Gedung pernikahan
Di belakang gedung tempat pesta, tampak seorang pria sedang menyandar dengan satu kaki ditekuk dan menempel di dinding. Ya, gedung yang seharusnya menjadi tempat pernikahan, tepatnya.
Dari belah bibir merah itu mengepul asap yang ditiup ke atas sana, sedangkan jarinya mengapit batang nikotin yang lagi-lagi terangkat untuk dihisapnya dalam.
Fuhh….
Kepalanya mendongak ke langit sana, memejamkan mata ketika kejadian beberapa saat lalu kembali terbayang dan menari-nari seakan mengejeknya.
Bukan hanya soal calon istri yang kabur, tapi di dalam sana tamu masih berdatangan dengan niat menyaksikan janji suci yang akan dilaksanakan tiga puluh menit lagi. Aneh sekali, padahal hanya tinggal mengatakan jika pernikahan batal, tapi orang tuanya dan mantan calon mertua masih meminta waktu untuk mengumumkan secara bersamaan.
Alasannya tunggu semua berkumpul agar tidak ada simpang siur. Ck!
Sungguh, ia lelah dan ingin sekali rasanya duduk atau bila perlu baringan di ranjang apartemen saat ini juga, tapi sayang sang mama tidak memperbolehkan itu. Alhasil, ia meminta izin untuk mencari udara segar di belakang sini.
Mencari udara apanya? Semakin kepikiran iya, batinnya kesal sendiri.
Sementara itu, tak jauh dari area gedung ada seorang wanita muda yang tampak berlari dengan napas tersenggal. Ini sudah jadi kebiasaan dan ia sudah terbiasa dengan hal ini, bahkan kecepatan larinya semakin bertambah.
Ia menoleh ke belakang dan menemukan dua om botak masih mengejar, meski jaraknya tidak sedekat itu untuk ditakutkan.
Meski demikian, ia tetap berlari dan hampir menembus ke sebuah gang belakang sebuah gedung yang baru dilaluinya. Ia semakin memacu langkah, tapi seruan yang jaraknya kini ternyata nyaris mendekat membuatnya kalang kabut.
Ia memekik horor, sebelum akhirnya sampai di persimpangan yang membuatnya berhenti dan menoleh kiri-kanan seakan memastikan.
Kiri-kanan, kiri-kanan, mana ini yang harus kupilih?
Kuku digigit gelisah, bukannya apa, karena kalau ia salah jalan dan menemukan gang buntu sama saja riwayatnya habis saat itu juga.
Alhasil, dengan telunjuk cap-cip-cup memilih, ia lanjut berlari menuju kanan dengan seruan kembali memanggil.
"Nona berhenti!"
"Blee…. Katakan pada Pak Tua itu untuk berhenti!" sahutnya justru mengejek.
Tidak ingin jarak semakin dipersempit, ia kembali dibuat memilih ketika persimpangan kanan-kiri ada di hadapan.
"Sial! Kenapa gangnya banyak sekali," umpatnya hampir menangis, tapi bukan Alisya Tjia jika ia menyerah dan tidak bisa lolos dari kejaran, karena kini ia kembali memilih kanan dengan keduanya masih mengejar di belakang.
Sungguh, jika tidak segera menemukan tempat persembunyian sudah dipastikan tenaganya yang hanya tersisa secuil akan sia-sia dan habis. Mana haus pula, tapi sial sekali mereka masih mengerjarnya.
Kini, belokan kanan dipilih kembali, tak jauh dari tempatnya berlari tampak seorang pria memakai kemeja putih dan dasi kupu-kupu sedang menyandar sambil menghisap batangan nikotin.
Ukh! Seketika ia mengingat seseorang, meski segera menggeleng dan melupakan, berusaha fokus dengan rasa lelah yang semakin menjadi. Bahkan, ia sampai berhenti dan membungkuk tepat di depan si pria yang masih asik menyandar, hanya melirik sebelum akhirnya melengos sambil menghisap dengan kepulan asap dilihatnya dengan hati kesal.
Ingin sekali berdecak, setidaknya tanyakan ada apa saat melihat seorang wanita berlarian seperti ini, tapi si pria sama sekali tidak peduli dan justru kini membuang puntungan itu ke tanah kemudian diinjak.
Ia mengabaikan pria tersebut, kemudian menoleh kiri-kanan dengan wajah horor ke belakang saat di persimpangan mendengar derap langkah bersahutan.
