webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Fantasi
Peringkat tidak cukup
25 Chs

Prologue : Angin, Hujan dan Mimpi Hari Itu - 01

Ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Dia duduk tenang di sebelahku. Di hadapannya, terdapat sebuah layar monitor tabung yang nampak masihlah baru tanpa debu sedikitpun. Tangannya—Jarinya dengan cekatan menggerakkan mouse dan memainkan keyboard. Tatapannya yang fokus ke arah layar seakan dia telah tenggelam di dalamnya. Semua yang dilakukannya membuatku sempat berpikir untuk memanggilnya untuk memastikan apakah dia masih bersamaku.

Dia tak terkalahkan. Itulah anggapanku terhadapnya.

Anak itu memainkan permainan seakan bagian dari tubuhnya. Padahal dia baru pertama kali memainkan permainan ini, tapi dia sudah menjadi seahli ini.

Aku menyaksikannya dengan seksama. Bukan karena aku ingin, tapi karena aku telah kalah di permainan tersebut. Dia seorang anak berambut gondrong, tak terlalu tinggi juga tak terlalu pendek. Wajahnya yang pas-pasan. Sama sekali tak ada nilai plus darinya. Tapi ada dua hal yang menarik perhatianku, bentuk rambutnya yang unik.

Itu bukanlah sebuah kiasan. Ini pertama kalinya bagiku melihat seseorang dengan poni rambut unik sepertinya.

Dan satu hal lainnya adalah; bekas luka sobekan di dahi kirinya yang terlukis dari pucuk akar rambutnya hingga hamper menyentuh alis kirinya.

Tiba tiba,

"Aaahh, aku kalah!" Eluhnya sambil meregangkan tubuh di kursi. Sontak itu membuatku terkejut. Aku bahkan hampir melompat dari kursiku karena saking terkejutnya. "Maaf, ternyata aku sendiri takkan sanggup mengalahkan mereka sekaligus." Dia menengok kearahku dengan senyum kecut sambil menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong.

Bohong.

Nyatanya, dia bisa saja mengalahkan mereka berdua jika saja dia tak memikirkan perasaanku. Mata seorang amatir sepertiku saja bisa langsung memahaminya dengan sekali pandang. Dia memilih untuk mengalah demi diriku daripada memenangkannya sendiri.

Ditambah lagi...

Senyum kecutnya membuatku merasa bersalah.

"Seharusnya aku yang meminta maaf. Karena karakterku kalah di awal-awal permainan, kau jadi harus melawan mereka sendirian. Mereka mungkin benar, aku seharusnya tidak bermain..." Balasku sambil memasang wajah tersenyum dan sedikit menggeleng.

Mereka yang kumaksud adalah sekumpulan anak laki-laki yang sebelumnya berusaha membuli dan mengusirku karena aku begitu payah dalam memainkan permainan ini. Apalagi permainan online seperti ini.

"Seharusnya anak perempuan tidak bermain game seperti ini. Main yang lain saja sana! Dasar payah! Level dan kemampuanmu bagaikan bumi dan langit!"

Kata mereka.

Awalnya mereka menyambutku dengan hangat, tetapi setelah mengetahui kemampuanku, tingkah mereka langsung berubah seratus delapan puluh derajat.

Mungkin mereka benar. Mungkin aku memang tak seharusnya ada di sini.

Itulah yang kupikirkan, sampai dia tiba-tiba datang dan menantang mereka bertiga dengan sebuah taruhan.

Aku tak tahu dia datang dari mana dan mengapa. Tapi tiba-tiba dia membelaku begitu saja. Seorang anak laki-laki aneh yang sekarang ada tepat di hadapanku.

"Sekarang kau sudah melihat bukan, kalau aku payah dalam bermain game. Wajar saja mereka mencoba mengusirku." Aku membuang muka darinya. Ya, aku harus segera pergi dari sini. Aku sudah mengecewakannya, padahal dia sudah membelaku. Tapi aku sama sekali tak bisa membalas perbuatan baiknya.

"Ya lalu?" Katanya. Dia mengatakan itu dengan santainya seakan dia sama sekali tak memikirkan apa yang kuucapkan barusan.

"Lalu? Apa kau tak mengerti? Orang sepertiku hanyalah beban bagi kalian semua..." Tanyaku balik, kebingungan.

