webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Fantasi
Peringkat tidak cukup
25 Chs

Chapter 01 : Pesimis dan Optimis Hanya Dua Sisi Koin yang Sama - 01

Air hujan membasahi tubuhku. Dinginnya menyengat hingga ke dalam tulangku. Genangan air mengalir di jalan ini, genangan yang agak kotor ini membuatku hampir tak bisa melihat pantulan wajahku. Napasku terengah-engah. Rasanya begitu susah bernapas.

Sesak.

Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Beberapa detik yang lalu, rasanya jantungku bisa terhenti kapanpun.

Aku mencoba menarik napas.

Tarik, keluar, tarik, keluar....

Suara air hujan yang bising memekakkan telingaku. Suara itu begitu kencang hingga suara klakson mobil hampir terdengar samar.

Kubuka mataku. Penglihatanku samar dan buram. Aku nyaris tak bisa melihat apapun. Kutengok ke atas—kearah langit kelabu yang membentang luas tiada tara. Bahkan aku bisa merasakan betapa dinginnya tiap tetesan air yang mengenai wajahku.

Aku mencoba berdiri, tapi tak sanggup. Sakit.

Kakiku terasa sakit dan nyeri. Rasa sakitnya seakan membakar seluruh kakiku. Semakin ku berusaha berdiri, semakin sakit rasanya. Kakiku terkilir, aku tidak yakin, mungkin saja luka ini disebabkan diriku yang jatuh tadi.

Sesuatu merosot keluar dari kausku...

Itu sebuah amplop. Sebuah amplop berwarna kuning yang agak basah karena terkena hujan.

Amplop ini... Terdapat sebuah label tulisan diatas amplop tersebut.

Bum Corp...

Kalau tidak salah... aku berusaha pergi ke sekolah setelah memenangkan turnamen itu....

Jam berapa ini? Aku harus tiba di sekolah tepat pukul 11 siang....

Perlahan, kucoba raih amplop itu lalu membukanya. Amplop itu berisikan banyak uang berwarna merah senilai seratus ribu rupiah. Sekarang aku ingat, uang itu berasal dari hadiah turnamen tadi.

Aku berniat memberikan uang ini kepada—

Napasku terhenti saat aku mencoba memasukkan kembali uang itu kedalam amplop. Lebih tepatnya, aku tak sanggup bernapas seketika menyaksikan apa yang kulihat.

Darah.

Apa ini? Bercak darah?

Kenapa ada darah di sekujur telapak tanganku?

Aku gemetar, bahkan amplop yang kugenggam terlepas dari genggamanku karena tanganku yang begitu lemas. Rasa takut yang kurasakan tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Rasanya mual. Warna merah dan bau amisnya membuatku merasa mual. Melihat darah ini membuatku ingin muntah kapan saja.

Tenang, jangan panik.

Aku harus tetap tenang.

Aku menelan kata-kataku sembari kembali mengatur napas. Saat kucoba kembali memasukkan uang tersebut kedalam amplop, aku menyadari ada sesuatu mengalir di genangan air di sebelahku. Aliran tersebut semakin menyebar. Perlahan demi perlahan menyebar mengelilingi diriku.

Merah.

Aliran air—aliran darah itu mengalir deras di genangan ini. Warna merahnya mewarnai dan meresap ke seragam sekolahku. Baik kemeja maupun celanaku.

Mataku terbelalak. Aku tak bisa berpikir, pikiranku kosong.

Darah siapa itu?

Pertanyaan itu terlontar di pikiranku bagaikan meriam yang ditembakkan. Meriam yang dengan cepatannya melesat dan langsung menerobos akal sehatku. Aku tak sanggup berpikir jernih. Tatapan mataku mengikuti aliran darah tersebut dengan sendirinya.

Perlahan namun pasti, mataku mengikuti aliran darah tersebut bagaikan anak ayam yang mengikuti induknya.

[Tidak, ini tidak benar.]

Aliran itu berasal dari...

[Hentikan.]

...dari seseorang yang kukenal.

[Hentikan ini!]

Seseorang yang begitu berarti bagiku.

[Siapa saja kumohon hentikan ini!]

Rambut cokelatnya yang penuh dengan noda darah basah karena terguyur air hujan. Aku bisa melihat dengan begitu jelas rambut panjangnya yang penuh dengan noda darah itu. Dia sama sekali tak bergerak. Tubuhnya lemas, tak bergeming meski sederas apapun air hujan yang mengguyurnya. Pakaian barunya yang sudah dia siapkan untuk hari ini kotor karena noda lumpur dan noda cipratan darah.

