tengil Gibran dari kejauhan, namun Andini adalah tipe guru yang tidak pernah takut menegur jika siswa itu salah. Itu sebabnya ia di cap sebagai guru killer disekolah lamanya. Saat Gibran akan melenggang masuk Andini dengan cepat menghadangnya, ia menatap Gibran dengan berani.
"Hay ibu Pelakor." sapa Gibran sembari tersenyum licik, ia sengaja mengecilkan volume suaranya seolah berbisik. Andini yang mendengar sebutan itu jelas naik pitam.
"Kau!" Bentak Andini keras, sontak seluruh siswa disana hingga guru BK menatap ke arahnya.
"Sekali lagi aku dengar kau memanggilku seperti itu? Ku sumpal mulutmu dengan batu." bisik Andini dengan sorot mata tajam tanpa rasa takut.
"Woowwww takuuttt." ejek Gibran.
"Bu Andini, biarkan saja Gibran masuk." pesan Pak Bambang, beliau merupakan guru BK yang sudah cukup berumur. Tampaknya ia tidak ingin terlibat masalah dengan Gibran.
Gibran tersenyum puas, ia bahkan memperlihatkan ekspresi kemenangan karena Andini tidak lagi bisa menahannya. Namun saat akan pergi Andini spontan menarik kerah Gibran. Andini terbilang berani untuk ukuran guru baru.
Andini sebenarnya teringat pesan untuk tidak terlibat masalah dengan Gibran, tapi melihat siswa yang bersikap semaunya ditambah guru yang melakukan diskriminasi seperti ini membuat Andini yang memiliki jiwa keras merasa tidak bisa tinggal diam.
"Ahh, bodo amat mau dipecat atau apa, yang jelas anak ini harus diberi pelajaran." gumam Andini membatin, Andini yang juga terbawa rasa dendam karena julukan pelakor yang disematkan Gibran padanya, akhirnya memutuskan untuk mengikuti kata hatinya.
"Apa pak Bambang mau bersikap tidak adil seperti itu? Siswa ini melanggar jadi jelas harus mendapatkan hukuman." suara Andini terdengar lantang.
"Bu Andini! Apa ibu tidak mendengar arahan saya?" seru pak Bambang panik bercampur marah.
"Maaf pak, ini adalah tugas guru jaga untuk menertibkan siswa. Hey kalian, apa kalian terima jika kalian diperlakukan berbeda seperti ini?" Andini melempar pertanyaan kepada siswa yang juga tengah menerima hukuman. Semua siswa diam tapi mereka setuju dengan pendapat Andini.
"Ya nggak lah bu, semua guru di sini memang sukanya pilih kasih." Teriak siswa bernama Daren dengan tatapan berani, ia tersenyum sinis ke arah Gibran.
Daren adalah musuh bebuyutan Gibran. Selama ini ia sering tersangkut masalah dengan Gibran, tapi selalu saja semua orang akan berpihak pada Gibran. Untung saja orangtua Daren salah satu penyumbang terbesar di yayasan ini hingga ayah Gibran sangat menghormati ayah Daren. Itu sebabnya bu Gracia membiarkan Daren meski ia sering bertengkar dengan Gibran. Jika anak lain, mungkin sudah sejak lama anak itu dikeluarkan dari sekolah ini.
"Daren! Diam kamu!" bentak pak Bambang.
"Loh, kok bapak marah sih? aku kan cuma menjawab pertanyaan guru baru itu pak?" protes Daren sambil menunjuk ke arah Andini.
"Bu Andini sebaiknya anda tidak berbuat kelewatan disini. Apa anda lupa kalau anda masih guru baru disini?" Pak Bambang terlihat mulai emosi.
"Tidak pak, saya tau betul status saya sebagai guru baru. Tapi Gibran harus tetap dihukum karena sudah terlambat dan berpakaian tidak rapi. Bahkan rambutnya." Andini mengacak-acak rambut Gibran yang sedikit gondrong.
"Rambutnya sangat tidak keren." kata Andini sembari menatap kedua bola mata Gibran. Gibran syok melihat ada orang yang berani menyentuh bagian tubuhnya, bahkan merusak rambutnya yang menurutnya sangat keren.