"Maksudku, ini hanyalah game. Kenapa pula aku harus memarahimu atau semacamnya? Lagipula kau berhasil mengalahkan salah satu dari mereka bukan!? Dengan begini bukankah kita memenangkan pertaruhan ini?

Dengar, setiap orang punya waktu masing-masing untuk berkembang. Kau tak mungkin bisa berkembang hanya dalam kurun waktu satu hari saja." Dia tersenyum balik setelah mengatakan hal yang tak bisa kubantah itu. Kata-katanya barusan terdengar cukup berat untuk anak seusianya. Yah, aku juga tak berhak berkata seperti itu, karena menurutku kami berdua sebaya.

Tidak, itu kurang benar.

Kata-kata itu hanya terlontar dari pikirannya begitu saja. Kurasa dia tak benar-benar paham dengan seluruh hal yang dia ungkapkan barusan.

Aku tertawa kecil. Entah mengapa memikirkan itu cukup untuk memancing gelak tawa dariku.

"Eeeh... Kenapa kau malah tertawa?" Tanyanya dengan tatapan aneh kepadaku. Pundaknya agak terangkat seakan dia merasa tak nyaman melihat tawaku.

"Tidak, maaf. Bukan apa-apa.

Kau benar, kita seharusnya senang karena kita berhasil menang." Balasku. Dia malah menatapku dengan penuh penasaran. Apakah senyum yang baru saja kukeluarkan membuatnya curiga dengan apa yang kupikirkan?

"Jangan mengalihkan pembicaraan,..! Itu malah membuatku semakin penasa—" Dia terhenti. Entah mengapa dia malah menarik kata-katanya saat melihat kearah jam dinding yang ada di belakangku. "Sudah jam segini ya..." Gerutunya yang hampir tak bisa kudengar. Aku menengok kearah jam. Jarum jam sudah menunjuk kearah jam setengah tiga siang. Itu artinya sudah satu setengah jam kami bermain di sini.

Dengan cekatan, dia langsung log out dari game lalu mematikan komputer. "Maaf, ternyata aku sudah di sini lebih dari dua jam. Aku harus segera pulang atau kakakku dan yang lainnya akan khawatir padaku." Dia turun dari kursinya lalu merapihkan pakaiannya.

"Kalau begitu, sampai jumpa." Dengan sebuah lambaian lembut, dia berjalan pergi meninggalkanku.

Aku membeku.

Aku bahkan tak sanggup membalas lambaiannya.

Tunggu dulu...

Apa sudah begitu saja?

Apa hanya sebatas ini saja percakapan antara kami berdua?

Tidak.... Padahal aku baru saja bertemu denganmu... Padahal aku baru saja mengenalmu...

Apa kita takkan pernah bertemu lagi?

Aku ingin berteman denganmu, aku ingin menghabiskan banyak waktu bermain bersamamu.

Kumohon jangan pergi. Masih ada hal lain yang ingin kubicarakan denganmu.

Masih ada satu hal. Satu hal yang belum kutahu.

Iya, hal itu sangatlah penting. Satu hal yang akan membuat keberadaannya tetap kuingat.

....

Aku berusaha berlari mengejarnya.

Dia masih ada disana. Dia masih belum pergi. Aku masih sempat mengejarnya. Aku hanya harus meraihnya lalu...—

Ketemu!

Sebelum membuka pintu keluar, aku menangkap tangannya. Dia menengok kebelakang. Dia menatapku bingung.

Mengatur napasku yang sesak, aku menenangkan diriku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu bertanya kepadanya.

"Boleh aku tahu, siapa namamu?" Tanyaku.

Anak laki-laki itu terdiam sebentar, dia pejamkan matanya sesaat lalu tersenyum lembut.

Dengan senyuman lembut itu bibirnya bergerak, mengukir namanya.

Dia angkat wajahnya lalu bertanya balik kepadaku "Kalau begitu, apa aku juga boleh menanyakan namamu?" Aku terdiam.

Aku baru saja sadar kalau aku juga belum memberitahunya namaku. Bodohnya aku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku lalu mengangkat tangan kananku "Sindy Adhelani. Panggil saja aku Sindy."

"Sindy ya, nama yang bagus." Dia menjabat tanganku sambil mengucapkan namaku. Ini pertama kalinya ada yang memuji namaku. Padahal menurutku, ini sungguh nama yang biasa saja. Tidak, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu.

Aku mencoba membalas senyumannya lalu menggenggam jabat tangannya dengan erat.

