webnovel

Dilema

"Pernikahan ini harus dilaksanakan secepatnya Mas, karena sekarang Vania itu sedang hamil!" kataku sambil menangis.

Mas Ridwan langsung menoleh kearahku, dan sepertinya dia sangat kaget. Vania yang di rawatnya dari kecil dengan penuh kasih sayang itu, telah menghianati kepercayaannya.

"Hamil? Apa benar yang di katakan Kakak mu itu Van?," meskipun kaget sepertinya Mas Ridwan masih berusaha bersabar.

Vania masih tertunduk, sambil menangis, sambil menganggukan kepalanya pelan. Mas Ridwan mengusap wajahnya kasar, dan menghela nafas,

"Astaghfirullahaladzim!!" katanya sambil membenarkan posisi duduknya.

"Maafkan aku Mas, aku kebablasan. Maafkan aku sudah menodai kepercayaan yang kalian berikan. Sekali lagi maaf," kata Vania sambil menangis.

Rasa kecewa, marah dan sakit dihati bercampur menjadi satu, saat orang yang kami banggakan ternyata menorehkan arang di muka kami, aku dan Mas Ridwan hanya bisa terdiam. Mungkin jika dulu orang tuaku tau aku hamil saat masih semester dua, pasti keadaannya bakal lebih parah dari ini, untung saja aku memilih jalan itu.

"Tolong Kak, Mas, maafkan aku, jangan diam seperti ini kepadaku. Aku benar benar menyesal," kata Vania sambil memegang tanganku dan duduk di bawahku.

Ku rengkuh dia dan mendudukkannya disampingku, percuma di sesali, semua sudah terjadi dan kita tak mungkin bisa mengembalikan waktu. Mungkin juga ini pembalasan untukku, karena kesalahan yang kuperbuat tiga belas tahun silam. Yang terpenting saat ini adalah, menikahkan Vania secepatnya sebelum perutnya semakin membesar.

"Siapa Ayah, dari bayi di dalam kandunganmu itu Van?" tanya Mas Ridwan sambil menyesap rokoknya dalam dalam, dan matanya menatap jauh keluar.

"Mas Adit, ini adalah anak dari Mas Adit." jawab Vania sambil menunduk.

"Tadi katamu, kamu tak akan merusak adikku kan? Tapi nyatanya? Kamu sudah merusaknya!! " teriak ku.

Tak dapat lagi kutahan kata kata itu keluar dari mulutku. Mengapa harus dengan orang yang sama kami kakak beradik harus menanggalkan keperawanan kami. Setelah tiga belas tahun dia kembali, membawa luka untuk keluargaku lagi. Takdir macam apa ini ya Allah. Sementara Adit hanya diam dan menunduk, aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

"Sabar Dek, istighfar. Kontrol emosimu, semua bisa dibicarakan baik baik. Tak enak juga kan di dengar tetangga." kata Mas Ridwan sambil mengusap punggungku.

Akupun kembali memeluk Vania yang masih menangis sesengukan. Maafkan Kakak ya Dek, tak bisa menjaga mu dengan baik, dan karena perbuatanku dululah kamu jadi seperti ini. Memang benar adanya, hukum tabur tuai itu selalu berlaku. Semua memang sudah takdir dari Allah, atau mungkin Adit alias Rama ini ingin membalas dendam padaku, karena dia telah mengira aku lah yang menghianatinya dahulu? Namun hal itu tak mungkin, karena aku sangat tahu dia bukan tipe seorang pendendam.

"Semua sudah terjadi, tak bisa kita memutar waktu untuk mengembalikan keadaan. Sekarang yang harus kita fikirkan adalah bagaimana kedepannya. Ini sudah menjadi takdir Allah yang harus kita jalani. Dit, benarkah yang dikatakan oleh Vania, bahwa itu adalah anakmu?" tanya Mas Ridwan mencoba bijaksana.

"Jujur, aku baru tahu kalau Vania hamil saat ini. Selama tiga bulan kenal dengannya, hampir tak pernah menyentuhnya. Tapi seminggu yang lalu aku mengajaknya ke pesta pernikahan seorang temanku di sebuah hotel, aku mengajak Vania, dan aku sempat minum bersama teman temanku. Mungkim karena kebanyakan minum, jadi aku tak ingat lagi apa yang terjadi malam itu, yang aku tahu saat aku bangun lagi itu, kami telah berada di sebuah kamar hotel, dan menurut Vania, aku telah melakukan perbuatan itu kepadanya. Karena peristiwa itulah, aku merasa bertanggung jawab, dan datang kesini hari ini untuk meminta ijin menikahinya. Aku tak ingin kecolongan untuk yang kedua kalinya seperti dulu. Namun aku sungguh sungguh tak tahu kalau Vania hamil, dia pun tak mengatakan kalau sedang hamil," jawab Adit lancar.

