webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Fantasi
Peringkat tidak cukup
25 Chs

Interlude 05 : Leila Fitriyani - 01

Aroma rumput malam yang lembab dengan semerbaknya terhirup. Udara malam yang meniup rambut hijaunya begitu sejuk dan membawa rasa kantuk.

Suara aliran sungai, jangkrik, katak dan angin menyatu menjadi satu sampai-sampai membuat Leila hampir tak bisa membedakannya.

Pantulan cahaya bulan di permukaan air sungai begitu indah. Cahayanya menyilaukan di malam yang gelap, untuk sesaat Leila salah kira kalau pantulan itu merupakan rembulan yang asli.

Kunang-kunang berterbangan mengitari pantulan cahaya bulan itu, seakan tak mau kalah dari rembulan dan bintang-bintang yang mengelilinginya.

Sosoknya berjalan di hadapannya, berdiri tegap dengan memakai pakaian pelindung serba hitam yang berat nan kokoh. Samar, cahaya emas di perisainya bersinar, mungkin juga memantulkan cahaya rembulan.

Dia adalah musuh terakhir, orang terakhir yang harus Leila kalahkan demi bisa memenangkan pertandingan ini.

Zakaria Maulana.

Leila tak menduga kalau lawan terakhirnya adalah seseorang yang secara tidak sengaja membuat dirinya sadar atas rencana adiknya.

Kalau Leila pikir, situasi ini sedikit ironis.

"Apa kau siap, Cyra?" Zakaria menunjuk Leila dengan pedangnya.

Cyra, sebuah nama tanpa arti yang Leila gunakan sebagai topeng di turnamen ini.

Namun setelah sampai sejauh ini, Leila merasa kalau nama itu mungkin memiliki arti.

Karena saat ini sosoknya adalah; sebuah Lentera di tengah hutan yang terus bersinar terang tak peduli betapa gelapnya malam.

"Ya..." Leila mengambil sebuah panah, memasangnya pada busur dan menariknya.

Zakaria memejamkan kedua matanya untuk sesaat dan membuang napas. Lalu dia menatap tajam Leila dan berlari menghampirinya. Dia berusaha memperpendek jarak antara dirinya dan Leila.

Leila mungkin bisa melayani pertarungan jarak dekat, namun itu tidaklah efektif. Damage yang dikeluarkannya takkan setimpal dengan damage yang diterimanya.

Leila mengangkat busurnya—membidik ke arah Zakaria namun segera membatalkan niatnya setelah menyadari tak ada satupun titik dimana dia bisa menembak.

Menembak Zakaria saat ini hanya akan membuang-buang panahnya.

△▼△▼△▼△

Zakaria berlindung dibalik perisainya. Ditambah lagi, pakaian pelindung yang dikenakannya membuat Leila tak bisa asal menembak. Leila harus mengambil atau setidaknya menunggu momen bagi dirinya untuk menembak.

Setelah mendekat, Zakaria membuka perisainya. Dari balik perisai dia ayunkan pedang pendeknya. Sebuah ayunan horisontal penuh.

Tentu saja Leila sudah memperkirakan ini. Dia menghindari serangan itu dengan sebuah lompatan yang mendarat langsung tepat di atas perisai Zakaria. Dia tembakkan panahnya tetapi berhasil dihindari Zakaria dengan cara mengayunkan kepalanya ke belakang.

Leila berdecap kesal.

Disaat Zakaria mengerahkan serangan balik, Leila menahan pedangnya dengan menggunakan busurnya lalu melompat mundur menuju jembatan.

Leila terus menerus melompat mundur seperti seorang akrobat. Tubuhnya yang ringan dan atribut anginya membuat tiap lompatannya begitu tinggi namun tidak memakan banyak energi.

Zakaria berusaha menyusulnya, namun berhasil Leila hentikan dengan menembak lututnya.

Saat Zakaria menarik panah itu keluar dari lututnya, sosok Leila sudah berada di atas jembatan.

"Ch... Gawat....!!" Zakaria langsung berlindung dibalik perisainya.

Zakaria tak punya pilihan lain selain bertahan. Habisnya, satu demi satu panah terus menghujaninya bak peluru dari senapan semi-automatis. Dia bahkan tak mendapat satupun kesempatan untuk mengintip dari balik perisainya untuk melihat situasi di sekitarnya.

