"Tumben sekali Gio mau antar sampai ke loby, mana senyum lagi, apa karena dia sekarang punya teman di sini, Lis?" Renata heran dengan tingkah Gio.
Jangankan Renata, Lisa saja juga bingung sekaligus heran dengan tingkah suaminya itu, mendadak ingin menikah lagi, mendadak marah karena dia berkata soal perceraian, lalu pagi ini bersiul seperti orang yang baru menang undian, satu lagi, semalam Lisa merasa ada yang berbeda.
Gio jarang menatapnya ketika mereka bergumul menjadi satu, semalam Lisa ingat betul sembari menciumnya, Gio terus memandangnya, dan pandangan itu begitu dalam seolah Gio tengah memuja Lisa.
Hush, pikiran aneh!
Lisa tepis pemikiran seperti itu, perlu dia ingat kalau semua itu hanya omong kosong dan berhubungan intim adalah kebutuhan para pria yang sudah menikah dan dewasa, apalagi yang sudah pernah menikah seperti Gio.
"Kamu jadi ajak Gio program anak?" Renata juga banyak tanya hari ini.
"Kayaknya belum deh, Gio masih belum mau diajak bicara itu, biarlah, maunya dia gimana, dia cepat sekali berubah pikiran dan tidak jelas-" diam, ada Andreas lewat.
Lisa tahan gerak rahang Renata lewat kedipan matanya, bisa bahaya kalau Andreas, bos muda mereka menjadi cctv berjalan Gio di sini.
Gio itu punya jaringan besar, dia bisa meminta apa saja yang dia mau dan di manapun itu.
Mereka baru bernapas lega setelah Andreas berlalu, ada cengiran tanda sapaan saat mata Andreas menyapu isi ruangan tim yang ada Lisa-nya, itu membuat Lisa dan Renata merinding.
"Tunggu, dia bilang gitu ke kamu? Dia minta izin buat nikah lagi, yang benar, Lis?"
Terlalu dia pendam, Lisa yakin dia bisa gila, setidaknya Renata pernah belajat tentang psikologi dari mantan kekasihnya, sedikit banyak dia tahu.
"Apa yang dia lakukan setelah bicara seperti itu?"
Lisa jelaskan pada intinya saja, Renata mengernyit bingung, usai meminta izin menikah lagi, Gio seolah tak mau berpisah dari Lisa.
Brak!
"Lis, coba deh kalian cari waktu yang memang intim sekali berdua, ngobrol sama dia dari hati ke hati, kalau perlu waktu kamu sama dia selesai begitu-" Renata harap temannya paham. "Aku yakin dia punya rasa ke kamu, cuman karena dia trauma dengan masa itu, maksudku bersama mantan istrinya, jadi dia takut mengumbarnya, ke kamu pun takut."
"Trauma bagaimana, kan dia yang jahat sama istrinya sampai digugat, Ren?!" begitukan yang dia dan semua kalayak tahu.
Renata bergeleng, dia yakin betul akan apa yang dia rasakan, ada yang Gio sembunyikan dari Lisa dan berharap Lisa tahu tanpa dia katakan sejujurnya.
Sore ini, Renata bertekad menyapa Gio saat pria itu menjemput Lisa, ingin dia pastikan di depan matanya sendiri reaksi Gio bila dia pancing Lisa bertemu dengan pria lain yang tentunya masuk daftar kecurigaan Gio.
Lana, dia pemuda yang sempat satu tim dengan Lisa, mereka sempat dijuluki 2L pasangan serasi dalam candaan sebelum Lisa menikah dengan Gio, masih awal Lisa bekerja di sini.
"Aku harus lakukan itu, kamu bakal tahu bagaimana dia, Lis!"
"Ren, plis, jangan. Kamu tidak akan paham sama Gio, dia itu-"
"Sudah, pokoknya aku bakal tes dia!" keputusan Renata sudah bulat.
Sore ini, akan dia lancarkan, siapa yang dia hadirkan, tak akan Lisa sangka. Dia berkata akan menguji lewat hadirnya Bram, tapi yang dia kejutkan nanti adalah Lana. Lisa akrab sekali dulu bersama Lana, mereka sering kerja sama.
