webnovel

PUTUS CINTA

Tidak ada angin tak ada hujan tiba-tiba Arsha minta putus dari Kanaya.

Membuat sahabat Rania itu sangat bersedih, merasakan sakitnya patah hati lagi dan lagi. Namun dirinya masih belum percaya jika Mas Arsha tega memutuskan hubungan sepihak tanpa alasan yang jelas. Kanaya sangat kesal pada Arsha ia merobek-robek poto kekasihnya tanpa tersisa sedikitpun.

Kanaya hanya bisa merenungi nasib di tempat tidurnya seorang diri tanpa siapapun di sisinya, ia sengaja tidak memberitahukan keadaannya pada Rania ataupun yang lainnya sebab ia malu untuk berkata jujur, baru saja menjalani hubungan percintaan tapi harus mengalami kandas dengan waktu singkat.

Arsha begitu kejam memutuskan hubungan hanya lewat pesan singkat ke Kanaya, bahkan dengan alasan kurang masuk akal, ia bilang akan fokus kuliah S2 untuk meraih cita-cita setinggi langit dan tidak ingin pusing memikirkan soal cinta-cintaan terlebih dulu katanya.

"Aku benci kegagalan, aku benci cinta? Revan, Rafli, Arsha kalian menyebalkan semua membuat hatiku jadi sakit!" pekik Kanaya memaki nama laki-laki yang pernah singgah di hatinya.

Malam terasa gelap gulita, langit tanpa bulan dan bintang yang biasanya menampakkan diri memberi cahaya dan senyuman pada dunia. Seolah-olah langit mendung sebagai isyarat kesedihan. Sebuah tangisan dari angkasa.

Suara gledek menyambar saling bersahutan, membuat hati Kanaya kian bergetar, membuka jendela menatap bumi yang gelap. Cahaya seluruh kota hilang, padam semuanya.

"Sial sekali mengapa mati lampu?" gerutu Kanaya tidak dapat melihat apapun. Dengan meraba-raba ia menemukan ponselnya, menyalakan senter sebagai sumber penerangan yang sederhana.

"Lebih baik aku tidur, buat apa larut dalam kesedihan yang membuatku jadi begini." Kanaya mencoba menutup matanya, tapi nyamuk-nyamuk nakal mendekatinya diam-diam menghisap darahnya secara pelan-pelan. Namun akibatnya tubuh Kanaya jadi gatal-gatal.

"Astaghfirullah, malam yang sangat panjang dan menyebalkan, kemana aku meletakan semprotan nyamuk?" Kanaya bertanya pada dirinya sendiri.

"Aku lelah!" pekiknya yang kepalanya sudah mau pecah tidak menemukan apa yang dia cari.

***

"Rafli kenapa lama sekali lampunya mati? Aku takut tahu!" Rania meremas jemari Rafli yang berkeringat.

"Sabar nanti juga nyala," ujar Rafli yang berkeringat dingin sebab Rania terlalu menempel dengannya.

"Tapi kapan? Aku takut gelap, nih! Jika dulu mati lampu aku selalu minta temani oleh ibu, tapi sekarang tidak mungkin sebab aku sudah punya suami," gumam Rania merengkuh erat pundak Rafli.

"Kamu modus? Tadi meremas jemariku, sekarang ngerangkul begini, bilang aja mau dipeluk Rania." Rafli sengaja berkata begitu tapi Rania tidak peduli.

"Terserah kamu mau bilang modus atau apa kek? Aku bodo amat kok, lagian aku butuh kamu disampingku sekarang ini," kata Rania.

Rafli merasakan tubuhnya bagaikan terkena sengatan listrik, dadanya berdebar kian kencang merasakan sentuhan Rania.

Ada suara benda jatuh dari dekat kamar Rania membuatnya terkejut lalu memeluk Rafli dengan sangat erat, sedang Rafli kita kuasa lagi menahan gejolak kuat dalam dirinya, membalas pelukan erat dari Rania. Mereka saling berpelukan dalam posisi duduk di atas ranjang Rania.

Ketika lampu tiba-tiba nyala, perlahan Rania melepaskan pelukannya.

"Maaf aku tadi ketakutan jadi reflek peluk kamu, sekarang tidur lah di bawah!" kata Rania senyum tipis.

"Aku tahu, selamat malam Rania."

Dalam hati Rafli merasa kecewa berharap mati lampu sepanjang malam agar dirinya bisa berdekatan dengan Rania tanpa jarak sedikitpun diantara mereka.

