Kediamanan Geonandes
Tidak lama kemudian Vian mendengar deheman dari si wanita, yang katanya akan menjadi calon istrinya dan ia mengingat-ingat siapa nama si wanita yang disebut sang mama,
Emh... Tadi namanya siapa? Tesa, There ah! Theresa, maksudku Theresa, batinnya sambil menggeleng kepala dalam imajinasi.
Pertanyaan dari Theresa membuatnya segera mengalihkan tatapan ke samping dan mengangguk mengiyakan apa yang ditanyakan oleh si wanita.
"Hn, panggil saja Vian, salam kenal," balas Vian singkat.
Suasana kembali awkward setelah Vian merasa jika sahutannya terlampau dingin. Ia sampai merasa bodoh, karena tidak bisa sejenak saja menghilangkan sikap tidak peduli kepada sekitar dan parahnya terhadap calon istri.
Payah, ia sampai mengumpati diri sendiri, meski setelahnya kembali memulai obrolan dan berharap kali ini bisa membangun suasana, bukannya canggung seperti beberapa saat lalu.
"Theresa, apakah kamu masih kuliah atau sudah bekerja?" tanya Vian dan seketika ia kembali merutuki diri sendiri, speechless dengan pertanyaan yang sangat klasik seperti ini.
Sumpah! Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa pertanyaan ini yang pertama kali keluar dari bibirnya. Ya Tuhan.... Ingin rasanya ia menjedukkan dahi ke tembok saat ini juga.
"Ah! Aku baru saja mulai bekerja," jawab Theresa sambil tersenyum kecil, memaklumi dengan gesture tidak nyaman pria di sampingnya. Ia tahu sih, bukan satu dua pria yang berkenalan dengannya, jadi menghadapi pria yang tipe pendiam seperti si calon suami bukan masalah lagi baginya. "Kalau kamu? Aku dengar dari Tante Abel, katanya kamu sedang merintis usaha sendiri ya?" lanjutnya bertanya.
Vian tampak mengangguk, mengiyakan pertanyaan si calon istri yang untungnya mau membuka obrolan baru ketika ia sendiri hanya menanyakan hal yang pembahasannya tidak bisa panjang.
"Hmm, usaha kecil dan tidak seberapa, belum bisa dibanggakan," jelasnya merendahkan diri.
Tawa merdu keluar dari bibir Theresa, saat mendengar ucapan merendah si calon suami dan seketika Vian berpikir, apa mungkin Theresa ini adalah wanita yang tepat untuknya?
Bukan apa ia bisa berkata seperti ini, karena dari sekian wanita yang kenal denganya hanya Theresa yang tertawa mendengar suara dingin darinya.
"Jangan merendah seperti itu, Vian. Aku juga melihat dan mendengar dari banyak media, Viandra Geonandes si pendatang baru dalam dunia bisnis yang sukses dengan usaha kontraktor bersaing dengan perusahaan besar lainnya," tutur Theresa, disela-sela tawa merdu dan itu membuat Vian entah harus malu atau justru membalas sarkas.
Dia tahu dan masih memancing untukku menjelaskan tentang diri sendiri. Sungguh wanita yang pintar mencari bahan obrolan dan aku rasa tidak salah membuka hati untuk wanita ini, batin Vian.
Ya, setidaknya wanita di sampingnya terlihat cukup dalam segala hal dan tentunya karena ini juga pilihan mama yang menginginkannya segera menikah.
"Kamu tahu sampai seperti itu? Apakah sebelumnya kamu banyak mencari tahu tentangku?" sahut Vian dengan pernyataan memojokan.
Meski terdengar percaya diri dengan apa yang dikatannya, tapi ia tidak tidak peduli dan ini sungguh di luar dugaan, karena sebelumnya ia mengira Theresa akan mengelak dengan sanggahan, tapi ternyata tidak bahkan justru mengangguk santai.
"Yups! Tentu saja aku melakukan itu. Kamu harus tahu, aku termasuk pilih-pilih soal apapun. Termasuk bagaimana dan seperti apa orang yang akan berteman denganku. Apalagi kamu, yang diinginkan orang tuaku menjadi suami."
Tipe sempurna ternyata. Tapi, apa dia juga tahu tentang berita miring tentang aku 'belok' yang beredar atau tentang aku yang cepat berganti pasangan? Aku harap tidak, batin Vian segera menggeleng.
