webnovel

10. Murkanya Bu Yati

"Kenapa si Rizki, Nduk, kok kaya panik gitu, ada apa toh?" tanya Ibu disela-sela melayani pembeli.

"Ayu juga nggak tahu Bu, cuma tadi pulang mau pergi sebentar ke kota ada perlu, nanti di hubungi lagi, ada apa ya Bu?" tanya balik Ayu yang sempat bingung.

"Ada apa toh Bu, nanti saja ngomongnya tuh masih banyak yang belum dilayani!" ucap Pak Sugimin yang ikut membantu Bu Yati membuatkan minuman.

Nisa kakak ipar Ayu juga membantu di sana, namun tiba-tiba Lukman dan Reza datang ke warung Bu Yati bersama anak dan istrinya masing-masing.

Mereka memang tidak tahu malu sudah tidak membayar malah seenaknya mengambil makan sendiri.

Beberapa orang yang melihatnya sangat geram dengan tingkah laku mereka, di saat banyak pembeli dengan mudahnya mereka membaur mengambil makanan sendiri dalam porsi yang tak sewajarnya pula.

"Eh, jangan gitu dong kamu nggak lihat Ibumu lagi melayani saya, ini malah kamu grasak-grusuk di situ, hargai dong pembeli," ucap Bu Nani sewot.

"Kok situ yang marah, suka-suka saya dong, ini warung punya Ibu saya, dia saja nggak marah kok!" sahut Lukman sedikit marah.

"Dasar edan, kamu nggak kasihan sama ibu kalian, datang cuma buat makan gratisan, dasar ngga tahu malu, untung punya ibu yang sabar kalau aku jadi ibumu sudah kujitak kepalamu biar otaknya geser sedikit," ucap Bu Nani lagi yang masih menunggu pesanan yang masih dibungkus Bu Yati.

"Biarin, bodoh amat yang penting perut kenyang persetan dengan omongan orang, bukan sama mereka minta makam kok, sama ibu sendiri, iya kan Bu?" sahut Lukman melirik ibunya untuk mencari pembelaan.

"Aduh Bu Yati, Bu Yati, kamu kalau begini terus suka dikadali sama anak-anakmu gimana mau sukses, sedikit-sedikit diambil sama keluarga, boleh sih nyicip nggak bayar tapi nggak tiap hari kali gratisan ya nggak balik modal, betul nggak ibu-ibu? ucap Bu Laila yang ikut nimbrung dari tadi.

Bu Yati hanya bisa tersenyum dengan kecut sembari melayani mereka dengan ramah. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh ibu-ibu memang benar adanya.

Setiap hari untuk sarapan pagi, mereka selalu datang hanya untuk makan dan minum yang gratisan.

"Mbak bantuin dong cuci piring, tuh numpuk banyak, masa datang tinggal makan, apa nggak malu tuh, katanya orang kaya tapi minta gratisan terus?" sindir Ayu kepada kakak iparnya yang nomor dua Mbak Citra.

"Aduh maaf ya, Mbak nggak bisa bantu soalnya nyuci nya jongkok, nanti baju aku rusak kena cipratan sabun cuci bagaimana, siapa yang nanggung?" jawabnya santai sambil mengambil lagi ayam bumbu bali di panci belakang.

"Eh, mau ke mana Mbak, jangan nambah lagi buat di jual sudah dua ya Mbak ambil, bisa bangkrut warungnya Ibu, kalau sampai ambil lagi bayar enak saja gratisan melulu," gerutu Ayu.

"Mah, Adi mau nambah nasi kuningnya minta dong, ambil in!" rengek putra sulungnya Bang Reza.

"Yu, ambili nasi kuningnya lagi dong di dapur saja banyakin ya jangan lupa sama lauknya ikan sama telur dua ya!" teriak Mbak Yuli kakak ipar Ayu nomor tiga.

"Nggak ada tambah-tambahan sudah cukup!" teriak Ayu dari dalam membuat orang-orang pelanggan Bu Yati tercengang dengan teriakan Ayu barusan.