Malam berjalan sesuai porosnya, jam dinding berputar tanpa lelah berkerja dengan semestinya. Seandainya sebuah jam berhenti berputar itu artinya dia lelah, batrenya habis atau jamnya rusak hanya ada dua kemungkinan.

Sedang manusia ketika lelah maka mereka wajib istirahat, membiarkan tubuh tidur dengan nyenyak di malam hari berharap mimpi indah sebagai pengantar tidur. Sedang hari esok akan bertempur lagi dengan dunia, rutinitas yang melelahkan menjadi pilihan hidup sehari-hari ada yang melakukan demi sesuap nasi, ada yang melakukan hanya untuk pekerjaan saja seperti Rania dan Rafli, ada yang melakukan setengah hati demi mendapat gaji saja.

Berbeda-beda setiap pikiran dan hati anak manusia yang ada di bumi pertiwi.

Cinta terkadang menjadi penyemangat akan tetapi banyak juga yang menjadi penghancur. Sakitnya putus cinta seringkali membuat seseorang jadi gelap mata, menjadi salah jalan dan berbuat kesalahan fatal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Namun tak ada manusia yang luput dari khilaf dan dosa sebaik apapun dia.

"Rania, bangun!" Rafli mencoba membangunkan Rania yang masih tertidur pulas.

Rafli menatap wajah Rania dengan perasaan cinta yang dalam.

Bibir itu tampak indah, gerakan hatinya ingin sedikit mengecupnya.

Wajah Rafli sudah sangat dekat dengan wajah Rania, ia melakukan itu lagi tanpa izin dari Rania. Kejadian napas buatan di pantai terulang kembali, bedanya Rafli melakukan dengan hati-hati.

"Rania maaf ya, tapi aku cinta kamu," ujarnya lirih.

Rania mengusap-usap matanya, "Apa ini sudah lagi? Aku kesiangan, ya?"

"Baru setengah enam, bangunlah! Aku dari tadi sudah berusaha membangunkan kamu, tapi tidurmu seperti mayat." Rafli berkata begitu membuat Rania tertawa.

"Masa? Aku tidur nyenyak sekali, tapi tadi aku mimpi bibirku dikecup pangeran tampan, tapi hanya mimpi." Rania menyentuh bibirnya.

Wajah Rafli merah, ia merasa bersalah.

"Kamu sudah sembahyang?" tanya Rania.

"Aku sudah melakukan semuanya, tinggal kamu Rania. Cepat mandi dan salat subuh, nanti keburu kesiangan," kata Rafli.

"Siap laksanakan!" Rania beranjak dari tempat tidurnya ia bergegas ke kamar mandi untuk melakukan aktivitas pertamanya usai bangun tidur.

Di kamar mandi Rania masih menyentuh bibirnya dia merasakan aneh bermimpi dikecup seorang pangeran, tapi mengapa rasanya begitu nyata?

"Siapa pangeran itu? Mimpi yang sangat konyol di pagi hari. Apakah mungkin Rafli yang melakukan hal itu?" tanya Rania pada dirinya sendiri.

"Tidak mungkin, dulu waktu dia membuat nafas buatan saja aku marah, dia juga sudah minta maaf, jadi tidak mungkin." Rania berpikir keras tapi akhirnya ia menganggap itu hanya mimpi bunga tidur saja, tidak ada tanda ataupun firasat.

Rafli merasa jadi orang pengecut, berani melakukan tindakan begitu tapi secara diam-diam." Rafli berkata dengan nada suara pelan, menarik napas dalam-dalam.

"Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika pisah sama kamu Rania? Hidupku pasti hancur." Rafli menatap kalender yang ditandai oleh Rania setiap hari. Waktu bergulir dengan cepat, setiap detiknya selalu berharga bagi Rafli sebelum kontrak nikahnya dengan Rania masa berlakunya habis.

Tiga bulan bagi Rafli waktu yang sangat singkat, ia ingin selalu bersama dengan Rania untuk seumur hidupnya jika itu bisa, tapi apalah daya dirinya terlalu lelah dan tak kuasa untuk mengatakan isi hatinya sendiri.

Sedangkan Rania selalu saja terbelenggu bayang-bayang Reyhan yang jelas-jelas sudah putus hubungan dengannya, bahkan tidak ada sela sedikit pun untuk bersatu. Namun takdir Allah tidak ada yang tahu kepada siapakah cinta sejati akan bergulir di pelabuhan terakhir?