Rania senang bertemu sahabatnya waktu SMA, terlebih sikap baiknya sudah kembali, dia adalah Kanaya sosok gadis yang pernah singgah di hati Rafli sebagai cinta pertamanya di masa putih abu-abu. Bahkan kini mereka bisa bercanda gurau layaknya sahabat yang lama tak bertemu, seperti sedang reuni tetapi pertemuannya tidak direncanakan.
Awal mula persahabatan antara Rafli, Rania, dan Kanaya karena rumah mereka searah, mereka juga satu kelas kemudian sering ngobrol dan akrab, persahabatan mereka rusak setelah Rafli menyatakan cinta ke Kanaya, sebab saat itu Kanaya mempunyai pacar yang bernama Revan, lalu Rania yang kenal Rafli sejak SMP tidak terima sahabatnya dihina oleh Kanaya kala itu, hingga mereka jadi tak saling bicara dengan waktu yang sangat lama.
"Serius kamu tidak marah lagi sama Rafli ataupun aku?" Rania bertanya lagi untuk memastikan jika Kanaya benar-benar telah kembali seperti sahabat yang dikenalnya pertama kali masuk SMA.
"Iya, Rania aku sudah tidak marah lagi sama Rafli ataupun kamu, bahkan seharusnya aku malu. Kalian itu sahabat yang baik mengingatkan kejelekan Revan tapi aku tidak percaya, bahkan menuduh Rafli cemburu. Padahal jika dulu aku mau membuka hati untuk Rafli, aku sekarang yang di posisi kamu Rania," ujar Kanaya senyum melilit ke Rafli.
"Di posisiku maksudnya?"
"Ya, di posisimu, jika dulu aku menerima cinta Rafli tentu aku yang akan jadi istrinya kan?"
"Oh, istri. Kanaya sebenarnya aku sama Rafli itu nikah kon …."
Rafli langsung menutup mulut Rania agar tak melanjutkan perkataannya.
"Kon apa?" Kanaya bingung.
"Konon katanya, cinta hadir karena terbiasa bersama itu lah cinta diantara Rania dan Rafli, kami kan sejak dulu bersama sebagai sahabat dari SMP, SMA, dan berpisah saat kuliah saja, itupun sebulan sekali janjian untuk bertemu, mungkin disitulah benih cinta tumbuh, iya kan Rania?" kata Rafli mencubit pinggang Rania.
"Iya, Kanaya betul sekali apa yang dikatakan oleh Rafli, mungkin kamu cinta pertamanya tapi cinta terakhirnya untukku."
"Kenapa Rafli tidak mau mengakui saja jika ia menikah kontrak denganku? Toh, tiga bulan kedepan sudah bercerai." Rania menggerutu di dalam hatinya tapi terpaksa menuruti permintaan Rafli di depan Kanaya.
"Kanaya kamu ada acara apa datang ke pantai?" tanya Rania.
"Tidak ada acara apapun, aku hanya sedang sakit hati diselingkuhi Revan berkali-kali sampai akhirnya aku memutuskan hubungan itu, cukup sudah lima tahun berlalu, hanya membuang waktuku saja."
"Lima tahun bukan waktu yang sebentar, kamu terlalu sabar dan kuat menghadapi Revan, aku salut." Rania memuji Kanaya tapi sesungguhnya di hati Rania ingin melihat Rafli bersatu dan bahagia dengan Kanaya, bukannya terbelenggu dengan ikatan palsu dengannya.
"Mau bagaimana lagi, namanya juga bucin. Namun bersyukur akhirnya aku mengambil keputusan tepat meninggalkan Revan dan untuk sementara jomblo dulu, usiaku toh, masih muda," kata Kanaya.
"Iya, kita masih muda umurku saja baru mau dua puluh satu, sedang Rafli juga masih muda, kita pasangan muda yang masih membara," kata Rania tertawa.
"Kalian yang langgeng ya, Rania jangan dilepas Rafli, dia laki-laki yang baik. Jika sampai kamu lepas dia, berarti aku bebas mengejar cintanya."
Rafli sampai terbatuk mendengar perkataan Kanaya, wanita yang pernah dia cintai berkata begitu didepan Rania.
"Kalau kamu mau, ambil saja Rafli, nih!" Rania tertawa geli, menyodorkan suaminya.
"Yang benar? Sini lah, Rafli buat aku saja, kamu jangan nyesel, nanti."
Kanaya pun tertawa.