"Ka, kalau begitu Rama. Senang berkenalan denganmu."

△▼△▼△▼△

Suara derasnya air hujan memekakkan telinga. Udara yang dingin membuatku bisa melihat embun yang tercipta saat kami berdua bernapas. Hujan yang telah terjadi sejak pagi dini hari ini nampakkan takkan kunjung reda. Bahkan mungkin bisa menjadi lebih deras lagi.

Aku menutup payungku dan menaruhnya di sebelahku. Aku menengok kearahnya, dia nampak kedinginan dengan sekujur tubuhnya yang basah kuyup.

Dinginnya hari ini membuatku berpikir kalau dibiarkan begitu saja, dia bisa mati kedinginan. Kulepas jaketku "Kalau kau kedinginan, kau boleh memakai jaket—"

"Tidak, tidak perlu...."

Aku tertegun, tidak biasanya Rama bertingkah seperti ini. Kami bertemu saat aku sedang pergi menuju ke Net Cafe. Saat itu dia sedang berjalan sendirian di derasnya hujan seperti tak tahu ingin pergi ke mana. Tanpa memakai alas kaki maupun payung, dia terus berjalan dan berjalan. Aku mencoba menghangatkannya dengan jaket milikku, namun saat aku hendak memakaikannya jaket....

"Rama... Ka, kalau ada masalah, tolong ceritakan padaku.... mungkin aku bisa membantumu. Kita ini teman, bukan? Kau tidak perlu memendam masalahmu sendirian." Aku mencoba menghiburnya, tapi lebih dari itu, aku benar-benar ingin membantunya. Dia terus menunduk menatapi tiap air hujan yang turun dengan tatapan kosongnya. Wajahnya nampak agak pucat dan rambutnya acak-acakan.

Pakaian yang ia kenakan begitu aku kenal. Seragam itu, kalau tidak salah itu seragam sekolah SMP yang berasal dari Distrik Empat. Namun, seragam itu nampak kucel dan kotor seperti telah dipakai selama berhari-hari.

Perlahan, dia mulai mengangkat wajahnya, mulutnya yang nampak lemas mulai terbuka "Sebenarnya.... Kemarin..."

Kemarin? Tidak, kurasa bukan kemarin. Maksud darinya bukanlah hari, namun sebuah kejadian. Dilihat dari penampilannya, Rama mungkin sudah memakai seragam ini selama satu atua dua minggu.

"Maaf..." Rama berdiri lalu menengok kearahku. Dia tersenyum. Senyumannya bukanlah senyuman biasa, namun sebuah senyum penyesalan. "....Kurasa ini adalah masalah yang harus kuhadapi sendiri. Aku tidak bisa melibatkanmu...." Dia menarik napas dalam dalam lalu berkata "Terima kasih, kita mungkin takkan bisa bertemu untuk waktu yang lama, sepertinya ini adalah perpisahan...."

"Tunggu, eh..? Rama?"

Aku mencoba menangkap lengannya, tetapi tanpa menunggu reaksiku, dia gerakkan tubuhnya.

Rama pergi meninggalkanku. Sosoknya berjalan memasuki hujan tanpa memikirkan kondisi fisiknya sama sekali.

Ini terakhir kalinya kita akan bertemu? Mengapa?

Tu, tunggu sebentar, aku tidak mengerti. Kenapa kita harus berpisah?

Rama? Tunggu... Kumohon jawab...

Lenganku coba meraihnya, tapi hanya angin kosong yang sanggup diraih oleh kedua tanganku.

Aku ingin memanggilnya. Ingin menghentikannya.

Aku tidak ingin berpisah dengannya.

Namun entah mengapa....

Suara ini sama sekali tidak keluar.

△▼△▼△▼△

"Hm...?"

Sesuatu berbunyi. Bunyi suara yang hampir sering membuatku kesal di pagi hari.

Riiing..... riiiing....

Setebal apapun bantal yang kupakai untuk menutup telingaku, suara itu takkan hilang ataupun berhenti. "Baiklah, baiklah, aku mengerti." Dengan lemasnya aku mengusap mataku. Dalam keadaan setengah sadar, aku mencoba meraih smartphone-ku dengan tangan kananku lalu mematikan alarm. Sebenarnya aku masih ingin tidur lebih lama lagi, tapi terlambat ke sekolah bisa membuatku repot.