Lawannya adalah seorang Archer yang merupakan petarung jarak jauh, wajar saja baginya untuk menjaga jarak dari Zakaria yang merupakan petarung jarak dekat. Leila pasti akan melakukan apapun untuk menjauhkan dirinya dari Zakaria.

Dan merupakan tugas Zakaria untuk mendekatinya. Meskipun saat ini dirinya masih belum tahu bagaimana caranya untuk memotong jarak antara mereka berdua.

Setelah dua menit penuh dari serangan tiada henti, tembakan-tembakan panah itu mereda dan akhirnya berhenti.

Zakaria melihat ini sebagai kesempatan untuk menyerang balik. Dia membuka perisainya.

Pemandangan yang dia saksikan sungguh tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Panah-panah berserakan di mana-mana. Bahkan banyaknya panah yang ada di hadapannya tak kalah banyak dengan rumput di area itu.

Zakaria menggelengkan kepalanya.

Dia sadar ini bukannya saat yang tepat untuk takjub. Selagi Leila tak menyerangnya, dia bisa mengejarnya dan mempersempit jarak antara mereka berdua.

Tapi...

"Open the Seal : Triple Wind Arrow!"

Ketiga anak panah ditembakkan dengan hembusan angin yang menyelimuti masing-masing panah. Masing-masing anak panah yang ditembakkan dia arahkan ke tiga arah yang berbeda.

Satu mengarah langsung ke Zakaria, satu ke sisi kanannya dan satu ke sisi kirinya.

Zakaria takkan bisa menahan serangan besar seperti itu hanya dengan mengandalkan perisainya.

Leila juga sadar akan kenyataan ini. Karena itulah dia menembakannya ke tiga arah yang berbeda sehingga menutup kemungkinan bagi Zakaria untuk menghindar.

Dan bila Zakaria menghidar ke belakang, panah-panahnya akan siap menyambut kedatangannya.

Dilihat dari banyaknya damage yang akan dia terima, kemungkinan besar dia akan menghindar ke belakang.

Tetapi tak seperti apa yang Leila duga, Zakaria hanya terdiam.

Dia berlindung dibalik perisainya lalu melafalkan mantra.

"Open the Seal : Fire Element – Fire Ball!"

Perisainya memerah, suhu yang dikeluarkannya semakin memuncak seiring dengan percikan-percikan api yang tercipta dari bola kristal yang terpasang di tengan perisai.

Percikan api itu berkumpul menjadi satu kesatuan dan semakin membesar. Membentuk sebuah bola api berukuran besar yang cukup untuk melahap ketiga panah yang Leila tembak dengan sekali telan.

Dia tembakkan bola api itu tepat ke arah ketiga anak panah.

Ketiga panah itu tertelan ke dalam bola api.

"Bagus!" Ujar Zakaria penuh semangat. Dirinya lega karena bola api yang dia tembakan berhasil menghanguskan ketiga panah yang ditembakkan oleh lawannya. Tetapi meski begitu, perempuan yang berdiri di atas jembatan itu, Leila, sama sekali tak bergeming atas serangan Zakaria.

Zakaria tak punya waktu untuk memikirkan apa yang Leila pikirkan.

Kakinya menekan—mendorong tanah penuh semangat. Tekanan yang diberikan kakinya saat berlari begitu kuat hingga membuat tanah dan rumput yang dipijaknya rusak.

Namun Zakaria terpaksa menarik kembali semangatnya.

Dia menarik tubuhnya selagi kedua matanya yang terbuka lebar menyaksikan fenomena yang tidak dia duga.

Ketiga panah itu keluar dari dalam bola api. Tanpa ada goresan atau satupun area yang terbakar. Seolah hembusan angin yang menyelimuti ketiga panah itu melindunginya dari jilatan api.

Zakaria ceroboh. Dia terlalu percaya diri atas kekuatannya sampai membuat dirinya berada dalam situasi yang berbahaya.

Sekarang jarak antara dirinya dan salah satu panah terlalu dekat. Hingga ke titik dimana dirinya terpaksa berlindung dibalik perisainya.