Kenapa?

Kenapa ini bisa terjadi?

Kenapa perempuan itu-- kenapa kakak bisa begitu?

Apa ini? Inikah kenyataan?

Aku palingkan mataku darinya. Perlahan kuangkat kedua tanganku yang gemetaran lalu kutatap telapak tanganku yang penuh dengan noda darah.

Tidak, ini tidak mungkin benar. Kumohon siapa saja tolong aku.

Aliran darah naik dari pembuluh darahku langsung ke dalam otak. Napasku tak teratur. Rasanya sesak, begitu sesak hingga rasanya paru-paruku akan remuk saat aku menarik napas selanjutnya.

Pikiranku tak beraturan. Aku tak bisa lagi berpikir jernih.

Kenapa? Bagaimana? Apa? Siapa?

Perlahan aku menunduk-menatap amplop yang ada di pangkuanku.

Aku ingat.

[Haha]

[HAHAHAHAHAHAHAHAHA. Aku ingat semuanya.]

Ini salahku. Ini semua salahku sehingga kakak bisa seperti ini. Andai saja... Andai saja amplop ini tidak ada... Andai saja aku tidak lupa membawanya...

Andai saja....

....

Brak.

Kepalaku terbentur dinding kamarku yang dingin. Benturan itu cukup keras sehingga membangunkanku dari mimpiku.

Mimpi buruk.

Kurasa kata-kata itu kurang tepat untuk menggambarkan kejadian tadi. Kalau aku bisa mendeskripsikannya dengan dua kata, maka aku akan menyebutnya.

Ingatan buruk.

Ingatan yang selama ini membayangiku. Itulah mimpi yang baru saja kualami. Kejadian itu sudah lama terjadi, kejadian yang takkan bisa kulupakan selamanya.

Aku menghela napas.

Sudah 5 hari aku mengalami mimpi yang sama. Di 5 hari itu, aku pasti terbangun di malam hari seperti apa yang terjadi saat ini.

"Pukul 2 malam ya...." Aku memeriksa jam di smartphone yang sebelumnya terletak di sebelah bantalku.

Baiklah, aku akan kembali tidur.

Inginnya sih begitu.

Tapi aku baru menyadari kalau aku mendapat sebuah pesan.

Oh iya, aku baru menyadari kalau ini pertama kalinya aku menyentuh smartphoneku sejak dua hari yang lalu.

Pesan itu dikirimkan kepadaku kemarin malam. Nomornya asing bagiku, aku tak bisa menebak siapa yang mengirim pesan ini.

Tumben sekali. Sudah lama sejak terakhir kali aku mendapat pesan dari orang lain selain Zaki atau Paman Tedi. Meskipun hampir semua pesan dari Zaki berisi ajakan untuk bermain game.

Oke, cukup dengan basa-basinya.

Aku langsung membuka pesan itu. Kubaca satu demi satu kata yang disampaikan pesan tersebut.

Hm? Apa ini? Aku sama sekali tidak paham maksud dari pesan ini. Oke, aku memang baru membaca paragraf awal dari pesan ini, namun maksud isinya benar-benar tidak bisa aku mengerti.

Haahh.....

Mungkin ini dikarenakan diriku yang masih mengantuk dan setengah terbangun.

Aku menyalakan lampu kamar lalu mencoba membaca ulang pesan itu perlahan-lahan. Tapi, meski aku sudah membacanya berkali-kali, aku masih belum paham maksud dari pesan ini.

Apa sebenarnya maksud dari pesan ini?

Turnamen? Permainan?

".....Lagipula, kenapa bisa aku mendapat pesan ini—" Aku menelan semua pertanyaan itu saat aku mengingat sesuatu. Zaki mungkin ada hubungannya dengan ini semua. Tidak, bukan mungkin lagi. Rubah itu pasti ada hubungannya dengan semua ini.

Lagipula, Cuma dia dan Paman Tedi yang mengetahui nomor teleponku. Aku jarang membawa smartphoneku ke sekolah, jadi aku ragu ada yang tahu atau ingin tahu nomor teleponku.

Setelah aku melakukan scrolling ke bawah, ternyata terdapat sebuah daftar. Sebuah daftar yang kurasa berisikan nama-nama seseorang. Aku tidak tahu apa hubungan antara kelima nama ini dengan turnamen yang disebutkan di pesan ini, kutebak itu adalah daftar nama peserta.