Dan aku mempercayai semua ucapannya itu. Aku jadi yakin, ada yang di sembunyikan oleh Vania. Namun aku tak bisa menanyakan hal itu disini.

"Ini anakmu Yank, aku tak pernah melakukannya dengan orang lain selain kamu. Malam itu kamu mabuk dan memaksaku chexk in dan melakukan hal itu. Aku sudah melawan namun apalah daya aku kalah tenaga denganmu. Dan memang aku belum memberi tahumu kehamilan ini, rencananya baru nanti aku akan mengatakannya padamu Yank," kata Vania sambil menunduk, sepertinya dia pun tak berani menatap mata Adit.

"Aku minta orang tuamu secepatnya kesini Dit, dan benar apa kata istriku, kalau bisa besok mereka harus sudah kesini, lebih cepat lebih baik. Aku tahi kamu bukan tipe orang yang lari dari tanggung jawab kan?," kata Mas Ridwan.

"Tentu Mas, aku akan bertanggung jawab, secepatnya aku kan menikahi Vania. Aku juga memohon maaf pada kalian berdua, sudah mematahkan harapan kalian. Aku berjanji tak akan menyia nyiakan dia," kata Adit.

"Apakah keluargamu mau menerima Vania, seorang yatim piatu miskin seperti dia?" tanyaku.

Perkataanku itu, sukses membuatnya langsung menoleh kepadaku, aku tahu dia pasti merasa tersentil.

"Jangan khawatir Kak, jaman sudah berubah, aku sekarang sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri untuk kehidupanku kedepannya, dengan siapa aku akan menghabiskan sisa hidupku. Aku bukanlah mahasiswa semester dua yang plin plan. Ku pastikan keluargaku menerima Vania dengan tangan terbuka," katanya kearahku.

"Baguslah kalau begitu. Awas saja kalau kamu atau keluargamu berani menyakitinya, aku akan membalas kalian saat itu juga dan meyakinkan kalian menyesali perbuatan itu," kata ku penuh emosi.

"Apaan sih Dek, kok jadi makin tegang begini. Jangan negative thingking, selalu berdoa yang terbaik untuk Vania. Aku percaya Adit bisa mempertanggung jawabkan semua perkataannya tadi." kata Mas Ridwan lagi.

Akh hanya bisa diam, sementara Vania masih saja tertunduk dan menangis sesenggukan. Semoga nasib Vania tak berakhir tragis seperti dulu di tangan keluarga Adit.

"Van, sebaiknya kamu sekarang bermalam disini saja, biar Adit balik ke Surabaya sendiri. Tenangin diri dulu disini." kata Mas Ridwan lagi pada Vania.

"Maaf Mas, hari ini aku tak bisa bermalam disini, ada tugas kuliah yang harus segera ku kerjakan malam ini, dan wajib di kumpulkan besok. Hari Sabtu saja aku akan pulang dan menginap disini." jawabnya.

"Sudahlah Van, tak perlu lagi kamu kerjakan tugas tugas itu, toh kamu kan akan segera menikah, tak mungkin kan kamu bisa melanjutkan kuliahmu lagi. Dan betul sekali kata Mas Ridwan kamu disini saja." kataku.

"Nggak Kak, setelah menikah nanti, aku tak akan mengekang Vania, aku tetap mengijinkan dia melanjutkan kuliah dan mengejar cita citanya. Apapun keinginanya akan selalu ku dukung," kata Adit.

"Baguslah kalau begitu. Terima kasih atas pengertiannya pada Vania. Jadi sekarang kamu mau balik ke kost gitu? Oke tak apa asal kamu bisa menjaga diri. Dan kamu Dit, ingat besok atau selambatnya lusa kutunggu kehadiran keluargamu," kata Mas Ridwan, yang dijawab oleh anggukan.

Kemudian mereka berdua pun pergi, kembali ke Surabaya. Sepeninggalan mereka banyak sekali pertanyaan berkecamuk di hatiku. Tentang kejujuran Vania, tentang restu dari orang tua Adit, dan dilema dalam hatiku untuk mengatakan siapa sebenarnya Adit pada suamiku.