Ketika panah itu tertancap di perisainya, tubuhnya langsung terpental sejauh tujuh meter. Sudah begitu hembusan angin yang menyelimuti panah itu mengoyak, menggores dan merusak perisai, armor, serta melukai sekujur tangannya hingga ke titik dimana tangannya mati rasa.

"Khhaaakh!!"

Zakaria berlutut lemas. Tangan kirinya yang penuh luka terus-menerus gemetar. Tiap inci dari kulit dan daging di tangan kirinya berisikan luka gores. Darah segar mengalir keluar dari luka-luka tersebut, banyaknya darah yang keluar cukup untuk menciptakan sebuah genangan.

Rasa sakit yang tercipta tiap kali tangannya digerakan terasa panas. Begitu panas seperti tangannya dimasak didalam sebuah tungku api yang berisikan sup.

Pemuda yang berlutut itu menahan lukanya selagi mengambil healing potion dari dalam inventory-nya.

Sret!

Sebuah panah ditembakkan ke tangannya yang menggenggam ramuan penyembuh. Panah itu menggores tangannya dan membuat ramuan yang digenggamnya terlempar sejauh dua meter.

"Kau pikir aku akan diam saja dan menonton?" Tanya Leila.

Zakaria tersenyum kecil.

"Sebaiknya kau 'menonton' apa yang ada di bawahmu...!"

Zakaria menunjuk dengan dagunya.

"Di bawahku....?"

Jago merah membakar habis permukaan kayu dari jembatan dimana Leila berdiri. Jilatan merah itu merambat naik—sedikit demi sedikit, namun pasti, tiap senti permukaan kayu jembatan ini berubah menjadi abu dan arang.

Enam puluh persen bagian dari jembatan ini sudah dilahap. Hanya menunggu waktu hingga jembatan ini habis terbakar.

Api yang membakar jembatan ini berasal dari bola api milik Zakaria. Tujuan lain dari serangan bola api Zakaria bukan hanya untuk menepis serangan Leila, tapi juga untuk menghanguskan jembatan dimana Leila berada.

Ini murni kesalahan Leila. Dia tidak memperhatikan area di sekitarnya dan terlalu sibuk menghabisi Zakaria.

Terbakar, penuh goresan dan beberapa sisi yang hancur. Itu saja cukup untuk membuat jembatan kayu yang kokoh itu roboh.

"Sial—"

Jembatan itupun roboh bersama sosok yang menaikinya.

△▼△▼△▼△

Potongan-potongan kayu yang terbakar padam saat menyentuh permukaan sungai. Aroma kayu bakar terhirup tiap kali Leila menarik napas. Air sungai yang dingin mengalir melewati kedua kakinya, begitu segar namun bisa menyebabkan flu. Dilain sisi hawa panas api yang masih membakar jembatan menyengat permukaan kulit wajahnya.

Sungguh perasaan yang aneh.

Leila menyeka keringat dingin yang mengalir menuruni dahinya. Pemuda yang menjadi lawannya sudah menghilang. Meskipun Leila sudah mengedarkan pandangannya, sosok lawannya tak kunjung muncul.

Kemanapun matanya memandang, hanya terpampang pemandangan kosong. Tak ada satupun tanda-tanda atas keberadaan Zakaria.

"Kalau begitu....!"

Dia mendongkakkan wajahnya lalu menahan ayunan pedang Zakaria dengan busurnya.

Benar saja dugaan Leila. Zakaria berusaha untuk menyerang langsung kearah Leila dengan memanfaatkan dataran tinggi.

Setelah Leila terjatuh, Zakaria langsung berlari menuju sisa-sisa jembatan dan melompat—menyerang Leila dengan sebuah ayunan penuh dari pedangnya.

Serangan yang klise dan mudah diprediksi.

Tangan kirinya sudah pulih kembali. Tak ada satupun goresan tersisa di tangannya.

Keduanya terus beradu serangan. Zakaria dengan pedangnya sedangkan Leila dengan busurnya. Sesekali mereka berhasil melukai satu sama lain. Seperti bermain kertas-gunting-batu, mereka tak tahu kapan musuh mereka akan berhasil melukai mereka atau kapan mereka akan berhasil melukai musuh mereka.