Tapi sekarang masih pukul setengah empat pagi. Mungkin takkan apa-apa jika aku tidur sedikit lebih lama lagi.

Aku kembali menjatuhkan tubuhku ke benda dengan daya gravitasi yang paling berat yang pernah ada, yaitu kasur. Kasur yang empuk dan juga hangat membuatku tak butuh waktu lama untuk kembali terti—

Riiiing...Riiiiing.....

Suara alarm langsung menyengat ke telingaku. Seketika membuatku langsung terbangun sepenuhnya. "Iya, iya." Aku benar-benar lupa kalau aku memasang alarm tiap lima menit sekali dari pukul setengah empat pagi hingga pukul lima pagi.

Aku telah kembali ke kamarku dari mengusap wajahku dengan air. Kamarku itu, bisa dibilang biasa saja. Yah, kurasa itu kurang tepat untuk mendeskripsikannya, Aku memiliki sebuah lemari yang penuh dengan buku-buku novel. Aku juga tak terlalu suka dengan boneka atau semacamnya, lebih tepatnya sih hanya satu boneka yang kusuka, boneka kucing.

Meskipun aku suka bermain game, tapi aku termasuk pemain free to play. Aku tidak terlalu suka menghamburkan uangku untuk item game atau semacamnya. Aku lebih suka mendapatkan item-item tersebut dengan cara farming atau hadiah event.

Aku teringat kembali dengan mimpi itu, daripada dibilang mimpi, lebih tepatnya ini adalah ingatan yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Suatu hari, aku bertemu dengan Rama, tapi entah mengapa saat itu dia nampak pucat dan lesu. Badannya juga basah kuyup karena kehujanan. Dia juga nampak agak kurus seperti kurang makan.

Aku bertanya "Apa yang terjadi?" Tapi dia tidak menjawab. Dia terlihat begitu kesakitan, maksudku bukan fisiknya, namun mentalnya. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Hari itu adalah beberapa hari setelah kenaikan kelas satu SMP, dengan kata lain dua tahun yang lalu. Sekarang aku sudah kelas satu SMA, dan kejadian itu sudah lama sekali berlalu.

Aku tidak pernah tahu nama lengkap Rama, atau bahkan mencoba bertanya kepadanya. Aku sendiri tidak mengerti mengapa, mungkin karena aku terlalu terlelap di dalam hari-hari itu sampai tidak memperdulikan hal-hal kecil seperti itu. Bagi diriku yang dulu, mengenalnya saja sudah lebih dari cukup.

Bahkan sekarangpun.... Meskipun wajahnya sudah hampir tak kuingat lagi, kejadian itu selalu terukir dipikiranku.

Sebenarnya, aku masih berharap kalau aku bisa bertemu lagi dengannya, meski hanya sekali saja.

Ah, gawat, aku lupa satu hal. Sekarang sudah pukul 4 pagi, aku harus segera mandi, shalat subuh, lalu bersiap untuk ke sekolah.

△▼△▼△▼△

Berjalan menuruni tangga, aku memasuki ruang tamu. Sekarang sudah pukul setengah tujuh pagi. Aku juga sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

"Entah mengapa rasanya ada yang kulupakan. Tas sudah, sepatu sudah, apa ada yang kulupakan ya...." Disaat aku sedang memeriksa semua perlengkapanku satu persatu. Aku tak sengaja menengok kearah cermin di tembok, baru kusadari apa yang kulupakan.

"Dasi..!"

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menaiki tangga dan bergegas memasuki kamarku. "Dengan begini aku siap berangkat." Setelah selesai memakai dasi, aku hendak akan berjalan keluar dari kamar, tapi sesuatu menarik perhatianku.

Kalender di sebelah pintu kamarku. Aku melingkari empat Juli dengan sepidol merah, lebih tepatnya empat hari lagi, akan ada sebuah turnamen game yang harus kuhadiri. Tidak, kurang cocok menyebutnya turnamen, lebih ke sebuah event pembuka.

Start Point. Judul dari turnamen—event game yang akan kuhadiri. Sebuah turnamen beranggotakan sembilan orang pemain. Start Point adalah sebuah game online berbasis MMORPG terobosan baru oleh Bum Corp. game ini begitu unik, kenapa begitu? Sesuai trailer game yang tersebar di internet, permainan ini mengambil latar di dunia nyata namun tanpa menyentuh dunia nyata itu sendiri. Sang pemain akan melawan monster-monster yang tersebar di seluruh dunia. Yah, mustahil juga begitu, bisa dibilang monster akan ter-spawn dalam radius dua ratus meter dimana sang pemain berada. Dengan kata lain, jika pemain tersebar di seluruh dunia, maka monster juga akan tersebar di seluruh dunia.

