webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Fantasi
Peringkat tidak cukup
25 Chs

Prologue : Angin, Hujan dan Mimpi Hari Itu - 02

"Hm..?" Aku terkejut. Padahal sekarang sudah pukul 6 lewat 40 menit, tapi sekolah masihlah sepi. Ditambah lagi, sekarang adalah hari senin, jadi seharusnya sekarang sudah banyak murid yang hadir ke sekolah untuk mengikuti upacara bendera.

Di kota ini, hanya terdapat 3 SMA. Salah satunya adalah sekolah ini. Dibanding dua lainnya, sekolah ini tidak terlalu populer. Jika diukur, menurutku sekolah ini mendapat nilai 7 dari 10 poin. Meskipun sekolah ini mendapat banyak tropi dari lomba dan sebagainya, tapi tetap kalah tenar dengan sekolah lainnya.

Jangan salah paham dulu, meskipun sekolah ini kalah tenar, tempat ini bukanlah sekolah tempat dimana murid terbuang dari dua sekolah lainnya. Sekolah ini luas, aku kurang tahu betapa lebarnya sekolah ini, tapi aku bisa yakinkan kalau sekolah ini paling besar dibandingkan dua lainnya. Fasilitasnya lengkap, mulai dari lapangan olahraga, lapangan upacara, gedung olahraga, kelas dua laintai, gedung serba guna, bahkan kolam renang juga ada. Tiap kelas dibagi menjadi beberapa bagian, A sampai E. Jika dikalikan 3, maka totalnya ada 15 kelas. Ruangan kelas ber-AC, dan terdapat banyak pohon di halaman sekolah. Berbeda dari sekolah di indonesia yang biasanya memakai sistem outdoor, sekolah ini malah memakai sistem indoor. Mungkin kekurangan sekolah ini adalah, tidak adanya kelas premium dan juga letak gerbang belakangnya yang lumayan jauh dari gedung kelas utama.

Juga, salah satu alasan mengapa aku memilih sekolah ini adalah letaknya yang lumayan dekat dengan rumahku, jadi aku tak perlu repot-repot memesan kendaraan atau menggunakkan kendaraan untuk bisa sampai ke sini.

Saat berjalan di lorong-lorong sekolah, aku melihat pasukan paskibra dan anggota osis di lapangan yang mulai bersiap untuk upacara bendera. Dulu aku pernah mengikuti osis, jadi aku tahu betul betapa manis-asam-pahitnya mempersiapkan upacara bendera. Apalagi dengan keadaan sekolah yang masih sepi begini.

"Aduh."

Bruk.

Aku menabrak sesuatu. Tabrakan itu membuatku dan orang yang kutabrak terjatuh bersama dengan barang bawaanya. "Ah! Maaf, aku tidak melihat." Kata seorang perempuan berambut berwarna oranye itu. Dia meminta maaf seakan dia yang salah. Di sebelahnya terdapat map merah yang nampak seperti buku absensi. Di map tersebut terdapat nama kelas yang nampaknya kukenal.

Kelas 10 E. Kebetulan sekali, Itu'kan kelasku.

"Tidak, akulah yang salah karena malah melamun sambil berjalan." Aku mencoba kembali bangun sambil membersihkan rok-ku lalu mengulurkan tanganku kepadanya.

"Aku juga salah karena sedikit mengantuk saat berjalan tadi. Jadi ini bukan sepenuhnya salah Sindy, kok." Dia tersenyum lembut sambil sedikit bergeleng lalu menyambut uluran tanganku. Namanya adalah Leila Fitriyani, dia adalah teman sekelasku. Warna rambutnya yang indah seperti bunga matahari, kulitnya yang putih seperti model serta parasnya yang menawan, lalu kebaikannya yang seperti dewi di sebuah dongeng membuatnya lumayan terkenal di kelas. Dia benar-benar memenuhi standar untuk bisa menjadi seorang model.

"Ngomong-ngomong, Leila, kenapa kau membawa map itu?" Tanyaku.

"Um, tadi aku baru saja dari kelas, tapi kelas masihlah sepi. Ditambah, belum ada yang mengambil buku absensi ini. Karena sebentar lagi upacara akan dimulai, akupun berinisiatif untuk mengambilnya sendiri." Balasnya dengan senyum.