"Kalian apa-apaan sih? Memangnya aku barang, segala dikasih" kata Rafli kesal.
"Idih, suamiku ngambek, maaf deh." Rania meminta maaf sambil tersenyum.
Tidak semudah itu mendapatkan cinta yang sudah hilang meskipun kenangan itu masih membekas di hati.
Namun hati Rafli sepenuhnya milik Rania, meskipun dia sama sekali belum berani mengatakan isi hatinya, tapi ia tidak mau hatinya diisi oleh perempuan lain selain Rania.
"Kanaya setelah ini kamu mau kemana?"
"Aku kembali ke hotel, besok kembali ke Jakarta, jika kalian bagaimana? Kapan kembali ke Jakarta, atau masih betah di sini untuk menjelajahi kota Yogyakarta, senangnya kalian bisa bulan madu dan nikah muda sedang aku segala impian tentang pernikahan kacau balau, tapi ya sudah lah." Kanaya memandang cincin di jarinya, itu adalah kenangan terakhir dari Revan.
"Kita pulang yuk, nanti kemalaman. Kamu sudah kenyang kan Rania?" Rafli memastikan istrinya tidak kelaparan.
"Ya, ampun sayang kamu perhatian sekali, tapi konyol! Sudah kenyang lah, kan sudah makan satu piring dan kamu lihat tadi, gimana sih?" Rania meringis.
"Hemmm … romantis sekali kalian berdua, jadi semakin iri aku, ya sudah sampai bertemu lagi lain waktu, Rania dan Rafli, aku pulang duluan, ya." Rania beranjak dari tempat duduknya ia pulang terlebih dulu.
"Sampai ketemu lain waktu Kanaya, hati-hati di jalan, senang bertemu kamu hari ini."
Rania menempelkan pipinya ke pipi kanan dan pipi kiri Kanaya, tiba-tiba ia mengingat kejadian di pantai setelah Kanaya pulang, Rania merasa canggung berduaan dengan Rafli, di mobil pun wanita itu hanya diam tanpa bicara.
"Kenapa kamu diam? Kehabisan obat? Perasaan tadi pas ketemu Kanaya berisik sekali, eh sekarang jadi pendiam kaya patung," ujar Rafli.
"Kamu waktu aku pingsan, itu ya?"
"Itu, ya? Apa?" Rafli bingung.
"Napas buatan! Seharusnya kamu jangan ngelakuin itu, Rafli! Kita kan tidak ada perasaan cinta, terlebih itu …."
"Itu apa? Kalau bicara yang jelas Rania, aku melakukan itu untuk menyelamatkan nyawa kamu, masa tidak boleh."
"Tapi kan seharusnya yang menyentuh bibirku hanya suamiku," pekiknya.
"Aku suamimu kan?"
kata Rafli justru menggoda Rania.
"Aku serius Rafli, suami istri yang saling mencintai bukan seperti kita berdua, memangnya kamu tidak menyesal melakukan itu?" Rania memandang wajah Rafli yang tenang tak merasa bersalah sedikitpun.
"Gak nyesel dong, kan menyelamatkan nyawa orang, harusnya kamu berterima kasih ke aku, kok malah marah. Rania kamu jadi orang aneh tahu, pesanku jangan pernah bocorkan ke siapapun tentang rahasia pernikahan kontrak kita termasuk ke Kanaya, sekarang aku tidak mau dan tidak suka dengan dia. Kamu bisa kan menghargai permintaanku sebagai sahabat?" jelas Rafli panjang kali lebar.
"Ya, paham Pak Dosen, galak benar."
"Aku tidak galak sayang, tapi kamu perlu ditegaskan, jika kamu ketahuan nikah kontrak pasti akan direndahkan oleh kaum laki-laki, kamu tidak mau kan? Dikiranya kamu dibayar dan rela ditiduri, padahal kita bersentuhan pun tidak, tapi mana ada yang mau tahu jika status janda pasti dipandang sebelah mata, apa kamu siap menghadapi resiko itu di masa mendatang?"
Rania hanya terdiam mendengar segala perkataan Rafli, tapi apa yang dikatakan memang benar, lebih baik pernikahan kontrak hanya menjadi rahasia antara dirinya dengan Rafli saja, semua orang tidak boleh tahu termasuk ayah dan ibunya sendiri.
Meskipun rahasia bisa saja terbongkar kapanpun, tapi setidaknya sudah berupaya untuk menutupinya.