Tiap detik kedua senjata itu beradu tiada hentinya. Alunan suara tiap kali senjata mereka bagaikan jarum jam panjang yang bergerak memutar menunjuk angka tiap detiknya.

Suara detik itu membuat mereka terus terjaga. Seperti sebuah hipnotis yang dilakukan oleh pesulap, keduanya tenggelam dalam alunan itu.

Mereka terus mengadu senjata mereka hingga ke titik dimana mereka lupa untuk melukai lawan mereka.

Cara Zakaria bertarung....

Leila tak tahu harus bagaimana mendeskripsikannya.

Serangannya begitu klise dan mudah diprediksi. Dia tak memiliki teknik khusus maupun trik tersembunyi. Menghadapi serangannya terasa seperti sedang menonton sebuah film pahlawan super. Tiap orang tahu bahwa di akhir film sang pahlawan akan menang, namun semura orang tetap tertarik untuk menyaksikan bagaiman proses pahlawan itu meraih kemenangannya. Seperti itu.

Pada akhirnya itu menyisakan sebuah perasaan yang menuntun Leila pada sebuah "arus".

Tiap ayunannya, tiap serangan yang dikerahkan olehnya, seperti sebuah dorongan ombak. Ombak itu tidak terlalu pasang ataupun terlalu surut, namun cukup untuk terus mendorongmu yang terombang-ambing di tengah lautan ke pulau terdekat.

Dan dengan sampai pada pulau terdekat, artinya adalah sebuah kesimpulan yang tak terelakkan—yaitu dirinya yang bertahan menepis serangan Zakaria lalu menyerang balik.

Terus seperti itu. Berulang kali, lagi dan lagi.

Tebalnya busur Leila membuat ujung pedang yang beradu dengannya tumpul. Di sisi lain, semakin sering busur itu beradu dengan pedang Zakaria, semakin besar kemungkinan patahnya busur tersebut.

Sementara mustahil bagi Leila untuk bisa mematahkan pedang Zakaria.

Perempuan itu sadar betul atas ketidak untungan ini.

Di tengah adu senjata itu, Leila melemparkan sebuah panah. Pada titik buta seperti itu, mustahil bagi Zakaria untuk menepis serangannya. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah menghidari panah Leila.

Memanfaatkan momen sibuk Zakaria, Leila melompat mundur menaiki sisa jembatan.

"Takkan kubiarkan!

Open the Seal : Fire Element - Fire Ball!"

Zakaria menembakkan sebuah bola api ke arah Cyra.

Lagi-lagi serangan yang mudah diprediksi. Leila bahkan tak perlu berusaha untuk bisa menghindari serangan itu.

Tapi meskipun begitu, lagi-lagi firasat itu muncul.

Untuk yang kesekian kalinya ombak itu kembali mendorong sosoknya ke arah yang tidak dia inginkan.

Apa Zakaria sengaja melakukan inI? Ataukah ini semua terjadi tanpa dia sadari?

Tapi untuk apa? Mau dipikir bagaimanapun Leila tidak menemukan satupun alasan bagi Zakaria untuk melakukan ini.

Saat perempuan itu tenggelam dalam pertanyaan, tubuhnya terus didorong mundur memasuki hutan.

Dirinya didorong mundur. Lagi, lagi, lagi, dan lagi tanpa bisa membalikan keadaan.

Tiap serangan yang dikerahkan Zakaria bisa Leila hindari dengan mudah. Namun entah mengapa, Leila mendapat firasat kalau serangan itu memang sengaja dikerahkan untuk bisa dihindari.

Apa ini hanya imajinasinya?

Pikiran dan seluruh pertanyaannya tenggelam bersama dengan tubuhnya ke dalam lebatnya dedaunan hutan.

Dalam pertarungan satu lawan satu, hutan adalah pedang bermata dua.

Hutan bisa memberinya keuntungan seperti bersembunyi di semak dan dedaunan lalu menyerang tanpa musuh bisa mengetahui lokasi dirinya berada. Di lain sisi hutan juga memberi keuntungan bagi musuhnya untuk bisa berlindung dibalik pepohonan.