Sebelumnya aku berpikir kalau itu lumayan mengagumkan, tapi setelah kupikir ulang, wajar saja jika dia melakukan itu. Lagipula saat upacara bendera akan terjadi absensi, jadi jika map itu tidak diambil, maka seluruh murid di kelas yang akan terkena imbasnya. Tapi tetap saja, mengambil insiatif itu suatu hal yang bagus.

"Kalau begitu, ayo pergi ke kelas bersama-sama." Ajakku sambil merapihkan posisi tas yang kubawa.

Leila mengangguk lalu menjawab "Iya, ayo pergi bersama-sama."

△▼△▼△▼△

Kelas kami berada di lantai 1 dan berada di ujung lorong. Posisinya tersebut mungkin akibat dari urutan abjad E yang berada dipaling belakang dibanding 4 huruf lainnya. Meskipun begitu, kelas ini berada di posisi paling teduh dan sejuk dibandingkan kelas lainnya. Bahkan saat ujan sekalipun koridor maupun lantainya tidaklah becek akibat cipratan hujan.

"Assalamualaikum." Ucapku dan Leila saat memasuki ruangan.

Padahal kami berdua tahu kalau tak ada orang di dalam kelas tapi kami tetap—

"Waalaikumsalam." Balas dua orang anak laki-laki secara bergantian.

Ah. Aku salah, ternyata memang ada orang di dalam.

"Halo Maulana." Sapa Leila melambaikan tangannya kearah laki-laki berambut cokelat dan gondrong seperti buah durian. Dia lalu berjalan menuju meja guru lalu menaruh absensi di meja.

"Haloo Leila, apa kabar?" Balas laki-laki itu dengan riang dan ceria. Dia adalah Zakaria Maulana. Rambutnya gondrong dan berwarna cokelat, seperti yang kukatakan sebelumnya, rambutnya benar benar mirip seperti buah durian. Kulitnya kecokelatan dan wajahnya terbilang cukup tampan dibanding murid lainnya, dialah yang biasanya berperan sebagai moodbooster di kelas.

"Oi Zaki, duduklah! Kau ini, padahal masih pagi, tapi sudah berisik saja." Eluh anak laki-laki yang duduk di bangku yang terletak di depan Zakaria. Dia adalah Dimo Ramadhan, di kelas, dialah yang paling tenang, dengan kata lain, dia benar-benar kebalikannya Zakaria. Rambutnya yang gondrong berwarna hitam dan ada beberapa helai yang mencuat dari kepalanya. Menurut yang kubaca di internet, rambut itu disebut Ahoge. Kenapa di sebut begitu? Karena posisinya yang 'bodoh' malah mengarah ke atas, tidak seperti rambut yang lain. Parasnya biasa-biasa saja, mungkin itu dikarenakan dia yang lumayan jarang tersenyum. Dia juga tak meninggalkan kesan apapun bagiku. Kami juga jarang mengobrol. Satu-satunya orang yang dekat dengannya adalah Zakaria. Bahkan dia memanggil Zakaria dengan sebutan akrab, yaitu Zaki.

"Aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, apa kau sudah mengerjakan PR Bahasa Inggris kemarin?" Tanya Leila sambil berjalan menuju ke mejanya. Setelah sampai, dia menaruh tasnya di atas meja dan menarik mundur kursinya lalu duduk. Tempat duduk Leila tak begitu jauh dengan tempat duduk Dimo dan Zakaria. Dia duduk di meja kedua dari urutan paling kanan.

Oh iya, aku terlalu sibuk memperhatikan mereka sampai hampir lupa untuk duduk.

Di tiap kelas, terdapat empat baris meja dan tiap baris berisikan 6 buah meja. Tempat duduk ku berada satu baris di depan barisan paling belakang dan lokasinya di dekat jendela.

"Tumben kau datang bersama dengan Leila." Tanya Dimo yang menoleh ke belakang—ke arahku. Tumben sekali. Biasanya dia takkan mengajak ngobrol siapapun bila sepagi ini. Di pertanyaannya sama sekali tak ada nada tertarik. Mungkin sedikit. Tapi dia nampaknya takkan begitu peduli jika aku tak menjawabnya.

"Kami hanya kebetulan bertemu kok. Ke-be-tu-lan." Balasku sambil menaruh tas di kursi lalu duduk.