"Kau.." suara Gibran terdengar menahan emosi.
"Bu Andini cukup, anda..." suara pak Bambang terhenti oleh sosok yang muncul.
"Ada apa ini?" suara yang terdengar begitu berwibawa membuat suasana hening seketika, bu Gracia tiba-tiba muncul.
"Ahh bu Gracia." Pak Bambang tampak kaget, namun ia mencoba untuk tetap tenang dihadapan kepala sekolah.
"Ini bu.."
"Ibu Andini tidak salah, bukankah dia hanya ingin bersikap adil?" Daren maju mencoba mencegah pak Bambang berbicara.
Andini sendiri sama terkejutnya, sepertinya dia benar-benar sudah bosan bekerja.
"Good job Andini, sekarang kau siap menggali kuburanmu sendiri." batin Andini pasrah.
"Pak Bambang, silahkan urus masalah disini. Bu Andini silahkan ikut ke ruangan saya." Perinta bu Gracia dengan nada datar dan wajah dingin berbeda dengan wajahnya saat pertama kali menyambut kedatangan Andini sebagai guru baru.
Andini mengikuti bu Gracia menuju ke ruangannya dengan pasrah, ia seakan siap dengan segala konsekuensinya.
"Apa anda lupa kalau anda masih guru baru disini bu Andini?" tanya bu Gracia, ia kini duduk di mejanya. Sementara Andini duduk tepat di hadapannya.
"Tidak bu." jawab Andini pelan.
"Lalu kenapa anda sudah dua kali membuat keributan disini? Dan keduanya menyangkut tentang Gibran." kata bu Gracia dengan tatapan yang menusuk ke jantung Andini.
"Saya hanya melakukan tugas saya sebagai guru bu Gracia." Andini menjawab dengan begitu berani.
"Bukankah tugas anda juga untuk mengikuti setiap ketentuan disekolah ini. Apa anda tau siapa Gibran sebenarnya?" tanya bu Gracia, ia sampai mendekatkan wajahnya ke arah Andini untuk memberi penekanan. Jantung Andini berdegup kencang, tapi ia tidak gentar sama sekali.
"Yah saya kenal, dia adalah salah satu siswa di kelas 11, dia juga merupakan salah satu siswa yang saya ajar di kelas saya." jawab Andini, ia menjawab dari perspektifnya sebagai seorang guru. Ia sama sekali tidak membawa embel-embel anak pemilik sekolah dalam ucapannya. Bu Gracia tampak menghela napas.
"Sepertinya ini sudah kesekian kalinya, ketika guru menjunjung tinggi ideologinya lalu lupa untuk siapa dia bekerja dan siapa yang menggaji mereka." kata bu Gracia dan mulai mengalihkan pandangannya pada berkas yang ada di hadapannya.
"Bu Andini, saya anggap ini menjadi hari terakhir anda mengajar disini. Saya akan menyuruh bagian keuangan untuk membayar gaji Anda selama 3 hari ini." kata bu Gracia tanpa menatap wajah Andini, Andini tertegun ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Tapi ia tidak menduga akan secepat ini. Padahal ini adalah tempat yang sangat ingin dimasukinya dengan susah payah, namun kini harus dilepaskannya begitu saja. Andini bahkan tidak berniat untuk mengemis pada bu Gracia.
"Haahh, baiklah, memang menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk bisa menjadi pendidik yang baik. Mungkin disini bukan tempat saya, saya permisi bu." saat akan bangkit dari kursinya tiba-tiba pintu ruangan bu Gracia terbuka dengan sedikit kasar.
"Siapa bilang anda bisa memecatnya tanpa seizin saya bu Gracia?" Ucap sosok yang tiba-tiba muncul tanpa permisi tersebut, ia menatap Andini dengan senyuman disudut bibirnya. Andini dan bu Gracia sama kagetnya.
"Apa-apaan ini!" Ucap Bu Gracia dengan raut wajah tidak senang, sementara Andini hanya diam tidak percaya.