Semua berhenti makan, termasuk Lukman dan Reza, sedangkan Doni baru datang bersama kedua anaknya yang baru bangun tidur langsung ke tempat Bu Yati untuk sarapan.

Bu Yati yang tadi sibuk melayani pembeli di depan, tiba-tiba berhenti seketika dan masuk ke dalam menuju dapur.

"Ada apa toh Nduk, kok kamu teriak-teriak?" tanya Bu Yati yang barusan datang ke dapur melihat anak-anaknya mulai berargumen.

"Kalian ini sadar nggak sih makan di sini gratisan melulu, ini buat jualan bukan untuk mengasih makanan kalian, katanya orang kaya banyak duit bayar dong!" ucap Ayu yang masih emosi.

"Apa-apaan sih kamu Yu, nggak sopan sama abang-abangmu ini, ya wajarlah kita ini masih anaknya Ibu, nggak apa-apakan makan di sini gratis masa sama anak sendiri perhitungan, makanya usaha Bapak jadi bangkrut karena nggak ikhlas kasih makan ke kita," jawab Doni dengan lantang.

"Bang, nggak punya otak ya, atau otaknya di dengkul ya, kalau sekali dua kali its' oke, tetapi kalau setiap hari dan bawa pasukan, terus ya nambah nya nggak nanggung-nanggung, itu apa namanya, memang jualan nggak pakai modal, nggak pakai uang, pakai daun!"

"Kalian sendiri nggak pernah kan ngasih Ibu atau Bapak, kalian lupa kalau nggak dikasih tanah satu-satu mana pernah bisa bikin rumah di sini, tapi ya Alhamdulillah Bapak dikasih Allah bangkrut sekarang supaya kalian tidak merebutkan harta warisan Bapak," jawabku tak kalah dengan lantang.

"Kamu itu tahu apa, masih kecil suamimu saja kere, miskin baru buka bengkel saja gaya, belum juga sukses belagu banget jadi orang!" ucap Bang Lukman membuka suara.

"Pokoknya sekarang kalau kalian mau makan disini harus bayar, kalian minta bantuan saja malas banget tapi kalau ada makanan minta duluan, kalau orang kaya nggak begitu Bang, malah dia yang harus bantu bukan sebaliknya," sahut Ayu menjelaskan.

"Eh Doni, yang diomongin sama Ayu itu benar, kalian itu sudah berkeluarga dan sudah banyak rezekinya bagi-bagi dong sama orang tua, nggak bakalan habis deh uang kalian kalau ngasih orang tua malah tambah rezekinya," sahut Bu Nani disertai anggukkan para ibu-ibu yang lain.

"Sudah-sudah, malu sama tetangga, kalian ini bersaudara jangan saling bertengkar, kasihan anak-anak kalian mendengar pertengkaran ini," ucap Pak Sugimin menengahi.

"Si Ayu yang salah, mana tahu kalau berpengaruh sama anak-anak kita bertengkar, karena dia belum punya anak, atau jangan-jangan diantara kamu sama Riski ada yang mandul lagi," ejek Mbak Citra dengan lugas.

"Iya Yu, makanya jadi orang jangan suka marah-marah, tambah seret rezeki, buktinya sudah punya suami miskin, pendidikan cuma sampai SMA, ditambah siapa tahu tahu mandul hahaha .... "tawa Mbak Yuli serempak diikuti yang lain.

Mendengar itu Bu Yati mendatangi Yuli lalu menamparnya dengan keras.

"Apa-apaan kamu Yul, biar bagaimana pun dia itu adik iparmu jangan kamu hina dia, bukannya kamu saya ambil juga dari kolong jembatan, jadi jangan seenaknya ngomong kamu!" ucap Ibu geram.

"Reza didik istrimu dengan baik, dan mulai sekarang jangan ada yang datang ke sini kalau hanya makan dengan gratis, betul kata Ayu kalian harus bayar, sudah cukup dari lahir sampai besar Ibumu ini membesarkan kalian tanpa saya minta kembali air susu saya yang kalian minum," ucap Bu Yati dengan tegas.