"Hm..." Balasnya datar lalu kembali menghadap ke depan.

△▼△▼△▼△

Hari berjalan dengan cepat. Tak ada satupun kejadian penting terjadi. Saat kusadari, hari telah berakhir.

Malam harinya, aku membuka smartphoneku. Sekarang sudah hampir tengah malam. Sebenarnya aku tidak ingin begadang, tapi ada satu hal yang harus kupastikan.

Tiap peserta yang mengikuti turnamen Start Point mengetahui hal ini, yaitu mereka akan mendapatkan pesan tepat tiga hari sebelum turnamen diadakan. Pesan tersebut adalah daftar nama peserta yang akan mengikuti turnamen ini. Tentu saja, ini tidaklah berguna jika kau tak mengenali satupun orang yang ada di daftar, tapi bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika ada seseorang yang kau kenal, atau bahkan mungkin satu sekolah denganmu, mengikuti turnamen ini.

Tentu saja ini akan menguntungkan. Jika aku tahu ada orang yang kukenal mengikuti turnamen ini, aku bisa menginvestigasi atau mengukur kemampuan bermain gamenya. Atau bahkan aku bisa mengajaknya bekerja sama denganku.

Tapi, menunggu rasanya lumayan membosankan. Meski aku sudah menyeduh dan meminum kopi, rasa kantuk masih tersisa. Aku bahkan sekali atau dua kali hampir tertidur karena bosan.

Tining

Smartphone-ku berdering. Satu suara yang begitu simpel itu langsung membangunkanku dari rasa kantukku karena menunggu. Dengan sigap, aku langsung membuka kunci layar smartphone-ku dan membuka pesan yang masuk. Benar, ternyata pesan yang masuk berasal dari Bum Corp.

Sekarang aku tinggal membukanya dan memastikan siapa saja yang berhasil menjadi peserta. Kalau tidak salah, total peserta yang ada adalah sembilan orang.

Satu, dua....

Tunggu dulu. Ada yang aneh.

Kenapa hanya ada empat nama di sini?

Tidak, ini bukan karena aku mengantuk atau semacamnya. Daftar nama yang ada hanyalah empat orang! Ada apa ini? Apa ada semacam kesalahan?

Mungkin ada suatu kesalahan sehingga cuma ada empat nama di daftar ini. Mungkin saja mereka akan mengirim sisanya besok ataupun lusa. Yang lebih penting, aku harus fokus untuk memastikan siapa saja yang ada di daftar ini.

Perlahan tapi pasti, aku mulai membaca satu-persatu nama yang tercantum di pesan itu.

Nama pertama, aku tidak kenal. Dari namanya, nampaknya dia laki-laki.

Nama kedua, aku juga tidak mengenalnya. Dia memiliki nama yang aneh sampai-sampai aku agak kesulitan mengejanya.

Apalagi yang ke-tiga. Aku sama sekali tidak mengenalnya.

Tapi yang ke-empat—

Leila Fitriyani.

Tunggu...

Aku tidak salah membaca kan? Leila ini.... Leila yang itu?! Aku benar-benar tidak menduga ini. Tidak, sejak awal aku sama sekali tak pernah berpikir kalau dia akan ada dalam daftar.

Mungkin.... mungkin saja, aku bisa mengajaknya bekerja sama. Iya, lagipula kami ini'kan teman. Aku mungkin bisa mengajaknya bekerja sama dan membagi hadiah turnamennya 50:50.

Tapi....

Entah kenapa aku merasa agak kecewa.

Di daftar ini.... Aku sama sekali tidak melihat ada satupun orang yang bernama Rama...

Aku menggelengkan kepalaku lalu menghela napas.

"Sudahlah. Yang sudah lewat biarkan saja. Pokoknya, besok aku harus sesegera mungkin menemui Leila." Dengan lemasnya aku menjatuhkan tubuhku. Berbaring di atas ranjang empuk dan hangat. Sambil menatap plafon kamarku yang berwarna putih dan kosong, aku mulai larut dalam lamunanku.

Andai saja....

Andaikan saja, aku bertemu dengan Rama di pertandingan ini. Aku harus bilang apa ya...

△▼△▼△▼△

Keesokan harinya, sepulang sekolah.

