Hyperion Hotel Berlin, Jerman.
Gema pintu yang menutup membuat Aliysia memejamkan mata, berjenggit kaget dengan tubuh menegang kaku.
Ketika kelopak mata terbuka, hanya tatapan nanar dan mulut terbuka yang mampu dilakukannya. Bagaimana tidak, Vian terlihat sekali menjauhi dengan artian yang ia sendiri tidak tahu, tapi bisa dirasakan hati.
Ia tidak mengerti kenapa Vian bersikap seperti ini?
Tidak akan pernah mendapat jawaban sampai kapanpun, Aliysia menyadarkan diri dan lekas masuk ke kamar dan meninggalkan debaman pintu yang terdengar sampai kamar Vian.
Ya, bahkan Vian sebenarnya masih berdiri di depan pintu, dengan kepala menyandar di daun pintu, merenung saat mengingat dan melihat tatapan kecewa dari Aliysia, meski sekilas karena ia terburu menutup pintu.
"Aku memang mencintaimu, Lysia Tapi aku takut kamu meninggalkanku seperti mereka jika aku mengakui perasaanku ini. Kamu berbeda, aku bisa melupakan para mantan karena aku tidak sepenuhnya mencintai mereka. Tapi, ini berbeda, ini karena kamu adalah Lysia, aku belum bisa dan sepertinya memang tidak akan bisa jika suatu saat nanti kamu meninggalkanku meski karena alasan melanjutkan pendidikan."
Gumaman lirih menyisakan pedih, Vian memutuskan meninggalkan depan pintu dan berusaha untuk menganggap hal yang baru terjadi tidak pernah ada, bahkan hanya perasaan saja.
Ia merasa cukup mengakui perasaan dengan cara pengecut seperti ini. Karena sebaiknya, besok ia berpura-pura tidak merasakan kecewa di tatapan itu.
Ya…, meskipun harus tinggal bersama dengan kepura-puraan dan sikap dingin saat menghadapinya. Namun itu lebih baik, ketimbang kembali mendengar pengakuan itu. Benar, itu lebih baik daripada ia harus terbawa suasana ketika menghadapi Aliysia.
Selesai berganti pakaian, Vian memutuskan untuk tidur lebih awal. Namun sayang, seberapa keras ia mencoba untuk memejamkan kedua kelopak mata, ia tetap tidak bisa menuju alam mimpi dengan tenang.
Sial! Ini benar-benar membuatku kesal. Kenapa aku jadi labil begini. Ayolah Vian kamu bahkan sudah puas menjalin kasih dengan banyak wanita. Tapi, kenapa dengan bocah ini kamu galau, padahal kamu sendiri yang tidak ingin menganggap perasaan ini ada.
Vian bergulat dengan batin, menyalahkan diri sendiri akan kelabilan hati. Dibuat tidak bisa tidur, bahkan jika itu hanya memejamkan sejenak kedua mata.
Sadar jika tidak akan bisa tidur bagaimanapun dipaksa, akhirnya ia memilih untuk keluar dari kamar, menuju balkon kamar yang kebetulan bisa menuju kamar Aliysia dengan melewati pagar pembatas setinggi pinggang.
Dari sini Vian bisa melihat lampu kamarnya yang masih menyala dengan hordeng tertutup. "Apakah dia belum tidur?" gumamnya penasaran, tidak sadar melamun hingga suara pintu terbuka pun tidak mendengarnya.
Bahkan, pernyataan yang tiba-tiba dari seseorang yang berdiri di depannya membuat tertegun, sama sekali tidak bisa berkutik.
"Vian, sepertinya aku menyukaimu."
Deg!
Bola mata membulat sempurna, dimana jantung ikut berdetak tidak karuan ketika mendengar pengakuan dari Aliysia yang kini berdiri tepat di depanku.
Humbusan angin membawa rambut terurai Aliysia terbang, menutupi sebagian wajah yang menatap lekat tepat di kedua bola mata Vian.
Tidak ada candaan yang terpancar dari netra cantik wanita yang tidak diketahui asalnya darimana, sama seperti saat Vian melihat tatapan di depan pintu kamar beberapa waktu lalu.
Vian masih terdiam, tidak menjawab pernyataan lugas tanpa keraguan yang dikatakan oleh Aliysia. Namun, tangan dengan sendirinya refleks terangkat untuk menyematkan uraian itu ke belakang telinganya.
Tatapan mata si wanita muda tersebut sama sekali tidak berpindah. Padahal, biasanya Aliysia akan mengalihkan wajah jika sudah berhadapan seperti ini dengan wajah malu ke arah lain.