Karena itulah dirinya lebih memilih bertarung di area lapang seperti di dekat sungai tadi. Di tempat seperti itu dirinya tak perlu memikirkan kemungkinan kalau lawannya bisa berlindung dibalik suatu benda.

Dengan keuntungan itu, perempuan itu bisa dengan bebas dan leluasa menyerang.

Tapi semua itu hanyalah masa lalu.

Dirinya saat ini tak bisa menengok balik pada dirinya setengah jam yang lalu.

Dirinya telah menyia-nyiakan kesempatan untuk melawan Zakaria di tanah terbuka. Yang terbentang di hadapannya saat ini adalah pepohonan yang dingin nan basah dihujani cahaya rembulan yang terang nan hangat.

Panah-panahnya berterbangan seperti burung merpati.

Berterbangan menuju ke satu arah, yaitu Zakaria.

Namun tidak seperti burung merpati yang bisa terbang dengan bebas, panah miliknya hanya bisa terbang lurus.

Hal ini membuat Zakaria bisa menghindar dengan berlindung dibalik pepohonan. Apalagi, tebalnya awan dilangit sering kali menghalangi cahaya rembulan. Itu membuat pakaian pelindung Zakaria yang serba hitam menyatu dengan gelapnya malam.

Leila tak bisa terus membiarkan situasi seperti ini. Bila waktu durasi turnamen habis dan Hp-bar miliknya lebih sedikit daripada milik Zakaria, maka semuanya berakhir. Semua usaha yang telah Leila pupuk akan tertiup seperti debu.

Dia harus mengakhiri Zakaria sesegera mungkin.

△▼△▼△▼△

Hujan panah berakhir.

Menyisakan hutan sunyi nan sepi.

Sosok Leila yang sebelumnya menghujaninya dengan panah telah lenyap.

Zakaria yang keluar dari balik sebuah pohon tak bisa menemukan sosoknya. Hanya terdapat lautan pohon sejauh mata memandang.

"... Gawat...."

Dirinya langsung memepetkan punggungnya ke pohon di belakangnya. Dia angkat perisainya setinggi bahunya lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Zakaria paham betul kalau semua ini bukanlah berita baik.

Kehilangan jejak dan keberadaan musuh di tengah hutan adalah hal terburuk yang bisa dia bayangkan.

Saat ini dirinya seperti semut di tengah-tengah sebuah ladang yang terbakar. Dia tak tahu kapan atau dari mana api yang membakar ladang itu akan membakar dirinya.

Baginya keuntungan yang dia miliki hanyalah pakaian pelindungnya yang serba hitam sehingga bisa menyatu dengan gelapnya malam.

Namun apakah keuntungan itu akan terus bertahan?

Awan kelabu yang tebal nan lebar yang sebelumnya menaungi hutan dari cahaya rembulan telah bergerak ditiup angin. Sosok Zakaria yang sebelumnya diselimuti bayang-bayang hutan akhirnya dibanjiri cahaya rembulan.

Saat-saat dimana sosoknya dapat terlihat dengan mata telanjang akhirnya muncul. Seolah selimut itu ditarik paksa darinya.

Sret!

Sebuah panah tiba-tiba menancap tepat di sebelah kepala Zakaria.

Panah itu menancap sedalam tiga meter ke dalam tubuh pohon. Zakaria bahkan tak tahu kapan panah itu sudah menancap di sebelahnya.

Padahal dengan cahaya rembulan yang menaunginya, dirinya bisa melihat dengan jelas.

Tapi kenapa, dia merasa begitu buta?

Satu persatu panah menghujaninya dari keempat arah mata angin. Dari bayang-bayang pepohonan, anak-anak panah itu tertelan ke dalam cahaya rembulan.

Dan tiap panah itu mengarah langsung padanya.

Dirinya tak bisa mengetahui dari mana tepatnya panah-panah itu ditembakkan. Dia hanya bisa menepis panah-panah itu dengan perisai dan pedangnya.

Bahkan pohon yang melindungi punggungnya tidaklah cukup.

Tiap panah begitu cepat namun akurat. Rasanya, sepersekian detik setelah Zakaria berkedip, arah di mana panah itu berasal sudah jauh berbeda.

Leila sama sekali tidak memberikan waktu baginya untuk menarik napas, maupun untuk memikirkan tiap luka yang diterimanya.

