webnovel

Gadis Malaikat

Tangan yang kokoh membawa kedua anak kecil dengan begitu mudah. Ia menyusuri sungai sambil mendengar gadis mungil mengoceh tentang kunang-kunang tadi. Tetapi, Aru menyadari busana yang dipakai pria itu tidak menunjukkan kemodernan, dengan pembawaannya yang sangat berkelas.

Arunika memutuskan untuk mengikuti seorang pria dan kedua anaknya–ia mengira demikian. Dengan penuh kehati-hatian, Arunika berjalan tanpa membuat suara langkah. Ia terus membuntuti tiga orang di sana.

Ia lupa akan tujuan utama ketika alam bawah sadar menariknya, malam ini ada hal yang berbeda. Sesuatu yang menarik, bahkan sangat menarik, wajah pria itu membuatnya bertanya-tanya. Ia seolah mengenali dan tidak asing melihatnya. Hanya saja, Aru benar-benar tidak tahu siapa pria bertubuh rupawan itu.

'Ke mana mereka?' Aru kehilangan jejak.

Ayah dan kedua anak tadi lepas dari pandangan Arunika, ia berlari-lari kecil mengejar ke arah yang ia yakini. Sayangnya, Aru benar-benar kehilangan mereka. Tidak ada siapapun.

'Air mancur di tengah hutan?' Aru sedikit kebingungan. Air mancur yang cukup tinggi, memberikan kehidupan pada tumbuhan di dekatnya.

Arunika memperhatikan dan mencelupkan tangan ke dalam wadah yang di aliri air-air tersebut.

'Sepertinya ini tempat istimewa.' pikirnya.

Seiring ia menikmati alian air lalu membasuh wajah, segerombol orang–dan tampaknya ada satu orang seperti pemimpin di antara mereka–menangkap kemudian menarik paksa Arunika.

"Pegang dia." Pemimpin mereka berteriak.

Aru berlutut dengan masing-masing tangan dipegang kuat oleh kedua anggota pria itu. Pemimpin gerombolan merebut tombak yang digenggam bawahannya, bersama amarah yang menggelegak. Pemimpin itu mengangkat tombaknya, mengarahkan runcing tombak ke wajah perempuan ketakutan.

"A-apa yang kalian lakukan?" tanya Aru begitu kecil. "Ti-tidak. Saya tidak salah…." ia menangis. "Ja-jangan … jangan sakiti saya." Arunika merasa napasnya sesak. Ia semakin sulit menormalkan kondisi tersebut.

***

"Sayang. Aru. Kamu jangan buat ayah khawatir." Candra mengelus-elus pipi anaknya. Ia duduk di samping ranjang Arunika dengan perasaan kalut. Gumaman ketakutan dari Aru menyambutnya ke kamar ini.

Sesekali ia mencium dahi malang putrinya. Seketika hati Candra berdebar mengingat masa lalu yang menyedihkan.

'Kamu setiap malam seperti ini, sayang? Ayah yang tidak bisa menjagamu'. Benaknya kecewa.

Tangan lebih mungil dalam genggaman Candra bergerak kecil, menyadarkannya dari ingatan masa lalu. Candra mengamati wajah yang sedikit ada kemiripan dengan Dianti.

"Ayah?" Aru terkejut pria itu ada di sampingnya. Apa ayahnya akan menuruti keinginannya yang ia katakan tadi malam? Biasanya pria itu akan pergi sebelum Aru terbangun. "A-ayah tidak pergi lagi?"

Candra menggeleng bersamaan senyum haru. "Ayah akan menemanimu, sayang. Meskipun entah kapan ayah akan pergi tiba-tiba tanpa memberitahumu. Ayah harap Aru bisa mengerti."

"Sebenarnya apa yang ayah lakukan? Tidak bisakah ganti pekerjaan saja? Pilih yang dekat dengan Aru. Sebentar lagi Aru akan lulus, Aru tidak akan merepotkan ayah lagi."

"Aru, ayah sudah buatkan roti dan susu." Candra lagi-lagi mengabaikan perkataan putrinya.

"Ayah … aku tidak mau. Ayah selalu saja menghindar ketika aku membicarakannya. Aru hanya ingin tinggal bersama ayah, bukan seperti gadis kesepian dan selalu dihantui mimpi gila."

Pria di samping tertegun, bagaimana ia bisa tidak tahu kemalangan putrinya. Dan mimpi itu apakah salah satu tanda dari tubuh Aru yang menunjukkan perubahan-perubahan di waktu tertentu?

Teka-teki ini begitu rumit, Candra tidak bisa menemukan benang merah, ia tidak berharap meninggalkan gadis mungil itu sendirian, tetapi perjanjian sebelum Arunika lahir membawa ancaman yang akan berdampak besar.