Aku tidak mengenal nama pertama.

Nama yang kedua.... apa ini? Kenapa bisa ada orang dengan nama aneh seperti ini?

Yang ketiga.... Namanya terdengar lucu saat kubaca, aku juga tidak mengenalnya.

Yang keempat.....

Tunggu, kenapa bisa begini?

Kenapa nama orang yang kukenal bisa ada disini?

Leila Fitriyani, dia adalah teman sekelasku. Rambutnya berwarna oranye cerah bagaikan bunga matahari dan kulitnya putih seperti model-model di majalah kecantikan. Dia orang yang baik, bahkan terlalu baik menurutku.

Kenapa orang sepertinya bisa ada di daftar ini?

Orang kelima.... apa ini? Kenapa hanya terdapat dua huruf di barisan kelima.

"Za"

Ini seakan, pesan itu terpotong saat sedang dikirim.

Hahhh....

Kenapa aku harus terlibat dengan hal seperti ini?

Dengan semua beban pikiran yang terkumpul dalam beberapa menit ini, aku kembali mematikan lampu kamarku lalu menjatuhkan tubuhku ke kasur.

Kasur yang hangat nan lembut ini langsung menghapus semua benang kusut yang melilit pikiranku. Bagaikan ombak yang menerjang coretan di pasir pantai, semua pemikiran rumit yang baru saja kupikirkan langsung lenyap.

Sebelum tertidur, aku mencoba kembali memeriksa isi pesan itu untuk yang terakhir kalinya. Mau berapa kalipun kubaca, isinya tetaplah sama. Dan nama Leila tetap terpampang di pesan itu.

Sebenarnya aku benci melakukan ini, apalagi hal ini berhubungan dengan permainan, tapi aku tak punya pilihan lain selain menanyakannya langsung kepada Zaki.

△▼△▼△▼△

Bip bip, bip bip.

Bunyi dering dari sebuah benda langsung membangunkanku. Suaranya menggema ke seluruh kamarku. Aku tak bisa kabur maupun berpura-pura kalau suara itu tidaklah ada.

"Iya, aku paham...." Eluhku yang masih terbaring lemas di kasur sementara tangan kiriku meraba area sebelah bantalku untuk mencari sumber dari suara alarm tersebut.

Aku benar-benar masih mengantuk, apalagi semalam aku sempat terbangun. Penglihatanku masih buram, pikiranku kosong, rambut gondrongku berantakan dan tenggorokanku kering. Bahkan aku akan langsung kembali tertidur jika aku melamun sedikit saja.

Aku angkat smartphoneku lalu melihat jam. Sekarang tepat pukul 4 pagi. Sial, andai saja waktu bisa diperlambat. Aku ingin sekali tidur sedikit lagi.

Yah, kurasa aku tak punya pilihan lain selain bangun dari kasurku lalu melaksakan kewajibanku di pagi hari.

Aku keluar dari kamarku lalu berjalan menuju meja makan yang terletak bersebelahan dengan dapur.

Rumah ini terbagi menjadi dua lantai, di lantai satu terdapat cafe, ruang tamu, kamarku, dapur utama, kamar mandi, dan garasi. Sedangkan di lantai dua terdapat teras, sebuah kamar kosong, dapur kedua, kamar Paman Tedi, ruang Tv dan sebuah ruangan bebas. Biasanya, aku memakai ruang bebas untuk bersantai membaca buku, komik, dan lainnya. Sedangkan Paman Tedi biasa menggunakan ruangan itu hanya untuk tidur siang dan membaca koran.

Padahal kamarnya tepat bersebelahan dengan ruangan itu, tapi entah kenapa Paman Tedi lebih memilih untuk tidur di ruangan bebas.

Mungkin, mungkin saja alasan dia memilih tempat itu untuk tidur siang adalah dikarenakan adanya jendela besar yang terhubung langsung dengan teras. Melalui jendela itu, aku bisa melihat langit biru cerah membentang dengan gulali putih bertebaran diatasnya. Meskipun rumah ataupun ruangan itu tak memiliki Air Conditioner, cukup dengan membuka jendela di ruangan itu lebar-lebar dapat membuatmu merasakan sejuk dan segarnya angin yang berhembus masuk ke dalam ruangan.