Langit kemerahan terpampang luas saat aku menoleh ke atas. Sedikitnya awan membuat langit nampak cerah dari biasanya. Cahaya keemasan mentari yang mulai tenggelam menyilaukan mataku. Burung-burung berterbangan langit yang luas. Suara langkah kaki murid-murid yang berjalan keluar dari gerbang sekolah, serta suara kendaraan motor yang bising memekakkan telingaku.

Leila berdiri di depan gerbang sekolah menungguku.

Sebelumnya saat masih berada di kelas, aku meminta Leila untuk menungguku sehabis pulang. Itu karena aku ingin mengajaknya berbicara perihal keikutsertaannya dalam turnamen Start Point.

Bila kami bekerja sama, kemungkinan menang kami berdua akan semakin besar.

Dan itu keuntungan besar bagi kami berdua.

"Leila—"

Aku terhenti. Bukan karena aku batal mengajaknya bekerja sama, tapi karena pemandangan yang kulihat saat ini.

Sebelum aku sempat memanggil namanya, tiba-tiba sebuah telepon berdering dari smartphone nya. Dirinya sempat terkejut saat melihat nama yang menelponnya, namun dia tak menunjukkan adanya perasaan tidak nyaman dan langsung menjawabnya.

Aku tidak bermaksud menguping percakapannya, tapi entah mengapa aku malah terdiam di sini.

Aku tak bisa mendengar apa yang dia bicarakan, tapi aku bisa melihat tiap ekspresi yang dikeluarkannya.

Pada awalnya dia nampak biasa saja, bahkan mungkin nampak senang mendapatkan panggilan telepon itu. Namun, itu hanya bertahan sesaat. Wajah cerianya memudar. Senyumnya sirna bersamaan dengan wajahnya yang memucat, matanya terbelalak saat mendengar tiap kata yang keluar dari teleponnya. Tak lama, dia langsung menutup teleponnya lalu berlari dengan tergesa-gesa melewati kerumunan murid yang ada.

Bahkan dia tak meluangkan waktu untuk berbicara padaku.

Sebenarnya kenapa dia tergesa-gesa seperti itu? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?

Aku menggelengkan kepalaku dan menyingkirkan semua kemungkinan negatif yang sempat terpikirkan olehku. Entah apa yang terjadi, namun apapun itu, aku berharap dia akan baik-baik saja.

△▼△▼△▼△

Tanpa terasa, malampun tiba. Seperti kemarin malam, aku mencoba menunggu datangnya pesan mengenai sisa daftar peserta turnamen yang ada.

Tapi pesan itu tak kunjung datang.

"..."

Aku terdiam di kasurku. Berbaring seperti ini rasanya mulai membuatku merasa ngantuk. Lagipula, kenapa mereka hanya mengirim setengah dari jumlah peserta yang ada? Seharusnya mereka langsung mengirim seluruh daftar yang ada.

Aku kembali membuka pesan itu dan mencoba melihat ulang keseluruhan pesan. Ternyata benar, hanya ada empat nama.

Nama terakhir adalah Leila, dan setelah itu kosong. Tidak, setelah aku melakukan scrolling ke bawah, ternyata terdapat sebuah angka dan dua huruf.

Angka lima dan dua huruf di belakangnya adalah....

"Z dan a." Gumamku.

Tunggu sebentar, bukankan ini seperti pesannya terpotong? Seakan pesannya sudah terkirim tapi terjadi suatu kesalahan sehingga pesan yang terkirim hanya setengahnya.

Tining

Ah! Kebetulan sekali. Aku mendapat pesan dari Bum Corp. yang berisikan permintaan maaf mereka atas kesalahan ini. Di pesan ini juga mereka mengatakan kalau mereka akan mengirim daftar sisa peserta yang ada besok. Tapi mereka tak memberitahu tepatnya jam berapa.

Ya ampun.

Ternyata perusahan sebesar ini juga bisa melakukan kesalahan seperti ini ya....?

Pikiranku kembali kosong.

Pada akhirnya aku tak bisa mengajak Leila bekerja sama.

Bayang-bayang wajah Leila terbayang dalam pikiranku. Wajahnya—ekspresi yang dikeluarkannya sore tadi kembali dilukiskan dalam kanfas imajinasiku.

"Ini pertama kalinya, aku melihat Leila seperti itu...."