Pemain akan bermula dari level satu, lalu akan berkembang hingga level lima puluh, yaitu level maksimal. Pemain juga bisa melakukan PvP, atau melakukan side quest lainnya.

Selain itu, terdapat juga unsur fantasi di permainan ini. Menurut apa yang tertulis pada situs resmi Start Point, latar dunia nyata di Start Point akan dipadukan dengan dunia fantasi tanpa mengurangi unsur modern yang ada.

Dengan begitu akan tercipta sebuah dunia dimana era modern dan era fantasi bertubrukan satu sama lain tanpa mengurangi aspeknya. Ini adalah dunia dimana era modern bercampur dengan mitos, cerita rakyat dan legenda.

Sungguh permainan yang luar biasa. Bahkan hampir terdengar mustahil.

Orang yang mempelopori permainan ini adalah Bum Rahmatullah, penemu yang berada dibalik Bum Corp.

Perusahaan itu sendiri sebelumnya sudah terkenal dengan menciptakan permainan-permainan terobosan baru yang belum pernah ada sebelumnya, namun yang satu ini benar-benar berbeda dibanding yang lainnya.

Aku teringat sesuatu, sesuatu yang harus kujaga sampai 4 juli tiba. Aku berbalik lalu menengok ke arah sebuah kartu pengenal. Itu adalah kartu pengenal yang menunjukkan kalau orang itu adalah orang yang terpilih untuk mengikuti turnamen.

Saat mereka mengumumkan kalau mereka akan mengadakan turnamen percobaan yang berhadiakan Login Device dan total uang sekitar enam puluh Juta rupiah, ada banyak sekali orang yang berebut untuk mendaftarkan diri. Akupun salah satu dari mereka, entah keberuntungan macam apa yang menghampiriku sehingga aku terpilih menjadi salah satu peserta.

Pendaftaran ini terbatas hanya pada negara ini saja, setelah kupikir kurasa tidaklah mustahil bila aku berhasil terpilih.

Ngomong-ngomong, Login Device adalah, sesuai namanya, itu adalah alat khusus yang bisa membuat sang pemain login kedalam permainan Start Point. Juga, karena mereka masih ingin merahasiakan keseluruhan gameplay dari Start Point, merekapun pada akhirnya memutuskan kalau turnamen ini adalah turnamen tertutup dan takkan disiarkan online.

Baiklah, cukup melamunnya, aku harus pergi ke sekolah.

Setelah mengalungkan tanda pengenal itu, dan menutupinya di balik kemejaku, aku pergi menuju ke pintu depan. Kupakai sepatuku dan tasku lalu berjalan menuju pintu. Sebelum aku membuka pintu rumah, aku harus memberi tahu ayah dan ibu dulu.

"Ayah, Ibu, aku berangkat dulu ya! Assalamualaikum."

Tak ada yang menjawab.

Oh iya, aku benar-benar lupa. Ayah dan ibuku sudah pergi bekerja terlebih dahulu jadi aku sendirian di rumah. "Ya sudah lah." Aku membuka pintu dan berjalan keluar. Tentu saja aku mengunci pintu sebelum aku benar-benar berangkat.

Halo semuanya, Izul/Izuru di sini.

Ini adalah proyek novel pertama gw wkwkwkwkwk. Sebenarnya gw udah nulis draft novel ini sejak empat atau tiga tahun yang lalu, tapi baru sempat direalisasikan sekarang.

Untuk prolog, kita akan mengikuti sudut pandang Sindy Adhelani, bukan Dimo terlepas dari kenyataan kalau Dimo adalah protagonist di cerita ini. Bisa dibilang, Sindy adalah overall deutragonist di cerita ini. Karena itulah gw ngerasa untuk prolog ini akan lebih cocok apabila kita mengikuti sudut pandangnya terlebih dahulu.

Kita akan mulai mengikuti sudut pandang Dimo mulai dari chapter satu. Jadi mohon pengertiannya :)

Oke, itu aja yang mau gw omongin kali ini, see ya in the next chapter ^^/

IzulIzurucreators' thoughts