Benar, Vian tidak ingin sang mama kembali memasang wajah menyeramkan, apalagi ketika tahu calon mantu pilihan menolak karena gosip tentang orientasinya yang menyimpang karena kesalahpahaman.
"Begitu ya, aku mengerti. Jadi, selain itu apa lagi yang kamu tahu tentangku?" tanya Vian menanggapi ucapan Theresa dan si wanita yang ditanya tampak memasang wajah berpikir, melihat si calon suami dengan kening berkerut.
Untuk wanita sekian yang ditemuinya, Vian pikir si wanita cukup memiliki banyak ekspresi dan ia rasa ini nilai tambah baginya untuk bisa menjadi salah satu alasan menerima perjodohan ini.
Lagian, ia sudah lelah jika harus kembali membangun hubungan baru dengan wanita lain, jadi menerima apa yang diinginkan sang mama sepertinya tidak buruk juga.
"Kamu ya, humm.... Kamu merintis dari bawah hingga mencapai puncak. Tampan dan banyak wanita di sekitar, juga berprestasi. Itu garis besar yang aku ambil dari setiap artikel yang kubaca. bagaimana, apakah ada yang kurang?" jelas Theresa dan bertanya setelah berpikir.
"Tidak, tapi yang bagian tampan sepertinya kamu salah. Aku biasa saja dan sama sekali tidak tampan," sahut Vian meralat.
Theresa kembali tertawa mendengar penyangkalan itu. Sedangkan Vian, ia kembali menghembuskan napas karena ternyata si calon istri tidak membaca berita aneh tentang dirinya.
Huft.... Syukurlah dia tidak tahu, jadi aku tidak perlu khawatir dan ini membuatku lega, batinnya.
Baiklah, dengan begini Vian pun memutuskan untuk menerima perjodohan, terserah saja yang penting mama serta papa senang dan ia tidak ditodong dengan pertanyaan kapan nikah dari yang lain.
Sungguh menyebalkan, apakah mereka pikir perkara menikah sangat mudah?
Err…, memang mudah sih, hanya tinggal mengurus ke catatan sipil dan mengucapkan janji di depan pendeta, tapi 'kan tidak sampai situ saja masalahnya, apakah setelah itu tidak akan terjadi apa-apa?
Sedangkan dirinya masih merasa belum siap, bukan soal uang melainkan tanggung jawab dan waktu. Ia takut jika ia tidak bisa membahagiakan pasangannya, mengingat ketika menjalin kasih dengan wanita saja selalu waktu dan perhatian yang menjadi alasan di setiap putus.
Terakhir pun ia diputusi karena tidak perhatian, lalu bagaimana dengan istri yang pasti akan menghabiskan waktu bersama sesuai janji suci?
Ah! Aku tidak boleh berpikiran aneh dulu, batin Vian mencoba tetap kalem.
"Kali ini kamu terlalu merendah, Vian. Jangan mengelak dengan fakta yang ini, namanya tidak bersyukur dengan apa yang dimiliki," nasihat Theresa bijak.
Wow! Aku tidak tahu dia dewasa seperti ini, batin Vian bersiul takjub.
"Hn, aku tidak. Tapi baiklah, daripada aku dibilang tidak bersyukur, lebih baik aku mengiyakan," sahutnya mengalah.
"Nah! Kurasa itu lebih baik."
Keduanya pun kembali berbincang, membicarakan banyak hal dan sesekali juga terdengar tawa dari Theresa, saat wanita itu lagi-lagi memojokkan Vian ketika menjawab pertanyaan seadaannya.
Ya, yang paling banyak bicara memang Theresa dibandingkan Vian yang diam-diam berharap jika benar-benar wanita inilah calon yang cocok dengannnya.
Sungguh, kalau sampai kali ini ia batal dalam perjodohan bersama Theresa, sudah dipastikan jika itu artinya ia sedang dilingkupi sial, karena ditinggal untuk yang ketujuh kalinya oleh wanita di waktu yang berdekatan.
Dan itu sama sekali tidak lucu.
Baiklah, semua aku serahkan kepada Tuhan, batin Vian berdoa disela-sela berbincang dengan Theresa, calon istri dari sang mama.
Bersambung.