Bahkan, perasaan sejuk yang kurasakan tiap kali membuka jendela itu masih bisa kurasakan sampai saat ini. Rasanya seperti terbang di angkasa luas bagaikan burung dengan seribu sayap.

"Ah Dimo, kau sudah bangun? Aku sudah menyiapkan sarapan di meja makan. Kau bisa memakannya setelah shalat subuh." Sapa seorang pria tua yang baru saja berasal dari bagian depan rumah.

Padahal ini masih pukul 4 pagi, tapi dia sudah bersiap untuk membuka cafe. Di tangannya terdapat sebuah lap basah, kurasa dia baru saja selesai mengelap meja dan kursi.

Beliau adalah Tedi Brahmantyo. Dia adalah orang tua angkatku, aku biasa memanggilnya Paman, jadi beliau sudah terbiasa dipanggil seperti itu dibandingkan "Ayah" maupun "Bapak." Aku bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu. Karena ada beberapa hal tak terduga, dia mengadopsiku. Penampilannya.... bagaimana ya, kalau dideskripsikan dengan dua kata; Biasa banget.

Rambut hitamnya pendek, kulitnya sawo matang, mukanya juga biasa banget. Pantas saja dia tak menikah-nikah di usianya yang menginjak 27 tahun. Satu-satunya kelebihan yang dimilikinya adalah keahliannya dalam meracik kopi. Di daerah ini, tak ada satupun orang yang bisa menandingi Paman Tedi dalam meracik kopi.

"Hachooo...."

Aaahhhh!!! Kaget.... Apa ini? Kenapa tiba-tiba dia bersin? Aku tahu sekarang ini masihlah pagi dan dingin, tapi tidak mungkin sekali orang seperti Paman Tedi masuk angin. Apalagi saat ini dia sedang memakai kaus lengan panjang.

"Entah kenapa, aku merasa seperti sedang diejek." Eluh Paman Tedi sambil mengusap hidungnya.

Dia membaca pikiranku?!

Ngomong-ngomong, seperti yang sudah kubilang sebelumnya, bagian depan dari rumah ini adalah sebuah cafe. Paman Tedi sudah bertahun-tahun mengelola cafe ini, tapi entah kenapa dia enggan sekali menambah karyawan di cafenya. Biasanya, aku dan Zaki yang menjadi karyawan di cafe ini, tapi tentunya kami tak selalu punya waktu untuk bekerja di sini.

Yah, aku sebenarnya agak paham kenapa dia enggan menambah karyawan. Salah satu alasannya adalah, cafe ini jarang sekali ramai pengunjung. Meskipun lokasi cafe ini tepat berada di depan taman, pengunjung yang datang tak pernah meledak.

Dalam satu hari, biasanya akan ada sekitar 33 sampai 48 pengunjung, itu juga biasanya tak datang secara beruntun. Pengunjung dipagi hari biasanya remaja dan bapak-bapak yang ingin menikmati kopi ataupun teh. Disiang hari, cafe ini biasanya sepi pengunjung. Disore hari, pengunjung yang biasanya datang kebanyakan berasal dari kalangan pelajar yang baru saja pulang sekolah. Sedangkan dimalam hari, pengunjung yang datang biasanya dari kalangan remaja berusia 16 sampai 18 tahun keatas yang datang untuk menikmati wifi gratis.

Tapi, ada satu kemungkinan lain. Alasan utama kenapa Paman Tedi enggan mencari pegawai baru.

Pelit.

Ya, mungkin Paman Tedi terlalu pelit untuk mendapatkan karyawan dan menggaji mereka.

Pantas saja dia tak kunjung menikah.

Sungguh kasihan.

△▼△▼△▼△

Garasi.

Sebuah ruangan tertutup yang berisikan kendaraan roda 2 sampai roda 4. Aroma oli yang terletak di sebelah tas berisikan perkakas menyengat ke sudut hidungku paling dalam, aromanya yang khas begitu bisa dikenali dengan mudah.

Perlahan, kubuka pintu garasi. Saat kudorong, udara segar di pagi hari langsung menyengat ke pori-poriku. Udara segar yang semerbak hasil dari hujan semalaman itu dengan cepatnya memasuki garasi—menggantikan udara panas yang sebelumnya mendiami tempat ini.

Aku dorong sepedaku keluar dari garasi. Suara roda ban yang berputar bagaikan nada yang mengiringi tiap langkahku. Saat sudah cukup keluar, ku standarkan sepedaku lalu hendak menutup kembali garasi.