"Sekarang kalian keluar dari rumah saya, sudah cukup makan-makannya," teriak Bu Yati.

"Oh, sekarang Ibu lebih membela si Ayu daripada kami, baik kalau begitu mulai sekarang jangan harap kami sudi menginjak kaki di rumah Ibu yang reyot ini sebelum Bapak sama Ibu, terutama Kamu Ayu meminta maaf kepada kami," ucap Bang Doni dengan percaya dirinya.

Kalau ada apa-apa jangan minta bantuan sama kami ya Bu, biar Ibu dan Bapak sakit sekalipun kami tidak akan memberi kalian uang," ucapnya lagi dengan tegas.

"Ayok, kita pulang sumpek juga di sini, dan kalian Ibu-Ibu rempong sebagai saksi dari peristiwa ini."

"Nisa, ayuk kita pulang, percuma kamu bantu-bantu di sini, nggak dihargai juga sama mereka."

"Kasihan Bang, biar bagaimanapun mereka adalah orang tua kita yang harus kita sayangi dan hormati," lirih Nisa.

"Alah, nggak usah ikut-ikutan kamu, mau jadi istri pembangkang kaya Ayu, hah?"

"Ayuk pulang!"

"Maafkan Nisa ya Bu, belum bisa membuat Bang Doni insaf, insya Allah jika memang sudah waktunya dia akan sendirinya bertobat," ucap Nisa pelan takut kedengaran suaminya.

"Nggak apa-apa Nis, Ibu paham pulang sana Nduk!"

"Assalamualaikum!

"Walaikumsalam!

"Ah, ayuk pulang semua acara makan gratisnya sudah selesai," ucap Bang Reza tanpa ada rasa malu sedikit pun.

"Huh!!"

"Dasar anak durhaka kalian ini, kalau aku lebih nggak punya anak kaya kalian, nauudzubilla minjalik," sahut Bu Nani diikuti ibu-ibu yang lain menyoraki mereka ke luar rumah Bu Yati.

Setelah itu Bu Yati kembal melanjutkan pekerjaannya dengan ramah.

"Nah, gitu dong Bu Nani harus tegas sama anak, jangan mentang-mentang sudah kaya tapi sikapnya miskin amat, sudah miskin ilmu, miskin akhlak pula," timpa Bu Nani

Bu Yati hanya tersenyum mendengarkan perkataan Bu Nani yang ceplas-ceplos.

Bukan tidak ikhlas hanya saja orang-orang yang melihatnya merasa kasihan dengan Bu Yati dan Pak Sugimin, seharusnya di usia senja mereka sudah tidak lagi bekerja, tetapi karena masih merasa kuat lahir dan batin makanya sampai sekarang beliau masih berjualan untuk menyambung hidup.

Ayu anak yang paling terkecil dan termuda dari kakak-kakaknya sangat mengerti kondisi orang tuanya, dia tidak ingin orang tuanya sakit, sehingga setiap selesai salat subuh Ayu langsung ke rumah Bu Yati setelah izin dengan suaminya.

Biasanya jualan nasi kuning Bu Yati akan habis di kisaran sampai jam sepuluh pagi, dan beliau bisa istirahat sejenak melepas penat.

Diatas jam 10.00 pagi, Ayu selalu membersihkan semua peralatan yang terpakai sehingga besok subuh sudah tidak terlalu repot begitu juga dengan bahan dan bumbu semua sudah disiapkan olehnya di taruh di dalam kulkas agar tahan lama, jadi tinggal mencampurnya dengan bahan yang lain besok subuh.

"Yu, terima kasih ya Nduk, selama ini sudah membantu Ibu dan Bapakmu ini yang sudah tua, sudah banyak merepotkan kamu dan Rizki."

"Oh ya gimana Rizki, sudah nelpon kamu belum?" tanya Bu Yati.

"Belum Bu, ke mana dia ya Bu, lagi ngapain sih di kota?" gerutu Ayu.