***

"Ada apa, teman? Sedari tadi kau termenung?" Sarayu membuyarkan diamnya Arunika. "Mimpi burukmu datang lagi?" gadis ini tampak serius, ia mengasihani temannya–setiap saat diganggu sesuatu yang tak terlihat.

"Ayahku ada di rumah."

Raut Sarayu menjadi terkejut. Ia melepaskan sedotan yang ada di bibirnya. Bahkan Sarayu belum pernah melihat wajah ayah temannya, benar-benar ingin tahu, setidaknya sekali dalam satu kehidupan.

"Lalu kenapa kau jadi murung? Bukannya bagus paman Candra sudah pulang? Nikmati saja waktumu dengannya." Balas Sarayu.

"Aku membicarakan tentang kepindahan pekerjaannya, justru membuat kami saling diam. Aku tidak tahu apa yang salah dari ucapanku. Atau mungkin ayah tidak mau tinggal bersamaku, kalaupun iya aku juga tidak akan menyusahkannya. Aku gadis yang dewasa sekarang." Arunika mengabaikan minumannya.

"Paman Candra pasti memiliki alasannya sendiri, Ar. Mungkin dia tidak ingin kau lebih sulit lagi dari kesulitan sebelumnya." Sarayu mulai memahami kesenduan temannya pagi ini.

"Semoga saja ucapanmu benar." Arunika tersenyum tipis. "Ayo temani aku ke ruang balet." Ia menarik lengan temannya.

"Minumanmu?"

"Biarkan saja." Sepertinya hanya satu atau dua teguk Aru meminumnya.

Tempat pelarian dan pengalihan kesedihan Aru selalu saja di ruangan ini. Ia bisa menenangkan pikiran, ia bisa menari dan berputar dengan indahnya. Rambut sepunggung terurai selalu mengikuti gerakan tuannya. Arunika melepaskan kegundahan, melepaskan pikiran yang menyakitkan.

Dari luar jendela, sepasang mata pemuda menatap takjub akan keindahan. Sungguh malaikat di sana memberinya debaran-debaran aneh, Zay menyaksikan gerakan demi gerakan seorang gadis cantik. Tidak. Dia malaikat, lebih dari kecantikan manusia.

Zay semakin terpacu ingin mendekati gadis penari di sana, langkahnya perlahan mengarah ke pintu, tanpa melepaskan tatapan mata. Zay terus di desak keinginan agar bisa menyentuh dan mengusap air mata yang tak sengaja ia lihat di pipi gadis malaikat.

Seketika langkah pemuda itu terhenti kala Arunika jatuh dan terduduk di lantai, kepalanya menunduk diiringi napas tersengal. Arunika kembali bangkit setelah beberapa saat, ia kembali membuat tarian-tarian cantik.

Arunika menyadari kalau ia sedang diperhatikan orang lain. 'Sejak kapan dia di sana?' pikir Aru.

"Kenapa berhenti?" tanya Zay sembari mendekat. "Apa aku mengganggumu?"

Zay bersikap seperti saat mereka pertama bertemu, ia menyembunyikan kekaguman tadi, tidak mungkin seorang Zay mudah jatuh karena perempuan yang sangat jarang berbicara. Pemuda itu mengartikan demikian, kalau ia tak membuka pembicaraan terlebih dahulu, ia bisa menjamin Arunika tidak akan mengajaknya bicara.

"Tidak. Aku hanya lelah. Di mana Sarayu?" Aru tidak melihat temannya.

"Dia pergi sebentar, pacarnya ingin bertemu."

"Pacar? Sejak kapan dia memiliki pacar?" Arunika dibuat terkejut lagi.

Zay terkekeh. "Itu tidak benar, aku bercanda. Dia pergi sebentar, aku tidak tahu ke mana."

"Lalu kau?"

Laki-laki berambut sedikit pirang pun bertanya dengan raut wajahnya. "Kau tidak ikut bersama Sarayu?" tanya Aru sekali lagi. Sejujurnya ia cukup terkejut kedatangan Zay tanpa diminta.

"Tidak. Aku ingin melihat malaikat di sini." Sahut Zay. "Em, ma-maksudku aku penasaran cara orang menari balet."

"Ya sudah. Aku ganti pakaian dulu, tunggulah sebentar."

Zay menunggu, pandangannya tak lepas dari gadis yang menjauh di sana, sejak kapan ia merasa tertarik pada teman Sarayu? mungkin karena mereka berteman. Masih dalam sesuatu yang wajar.

"Kau menyukai temanku, ya?" Sarayu tiba-tiba menepuk bahu saudara sepupu sekaligus suara kencangnya.

hai. berikan dukungan buat cerita ini ya. vote yang banyak ya. terimakasih

Basreswaracreators' thoughts