Hyperion Hotel Berlin, Jerman.
Menunggu dengan satu orang yang diam layaknya hanya ada untuk pelengkap, Aliysia tepatnya, ia bersorak dalam hati karena tidak lama kemudian seorang pelayan tampak mendorong trolley berisi makanan, menghampiri meja dengan pesanan mereka yang kini ditata rapi di hadapan masing-masing.
"Hier sind ihre Bestellung. Gutten Appetit. (Permisi, ini pesanannya. Selamat menikmati)"
Pelayan tersebut mengucapkan selamat menikmati dengan bahasa Jerman yang lembut dan ramah. Membuat Aliysia senang, ketika mendengar bahasa asing yang pernah dipelajari meski tidak fasih seperti kedua orang di depannya.
"Danke. (Terima kasih)"
Nah! Kalau Danke aku tahu, artinya terima kasih 'kan? batinnya.
"Dimakan, ini salmon kesukaan kamu," ucap Vian tiba-tiba, membuat Aliysia segera mengalihkan pandangan ke samping dan mengangguk dengan senyum senang.
"Um, tidak akan aku sisakan, tenang saja," balas Aliysia, menatap Vian dengan hati bahagia.
Oh jelas... Tentu saja Aliysia bahagia, karena kini ganti Yeselen yang menatap tidak suka, sepertinya kesal karena obrolan bersama Vian terganggu.
"Aku tahu itu," sahut Vian sambil mengulas senyum mengejek, kemudian kembali melihat si sekretaris yang kini mengalihkan tatapannya. "Gutten Appetit, Yeselen," lanjutnya.
"Gutten Appetit."
Ketiganya pun makan dengan tenang, dimana Aliysia pun tumben tidak banyak berbicara. Biasanya, ia sudah gatal mengajak Vian berbincang, tapi sepertinya ia tidak sadar mengikuti suasana, sama seperti saat ia makan malam berdua dengan Vian tempo lalu.
Tidak banyak perbincangan yang terjadi, bahkan hanya suara peralatan makan beradu yang terdengar, sedangkan ketiganya makan dengan tenang mengikuti adab.
Selesai makan malam pun ketiganya hanya berbincang sedikit, itu pun kebanyakan Aliysia yang hanya menyahuti ketika ditanya. Lalu selebihnya, ia memilih menjadi pendengar setia.
Bukannya apa, si wanita jelas sekali hanya tertarik berbincang dengan Vian dan Aliysia menyadari itu.
Ia hanya bisa menatap Vian yang mengobrol di sampingnya dalam diam, melihat bagaimana binar mata si suami kontrak yang terlihat biasa saja. Ya, ia merasa tidak seantusias si wanita asing, membuatnya diam-diam berharap, jika saat ini Vian hanya sedang melakukan formalitas semata tanpa ada rasa aneh di dalamnya.
Akhirnya makan malam benar-benar selesai, keduanya mengantar Yeselen hingga pintu keluar dan memasuki mobil sampai hilang dari pandangan. Kemudian kembali ke dalam, memasuki lift menuju kamar tanpa ada percakapan di antara keduanya.
Kan, seperti ini lagi. Apa obrolan kami di kedai es krim kemarin tidak memberikan dampak berarti, batin Aliysia sebal sendiri.
Sampai tidak terasa, akhirnya mereka berada di depan kamar yang dibuka segera oleh Vian
Ceklek!
Pintu terbuka, Vian kemudian melihat Aliysia dengan tatapan memerintah yang dimengerti maksudnya apa. Sehingga ia pun masuk dan berjalan kemudian duduk di ruang tamu.
Brugh!
"Vian, tunggu!" seru Aliysia meminta, ketika sang suami hendak melalui dan bersiap membuka pintu kamar.
"Kenapa?" tanya Vian tanpa berniat mendekat atau duduk di sofa.
Di depan kamar, ia membuka dasi yang melingkar di leher seraya melihat si bocah dengan alis terangkat, cukup penasaran.
"Apa besok kamu masih sibuk?" tanya Aliysia tanpa basa-basi.
"Umh ... Tidak, urusanku dengan pekerjaan sudah selesai. Lusa kita bisa mengunjungi beberapa tempat," jelas Vian dan Aliysia yang mendengarnya jelas segera mengangguk, mengerti.
"Tentu, lusa 'kan? Pasti kamu lelah maka itu mulai jalannya lusa."