Sedangkan si pria yang sudah selesai mencari udara segar bersiap untuk kembali ke dalam, andai kata tidak melihat wajah pucat si wanita yang napasnya sudah kepayahan.
Sisi penasaran barulah muncul setelah sekian detik berlalu, ia menatap bergantain antara gang yang ditatap horor dan si wanita itu sendiri yang kini tampak panik melihat sekitar.
Ada apa sih, aku seperti pernah mengalami ini sebelumnya, batinnya penasaran.
"Oy! Kau kenapa?"
Aliysia segera menoleh ke arah si pria yang menatap dengan sebelah alis terangkat tinggi, tapi bukannya menjawab ia justru menghampiri dan bersembunyi di belakang punggung tegap itu sambil meraup oksigen rakus.
"Tolong sembunyikan saya, ada orang jahat mengejar saya di sana," cicitnya.
Serasa déjà vu dengan apa yang dirasakan, si pria meyakini jika ini pernah dialaminya belum lama ini. Namun, ketika ia ingin bertanya tentang maksud si wanita, derap langkah semakin dekat dan karena tidak memiliki pilihan ia pun membalik tubuh.
Nyaris sekali, karena bersamaan dengan itu dua pria yang mengejar Aliysia juga sampai di tempat keduanya berdiri, meski kini si wanita yang dikejar sudah aman di dalam kukungan si pria.
Vian tepatnya, yang kini memepet dada Aliysia yang seketika itu juga melotot hendak protes, meski percuma ketika bibirnya dibungkam telapak tangan.
Benar, belum lagi dengan bisikan di depan wajahnya, dimana napas nikotin bercampur mint membuatnya seketika berdiri kaku.
"Diam, kau ingin mereka tahu kau berada di sini?"
Aliysia jelas menggeleng, sedangkan dari belakang terdengar suara salah satu dua pria yang kini bertanya.
"Tuan, apakah melihat seorang wanita muda lari melewati area ini?"
Vian yang merasa ditanya tidak membalik, hanya melirik dengan sebagian wajahnya yang terlihat dan menatap datar. "Tidak, bisakah anda pergi, kalian berdua menakuti kekasihku, ganggu kami sedang bermesraan saja," jawabnya dingin, mengusir kejam.
Keduanya berdecak kesal, sebelum akhirnya meninggalkan tempat Vian dan berlari ke arah asal, menghilang di belokan yang membuat Vian bernapas lega, sama halnya dengan Aliysia yang seketika itu juga merosot karena kakinya terlalu lemas.
"Ya Tuhan, terima kasih atas pertolonganmu," gumamnya penuh syukur, tidak tahu saja jika pria yang menolongnya mendengar dengan penasaran yang terlukis jelas.
"Hei!"
Aliysia segera menengadah dan mendapati tatapan tajam yang sungguh familiar baginya, meski masih mencoba mengingat ia melihatnya di mana.
Dan sialnya ini juga dirasakan Vian, saat mendapati bola mata bulat yang seperti pernah bermain dipikirannya.
Tapi dia siapa?
Tanpa di ketahui keduanya, hati mereka sama-sama menggumamkan pertanyaan akan satu sama lain ketika merasa pernah bertemu.
Tidak ada yang berbicara dan keduanya hanya saling melihat dengan kuncian yang diputus oleh Vian, yang kini pun mundur beberapa langkah dari si wanita asing.
Ia berdehem, kemudian memalingkan wajah ketika melihat dress si wanita tersingkap dengan short senada sempat terlihat, untung saja ia bisa mengendalikan diri hingga wajahnya tidak perlu memerah, malu.
Meski kekasihnya banyak dan sering pula melihat bagian tubuh wanita, tapi jika tidak disengaja terlebih wanita asing ia baru ini mengalaminya.
"Ehem! Bisakah kau bangun dari sana, kau menghalangi jalan masuk," ujarnya tanpa melihat.
Aliysia sontak berdiri dan segera menyingkir sambil membenahi pakaian, bergerak canggung saat akhirnya si pria kembali menatapnya. "Maaf dan terima kasih," bisiknya.
"Hn, tidak masalah," sahut Vian.
Ia melangkah hendak meninggalkan area belakang dan hampir saja melewati gerbang menuju dalam gedung, andai kata tidak ada tarikan di lengan serta gumaman yang membuatnya menoleh seketika.
"Tuan, saya haus."
Lalu urusannya sama aku apa?
Bersambung