Bagiku—Bagi kebanyakan orang yang mengenal Leila, dirinya adalah sosok perempuan yang sempurna. Dia elok, cantik, rupawan, periang, baik dan ramah. Sosok yang benar-benar diidamkan bagi kaum hawa maupun kaum adam.

Persona yang indah nan sempurna. Itulah kesan kebanyakan orang terhadapnya.

Melihatnya jatuh dalam keputusasaan seperti itu, sungguh membuat perasaanku tidak nyaman.

Seakan hal buruk akan terjadi, bukan hanya padanya, namun pada banyak orang.

△▼△▼△▼△

Keesokan harinya.

Seharusnya aku sudah menyadari ini sejak kemarin sore. Namun aku malah memilih untuk diam.

Telepon kemarin sore. Dan tingkah Leila setelah menerima telepon itu merupakan suatu hal yang tak seharusnya kuabaikan begitu saja.

Hari ini, Leila tidak masuk sekolah.

Alasannya adalah, adik perempuannya yang mengalami kecelakaan sesaat sepulang sekolah kemarin sore. Dia tak sengaja tertabrak mobil saat sedang mengendarai sepedahnya menuju ke rumah.

Seisi kelas begitu sunyi ketika guru yang mengajar di jam pertama mengumumkan hal ini. Lebih tepatnya sih, semua orang di kelas ini benar-benar tak menduga hal seburuk ini akan terjadi kepada orang sebaik Leila.

Saat ini, adiknya sedang dalam kondisi rawat inap di rumah sakit. Kecelakaan itu memang tak merenggut nyawanya, namun lukanya cukup parah sehingga membuatnya harus menetap di rumah sakit selama beberapa minggu.

Leila mungkin takkan bisa hadir di sekolah untuk beberapa hari ke depan. Bahkan dia mungkin akan mengundurkan diri dari turnamen. Dan itu juga berarti aku takkan bisa mengajaknya bekerja sama.

Peserta yang tidak bisa hadir atau mengundurkan diri dari turnamen akan digantikan oleh pemain lain. Ini pengetahuan umum, karena sejak awal pengetahuan ini tertulis di halaman web Start Point ketika peserta mendaftarkan diri mereka.

Oleh karena itu, takkan aneh apabila nantinya masih terdapat sembilan peserta yang bertanding selama turnamen nanti.

Tapi itu lebih baik. Menurutku, sebaiknya dia tetap berada di sisi adiknya daripada malah memaksakan diri pergi ikut serta dalam turnamen ini.

Halo lagi, Izul/Izuru di sini.

Di chapter kali ini kita tahu bahwa Leila adalah salah satu peserta yang terpilih untuk bisa mengikuti turnamen. Bagi Sindy, ini adalah keuntungan besar, karena dengan bekerja sama dengan peserta lain, semakin besar kemungkinan untuk memenangkan turnamen. Apalagi besarnya hadiah memungkinkan mereka untuk membagi hadiahnya sama rata.

Sayangnya, karena sebuah musibah, Leila terpaksa mengundurkan diri dari turnamen--sebenarnya itu bukan cara yang benar untuk mengatakannya, satu-satunya syarat untuk mengundurkan diri dari turnamen adalah hanya dengan tidak hadir di hari yang telah ditentukan. Bisa sih menghubungi pihak Bum Corp. lalu memberitahu ketidak hadiranmu, tetapi pada akhirnya kedua pilihan tersebut berujung pada ujung yang sama sehingga tidak terlalu penting mana pilihan yang dipilih.

Lagi, seperti apa yang dipikirkan oleh Sindy, keputusan bijak saat ini bagi Leila adalah dengan mundur dan memilih untuk berada di sisi adiknya.

Which is unfortunate, but there's nothing she can do. Dengan begini Sindy kehilangan salah satu pintu gerbang menuju kemenangan, untungnya pesan yang diterima olehnya hanya setengah dan setengahnya lagi akan segera dikirimkan. Jadi masih ada kesempatan bagi Sindy untuk mencari rekan. Bila tidak ada, maka satu-satunya pilihan adalah dengan mengikuti turnamen ini sendirian.

Oke, itu aja yang akan gw bahas kali ini. See ya next chapter :)

IzulIzurucreators' thoughts