***
Lisa sudah setengah berlari, dia endak menghindari ujian dari Renata itu, Bram yang tampak berbicara serius dengan Renata yang tengah menyusun rencana di sana sengaja Lisa tinggal, suaminya sudah di depan.
Bukan apa-apa, menguji Gio akan sama saja menyakitinya, digigit itu sakit, apalagi di bagian yang penuh dengan daging.
Bruk!
"Ic-" Gio rapatkan giginya, gemertak di dalam sana.
Lisa terjatuh tanpa sengaja dan tasnya terlepas, di depan Lisa ada Lana yang melintas sama tak melihatnya, buru-buru.
Lana ambil tas Lisa, begitu juga ponsel dan lembaran yang Lisa bawa, tepak makan juga, dia berikan pada Lisa, tapi sebelum itu dia endak membantu Lisa berdiri.
"Tidak, aku bisa bangun sendiri, Lan. Tidak apa-apa, terima kasih ya sudah diambilkan barangnya." Lisa mencoba berdiri.
Tapi, karena kakinya sakit, terpaksa Lisa menerima tangan Lana, dengan itu dia bisa berdiri meski meringis.
Plak!
"G-GI!" Lisa sontak melepas tangan Lana yang Gio pukul tadi, menggeser Lisa ke belakang punggungnya, melingkarkan kedua tangan Lisa di pinggangnya. "Gi, tad-tadi itu-"
"Diam!" potong Gio, bara apinya sudah tersulut, tangan itu ingin Gio bakar habis. "La-na, itu namamu?"
Mati aku!
Lana mengangguk, dia masih membawa tas Lisa, mana dipukul Gio sakit juga tangannya.
"Sini!" Gio rebut tas Lisa, dia tunjuk Lana. "Jangan pernah sekali-kali kamu jalan di depan Ica, kalau kamu ulangi lagi, kantor ini tidak akan menerima kamu jadi pekerjanya, paham?!" sumpah, Gio marah, serius.
"Anda siapa? Kan, bos muda bukan Anda."
Apa?!
Lisa memohon di belakang Gio agar Lana tak meladeni suaminya itu, mimik wajahnya sudah memohon sangat pada Lana
"Ka-"
"Gi!" Lisa rapatkan kedua tangannya sampai dada Lisa yang berdegub kencang bisa Gio rasakan. Ya, seperti itu kalau mereka tengah menikmati malam. "Gi, kakiku sak-kit, obati dulu di mobil ya." pintanya.
Gio menunduk, melihat luka kecil di dekat sabuk sepatu itu, masih dengan dengusannya dia tinggalkan peringatan pada Lana, masih sama, yang tadi dia katakan.
Hebat, Renata tidak salah menilai sorot mata itu, memang aneh bila dihubungkan dengan masa lalu Gio, tapi sepertinya ada yang salah dengan kabar itu, di sini Gio seperti bukan pelaku kejahatan yang berhak digugat, dia hanya korban yang menyamar menjadi pelaku, kira-kira begitu.
Di mobil,
Bukan diobati kakinya, malah Gio menghabisi bibir Lisa lebih dulu, membuat Lisa sesak napas karena dia tak mau berhenti menciuminya.
"Ica."
"Iy-iya, Gi?" dia takut, dia takut, jangan sampai suaminya meminta hak suami di mobil ini, parkiran ini ramai. "Iy-iya?" dia ulangi.
Gio angkat tangan Lisa yang tadi disentuh Lana, dia cengkram dan dia tempelkan ke pipinya setelah Lisa meringis.
Pandangannya begitu tajam pada Lisa, tapi ada sorot lain yang tidak bisa Lisa artikan, termasuk ciuman Gio baru saja itu.
"Gi …."
Pria itu ambruk memeluk Lisa, sampai-sampai kaki Lisa tak sakit lagi, fokusnya pada pria satu ini, pria yang tengah memeluknya seolah takut kehilangan.
Sungguh, Lisa tak mengerti.
"Gi, pulang yuk, langitnya sudah gelap, aku mau masak buat kamu. Kita pulang yuk!" bisik Lisa, dia usap punggung suaminya, perlahan deruh napas memburu itu berubah tenang.
"Ica, hatiku sakit."
Hem? Apa?