Meskipun rambut sudah rapi dan tidak ada helaian yang menutupi wajahnya lagi, Vian tetap tidak memindahkan tangannya dari sana. Bahkan, kini berhenti di belakang kepala Aliysia, sehingga kini mata keduanya saling bertemu menyelami keindahan masing-masing bola mata yang dikagumi satu sama lain.
"Aku menyukaimu, Vian," ulang Aliysia, lebih lantang dari sebelumnya dan itu seketika membuat Vian dengan segera menjauhkan tangannya dari sana, mundur selangkah seakan kembali tersadar dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Aku menyuk-
"Lysia stop it!"
Dengan segera Vian menyela kalimat yang dikatakan Aliysia, sebelum mengatakan lebih banyak lagi pernyataan perasaan kepadanya. Hingga akhinya Aliysia terdiam, menatap dengan wajah kecewa ketika Vian dengan nada dingin memanggilnya.
Ya,Vian memanggil nama Aliysia dengan nada dingin, tepatnya mencoba untuk dingin agar Aliysia bisa berhenti mengatakan kalimat yang sama seperti di awal berhadapan.
Rasa cinta yang Vian miliki ternyata memang tidak bertepuk sebelah tangan, bersambut dengan terbuka setelah dua kali mendengar pernyataan perasaan Aliysia dengan terbuka.
Apakah Vian senang? Tentu saja, ia bahkan harus sekuat tenaga menjaga agar bibirnya tidak tersenyum. Susah payah ia mengendalikan nada suara seperti di awal, karena tidak ingin Aliysia merasa jika ia senang dengan pernyataan yang didengarnya.
"Aliysia, kamu yakin menyukaiku?" tanya Vian memastikan ketika beberapa saat keterdiaman.
Aliysia jelas dengan cepat menganggguk, menatap dengan pandangan berbinar ke arah si paman yang sudah mencuri hatinya. Balum lagi bibir yang tersenyum, ketika menjawab lugas pertanyaan tersebut. "Tentu saja. Aku menyukaimu, Vian."
"Terima kasih," sahut Vian singkat dan Aliysia yang mengira dapat tanggapan positif masih menampilkan senyum senang, bahkan semakin lebar terulas.
"Jadi bagaimana? Apakah-
"Terima kasih, Aliysia Tjia. Tapi, aku rasa saat ini kamu sedang salah mengartikan kebersamaan kita dan juga perasaanmu sendiri," lanjut Vian dengan datar.
Aliysia seketika itu juga wajahnya berubah ekspresi, pias dengan senyum perlahan pudar dan digantikan dengan terbuka seakan tidak percaya. Bibirnya terangkat kaku dan menantap Vian seraya menggelengkan kepala seakan menampik. "A-apa maksudmu, Vian? Aku tidak mungkin salah mengenali perasaanku sendiri," tanya dan jelasnya dengan suara terbata.
"Huft ... Kamu seharusnya sadar, Aliysia. Aku tidak mungkin membalas perasaanmu, karena sejujurnya aku menganggapmu hanya sebagai adikku saja, dari bertemu sampai saat ini. Tidak lebih dan tidak akan berubah hingga kita mengakhiri pernikahan kontrak ini," jelas Vian, menatap Aliysia dengan sorot mata tegas seakan itu adalah yang dirasakannya.
Deg!
Apa!?
Aliysia terdiam dengan bola mata menatap nanar, ketika pernyataan akan apa yang dirasakan kepada Vian dijawab dengan penjelasan bernada dingin seperti itu.
Bagaimana mungkin Vian memberikan alasan seperti itu tanpa memikirkan perasaannya. Aliysia tahu ia hanya wanita dengan kelakuan bocah yang hanya bisa menyusahkan Vian, tapi ia benar-benar menyukai Vian.
Ia menyadari perasaan ini ketika memikirkan sepinya hari yang dilalui, ketika ia tidak bertegur sapa dengan Vian. Ketika ia sudah mulai biasa bercanda dengan Vian. Ketika ia merasakan bagaimana perhatian Vian selama ini kepadanya.
Serta, bagaimana saat berada di apartemen sendiri, ketika biasanya ada Vian yang pasti menyambut di pagi hari meski dengan ejekan yang mulai dirindukkanya.
Lalu, kenapa seperti ini?"
Vian…
Bersambung
Haloo... semuanya.
Mampir di novel baru Author yuk! Judulnya Legacy Of Revenge, tidak kalah seru dengan novel lainnya punya Author. Terima kasih....