"Hm, seperti itulah. Oke, kalau begitu-
"Tunggu dulu!" Aliysia kembali menyela ucapan Vian, ketika tampak si pria hendak membuka pintu kamar lagi. Sehingga Vian kembali mengurungkan niatnya, melihat dengan helaan napas pelan karena niatnya untuk lekas istirahat ditunda lagi.
"Huft.... Apalagi, Liysa? Aku mau mandi asal kamu tahu," tanya dan jelas Vian dengan nada lelah.
"Itu.... bolehkah aku bertanya?"
"Hn, tanya apa? Jangan banyak-banyak, aku sungguh sangat butuh mandi saat ini juga," sahut Vian dengan wajah lelah yang diperlihatkan jelas. Sedangkan Aliysia, ia yang merasa segera bertanya tanpa basa-basi.
"Yeselen, apakah Kakak menyukainya?"
"Hah!!"
Sontak Vian menatap Aliysia dengan tidak mengerti, ketika mendengar pertanyaan tentang rasa terhadap seseorang bernama Yeselen.
Iya.... Tentu saja Yeselen yang beberapa waktu lalu makan malam bersama dengan mereka.
Ini lucu sekali, bagaimana bisa si bocah berpikir jika ia menyukai si sekretaris partner bisnis, jika nyatanya kenal pun baru dua hari yang lalu, jadi tidak mungkin ia langsung menyukai seorang wanita.
Love at first sight dengan Yeselen? Yang benar saja.
Bukannya apa, love at first sight Vian sudah diambil oleh seseorang, coba tebak siapa?
Benar, bocah yang saat ini sedang bertanya kepadanya adalah cinta pada pandangan pertama Vian. Namun, ia memilih untuk tidak menanggapi lebih dalam.
Karena apa, karena Vian pikir Aliysia memiliki masa depan cerah dan ia tidak mau membuat perjuangan si bocah selama ini berantakan hanya karena beban rasa yang diberikannya.
"Kamu suka ya, dengan Yeselen?" Kembali Aliysia bertanya, ketiak Vian hanya diam dan tidak menanggapi pertanyaannya.
Ya, pertanyaan yang membuat Vian ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia menahannya dan menggelengkan kepala seraya mendengkus kecil.
"Sok tahu kamu," jawab Vian setelah sekian lama diam, kemudian kembali berniat membuka pintu, tapi sayangnya Aliysia kembali menghentikan dengan lanjutan kalimat tanya yang lain.
Inilah Aliysia, akan kembali dan semakin bertanya ketika jawaban belum memuaskannya.
"Lalu, kenapa kamu terlihat ramah dengannya? Selama ini, jika kita sedang keluar dan kamu bertemu dengan wanita, sekalipun yang dikenal, kamu tidak menanggapinya berlebihan seperti itu," tandas Aliysia cepat.
Vian terdiam dengan kalimat yang diucapkan oleh si bocah, memikirkan perkataan tersebut lebih serius.
Benar kah seperti itu? Apakah diam-diam Aliysia mempelajari tentang sikapku selama ini?
Bertanya dalam hati tanpa ada satupun yang akan menjawab, helaan napas keluar begitu saja dari belah bibir Vian, mencoba tenang.
Ya, ia menenangkan diri, kemudian kembali membalik tubuh menghadap belakang, dimana ada Aliysia yang berdiri dari duduknya, menatap dengan lurus dan pandangan yang membuat Vian berpikir.
Ada apa lagi kira-kira dengan Aliysia, kenapa sikapnya jadi berubah melebihi kemarin?
"Kenapa diam Vian?"
"Dengar, Liysa. Mengobrol akrab dengan seseorang belum tentu karena dia menyukai orang tersebut. Termasuk aku, aku bahkan baru mengenalnya dua hari ini, itu pun hanya sebagai partner bisnis. Aku hanya bersikap sopan karena dia adalah sekretaris relasi bisnisku. Terlebih, sore ini dia membantuku menjelaskan tentang perusahaan juga memberi informasi mengenai tempat bagus di sini."
Vian menjelaskan panjang lebar, tidak ingin ada salah paham dengan sesuatu yang sukses membuatnya geleng kepala.
Namun, ia juga bersyukur karena saat ini ada penjelasan dari Aliysia, bukannya tiba-tiba mendiaminya seperti waktu itu.
Ekspresi wajah Aliysia seketika berubah, berbeda dengan sebelumnya saat mendengar penjelasan panjang lebar dan Vian kembali bingung akan ekspresi yang ditampilkan si istri kontrak.
Kenapa lagi ini, batinnya tidak mengerti.
Bersambung