Setidaknya, dirinya harus memikirkan cara untuk memperkecil kapasitas luka yang diterimanya.

Dan cara yang terpikirkan oleh Zakaria adalah....

Zakaria berlari. Sosoknya meninggalkan pohon tunggal yang sebelumnya melindungi dirinya dari panah.

Aroma lembab kayu hutan yang basah terhirup tiap kali dirinya menarik napas. Embun yang tertimbun pada rumput dan semak membasahi pakaian pelindungnya. Berbagai macam suara melintasi telinganya, suara ranting yang patah saat dipijak olehnya, suara gesekan semak dan rerumputan yang dilintasinya sampai suara burung-burung yang menghindari kedatangannya.

Punggung yang sebelumnya dia lindungi sekarang terbuka lebar seperti bidak di permainan bowling.

Satu persatu panah mencetak skor. Bila dia bercermin saat ini, pasti dirinya bisa melihat sosok landak di pantulan cermin.

Sayangnya, Zakaria tak punya imajinasi yang cukup untuk membayangkan momen itu. Landak yang terbayang dipikirannya berbentuk seperti gambar anak TK.

Bukannya khawatir, bayangan itu malah membuatnya sedikit tertawa geli.

Tujuan dirinya berlari hanyalah satu.

Satu hal penting yang menjadi kunci untuk meredakan damage yang diterimanya.

Hal yang membuat Leila takkan pernah berani menembaknya dari belakang.

Safe Zone.

"Sip, ternyata tidak sejauh yang kuduga!" Omelnya lega.

Kakinya yang berlari mendorong mundur tanah yang dipijaknya hingga hancur.

Dirinya berbalik lalu menepis panah yang ditujukan padannya dengan pedangnya.

Di belakangnya berdirilah sebuah tembok cahaya yang membentang tinggi melingkari arena dimana dirinya berada. Disaat Late Game seperti ini, damage yang diterima ketika menyentuh tembok cahaya itu tak terbayangkan. Karena itulah mustahil bagi Leila untuk nekat menerobos safe zone hanya untuk menyerang Zakaria.

"Nah ayo maju! Akan kuterima tiap panah yang datang bertamu!"

Zakaria mengangkat perisainya sejajar dengan dadanya, sementara pedang di tangan kanannya siap untuk menepis dan memotong tiap panah yang mengunjunginya.

Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk saat ini hanyalah bertahan.

Dan kebetulan, kelasnya sangat cocok dalam hal itu.

△▼△▼△▼△

Leila terus menghujani Zakaria dengan anak panahnya.

Tanpa henti, tanpa jeda, tanpa ampun.

Tak sedikitpun Leila berpikir untuk memberinya celah untuk menyerang balik.

Tubuhnya seperti menyatu dengan angin. Begitu ringan dan cepat. Tiap panah yang ditembakkan olehnya mengalir seperti daun yang gugur tertiup angin.

Ringannya tubuh Leila memberinya kesempatan untuk terus menerus berpindah posisi tanpa harus menghentikan tembakannya. Sosoknya melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan begitu cepat, begitu cepat hingga bayang-bayangnya menyatu dengan angin.

Leila bahkan sudah tak yakin lagi mengenai posisi sesungguhnya dimana dirinya berada.

Panah yang ditembakkannya begitu akurat, tak ada satupun tembakan yang meleset dari lawannya. Tidak ada satupun serangan yang sia-sia.

Meskipun lawannya memberikan perlawanan seperti menepis ataupun berlindung dibalik perisainya, pada akhirnya panah yang ditembakkan Leila akan tetap mengenainya seperti ular yang menggigit mangsanya.

Dan ketika durasi turnamen telah habis atau disaat dirinya kehabisan anak panah, gerbang kemenangan sudah menunggu Leila.

Taktik ini mungkin lambat dan pengecut, tapi Leila tak keberatan bila taktik ini bisa menjamin kemenangannya.

Sebentar lagi mana miliknya juga akan terisi hingga cukup untuk mengeluarkan sebuah Five Wind Arrow. Bila terjadi sesuatu pada rencananya, maka dirinya terpaksa bergantung pada skill itu.

Ya ini semua akan berakhir dengan baik.

Itulah yang dipikirkan perempuan itu.

Krek!

Leila tersentak. Kedua matanya terbelalak menyadari bahwa salah satu dahan yang dipijaknya patah. Mungkin karena tak bisa terus-menerus menahan beban tubuh Leila yang seringkali memijakkan kakinya di atas dahan tersebut.

Seketika tubuhnya terasa kaku. Napasnya tersendat. Waktu seolah terhenti di detik dimana dahan itu patah.

Leila sadar bahwa dirinya terlalu naif untuk berpikir kalau semuanya akan berjalan dengan lancar. Dirinya bodoh untuk terus menerus melintasi dahan yang sama.

Seharusnya dirinya menyadari hal sesimpel ini. Namun arogansinya membutakan pikirannya.

Tak ada waktu yang cukup baginya untuk bereaksi atas dahan itu, juga tak ada dahan cukup panjang untuk bisa diraih oleh tangannya.

Dirinya akan terjatuh.

Tapi bukan itu yang Leila khawatirkan. Dia lebih khawatir akan sosok yang sadar atas kesalahannya dan hendak memanfaatkan kesalahan itu. Apalagi rentetan panahnya sempat terhenti akibat dirinya yang terjatuh.

"Ketemu!"

"-Gawat!"

Leila menendang pohon di hadapannya—tubuhnya terdorong hingga ke pohon lainnya. Dia tangkap salah satu dahan di pohon itu lalu berayun berputar dan mendarat di atasnya.

Dengan cekatan Leila kembali mengambil panah dari quiver nya dan kembali menembaki Zakaria dengan rentetan panah.

Zakaria berdiri tegak dengan penuh percaya diri. Panah-panah berserakan disekitarnya seperti jamur yang mencuat keluar dari tanah. Dirinya tak berlindung dibalik perisainya dan pedangnya tersarung rapih di pinggangnya.

"Open the Seal : Fire Element – Fire Circle!"

Zakaria langsung mengangkat perisainya ke atas. Percikan-percikan api tercipta dari permata yang terletak di tengah perisai tersebut. Percikan api itu lalu bergerak menyebar melingkari Zakaria. Jarak antara dirinya dan percikan api itu sejauh lima meter.

Lalu sepersekian detik setelah percikan api itu menyentuh tanah terciptalah sebuah dinding api yang tebal dan panas. Kobaran api itu menyambar—menjilat-jilat ke atas dengan liarnya. Apapun yang disentuh oleh api tersebut langsung hangus menjadi abu.

Begitu pula dengan panah-panah yang ditembakkan Leila. Panah-panah yang melintasi lingkaran api itu langsung hangus menjadi abu di sisi lain dari lingkaran tanpa bisa menyentuh Zakaria seincipun.

Sudah begitu tingginya lingkaran api membakar dedaunan pohon yang berada di sekitarnya. Dengan sekejap skill itu mengubah hutan menjadi lautan api.

Leila tak bisa melihat sosok Zakaria dibalik dinding api tersebut. Dirinya juga tak bisa mengambil resiko untuk menembak melambung ke atas dan bertaruh agar panahnya bisa mengenai Zakaria.

Apalagi...

"Panas...!" Leila menarik tangannya yang sebelumnya membidik ke arah Zakaria. Panasnya suhu menyengat kulitnya, kepulan asap memenuhi penglihatannya dan napasnya terasa sesak.

Jilatan si jago merah menyambar pohon dimana dirinya berada. Leila harus berpindah pohon apabila tidak mau berubah menjadi barbeque bersama dengan pohon itu.

Tapi ke mana?

Lautan api membumi-hanguskan hampir seluruh pohon di area itu. Itu membuat ranting dan dahan pohon di sekitarnya terlalu rapuh untuk bisa dipijak.

Bagaiman caranya untuk bisa terbebas dari situasi ini?

Apakah hembusan angin dari skill Wind Arrow miliknya cukup untuk memadamkan api ini? Atau hembusan angin itu malah akan memperbesar api?

Saat ini di mana Zakaria berada dan apa yang sedang dilakukannya? Apa rencana yang dia miliki?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi pikiran Leila seperti benang yang kusut. Benang yang kucel nan kusut itu terkumpul menjadi satu, melilit tubuhnya seperti perban yang menutupi tiap goresan luka.

Semakin dia tarik benang itu, semakin erat ikatan yang melilitnya.

Sebuah benang kusut nan kucel yang begitu panjang. Sangat amat panjang seolah tidak memiliki ujung.

Namun diujung benang itu Leila bisa melihatnya—melihat api yang perlahan merangkak, menjulurkan tangannya, meraih dan menelan benang itu sedikit demi sedikit. Seperti sebuah sumbu, hanya masalah waktu sampai api itu menelan habis benang yang melilit Leila.

Ya, sosoknya seperti sebuah api.

"Sebaiknya kau tidak melamun disaat seperti ini!"

Suara lantangnya langsung membangunkan Leila dari mimpinya sperti sebuah alarm yang berbunyi di pagi hari.

Suara yang lantang, berani dan penuh semangat itu berasal langsung dari hadapannya.

Zakaria yang melompat langsung di hadapan Leila mengayunkan pedangnya. Serangan langsung yang sama sekali tidak ditunggu-tunggu oleh Leila.

Disaat Leila hendak menahan pedang Zakaria dengan busurnya, tangannya terpeleset. Ini semua berkat ketidaksiapan dirinya atas menerima serangan kejutan.

Sebuah ayunan penuh ditumpahkan pada Leila. Ayunan yang menyisakan luka sobek yang terbentang dari pundak hingga pinggulnya. Ditambah lagi, gelombang kejut akibat dorongan dari pedang Zakaria membuatnya terlempar sejauh sepuluh meter dari atas pohon dimana dia sebelumnya berada.

Bertopang pada busurnya, Leila kembali berdiri. Tubuhnya terasa sedikit mati rasa, itu wajar saja melihat luka lebar yang baru saja diterimanya. Sementara itu kedua kakinya masih terasa lemas akibat menghantam langsung permukaan tanah saat terlempar tadi.

Damage yang diterimanya dari serangan langsung tadi begitu besar. Leila bahkan tidak yakin lagi kalau dia bisa terus menahan Zakaria hingga waktu pertandingan habis.

Luka ini membuat satu-satunya pilihan yang tersedia baginya untuk memenangkan pertandingan ini adalah dengan menghabisi Zakaria.

Kalau Leila bisa melihat sisi positif dari ini semua, adalah kenyataan kalau dirinya sudah keluar dari lautan api.

Zakaria berjalan menghampiri Leila. Pakaian pelindung serba hitamnya yang membelakangi sumber cahaya—kobaran api yang melahap pepohonan di belakangnya begitu kontras menerangi kehadirannya.

Leila mencoba meraih anak panah di quiver nya, namun dirinya tersentak disaat tangannya menyentuh panah-panah miliknya. Rasanya seolah kuku jarinya terlepas dari kulitnya.

"Jangan bilang...!" Leila menengok memeriksa quiver yang terikat menggantung di sisi belakang pinggulnya.

Firasat buruk Leila benar. Panah-panah miliknya yang sebelumnya masih tersisa banyak sekarang dapat dihitung oleh jari. Setelah mengedarkan pandangannya, Leila menemukan bahwa terdapat banyak potongan serpihan panah yang berceceran di tanah.

Mungkin saja panah-panah itu terjatuh dan patah dikala Leila terpental menghantam tanah.

Dirinya harus mundur dan memikirkan strategi baru.

Dengan sisa panah saat ini begitu mustahil baginya untuk bisa menghadapi Zakaria secara langsung. Pertarungan itu takkan setimpal dengan hasilnya.

Halo semuanya, akhirnya kembali setelah libur tahun baru. Pertarungan antara Leila dan Zaki akhirnya dimulai. Pertarungan antara keduanya adalah pertarungan terakhir di turnamen ini dan akan menandai akhir turnamen. Kita semakin dekat dengan akhir arc 1

Terima kasih sudah mau membaca. Apabila kalian suka dengan novel ini, pastikan masukkan cerita ini ke dalam library kalian untuk bisa terus mengikuti chapter terbarunya :)

Dan bila berbaik hati, power stone bakal gw appreciate banget. See ya later

IzulIzurucreators' thoughts