Dalam sehari, garasi biasa dibuka 3 sampai 4 kali. Itu juga jika sedang sibuk-sibuknya. Lokasi garasi ini terdapat di sisi belakang kanan rumah, tepat bersebelahan dengan kamar mandi dan juga dapur. Oh iya, di dalam garasi ini, selain sepedaku, terdapat sebuah mobil dan sebuah motor milik Paman Tedi. Meskipun paman jarang menggunakkan keduanya, dia sering merawat kedua kendaraan itu seakan dia akan memakainya di esok hari.

Bahkan saat aku mengusapkan tanganku ke tubuh mobil itu, aku hampir tak merasakan adanya debu menempel di telapak tanganku.

"Oh—"

Sebuah pemikiran aneh terbesit di pikiranku. Jangan-jangan alasan kenapa Paman Tedi begitu rajin membersihkan kedua kendaraan ini dikarenakan dia berharap kalau suatu hari akan ada cewek yang mengajaknya berkencan?

Cukup masuk akal sih. Tapi rasanya agak sedih.

Aku menutup garasi lalu merapihkan tas dan pakaianku sebelum aku menaiki sepeda. Perlahan kukendarai sepeda ini menuju ke sekolah.

"Kalau dirasa, pagi ini lumayan dingin ya..." Eluhku sambil mengayuh pedal sepedaku.

Wajar saja. Sekarang masihlah pukul setengah tujuh pagi, apalagi hujan semalam lumayan deras. Dinginnya pagi ini hampir membuatku bisa melihat napas yang keluar dari mulut dan hidungku.

"Sekarang masihlah pagi, kurasa aku akan melewati jalan biasa saja." Bicaraku sendiri seakan mengingatkan diri sendiri. Aku menengok ke kanan dan ke kiri—memastikan tak ada kendaraan seperti motor maupun mobil akan melintas di perempatan ini.

Jalan biasa.

Saat aku merasa takkan terlambat, aku akan memilih jalan itu karena aku ingin bersantai sedikit sambil mengayuh sepedaku. Tapi, saat aku berpikir kalau aku akan terlambat, aku akan melewati sebuah jalan pintas yang memotong jalan dari rumah Paman Tedi langsung ke sekolah.

Ngomong-ngomong, di depan rumah Paman Tedi terdapat sebuah taman berbentuk oval yang membentang luas. Di taman itu mungkin tak ada wifi gratis, tapi terdapat pohon-pohon yang sejuk dan kursi-kursi untuk bersantai.

Di taman, jika kau berjalan lurus dari pintu masuk utara, kau akan menemukan sebuah area khusus yang didedikasikan untuk taman bermain anak-anak. Sama seperti taman bermain pada umumnya, tempat itu terdapat perosotan, ayunan dan permainan-permainan anak-anak lainnya.

Dari rumah Paman Tedi, aku harus berjalan memutar ke arah kanan untuk akhirnya sampai di pintu masuk barat. Di taman ini, terdapat 4 pintu masuk utama yang lokasinya berdasarkan dengan arah mata angin, yaitu Utara, Selatan, Timur dan Barat. Selain itu ada pintu masuk kecil yang tersebar tak jauh dari keempat pintu masuk utama yang kusebutkan tadi.

Aku tak tahu sejak kapan taman ini dibangun, karena taman itu sudah ada sejak aku tiba di distrik ini. Di tengah taman terdapat sebuah patung harimau yang dikelilingi air mancur. Di bawah patung harimau tersebut terdapat tulisan yang nampaknya menunjukkan tanggal kapan taman ini dibangun. Seperti yang kubilang sebelumnya, pahatan tanggal itu sudah agak usang sehingga aku kesulitan membacanya. Karena itulah aku tak tau kapan taman ini dibangun.

Oh iya, kota ini terbagi menjadi 6 Distrik. Distrik 1 terletak di area paling utara, distrik 2 berada di barat laut, distrik 3 berada di tenggara, distrik 4 berada di timur, distrik 5 berada di selatan dan distrik 6 berada di barat daya. Sebagai catatan, aku tinggal di distrik 4.

Sayangnya dari sekian banyak distrik, hanya terdapat 3 sekolah SMA di kota ini.

Sekolah pertama terdapat di Distrik 1, sekolah tersebut adalah sekolah yang paling terkenal dari dua sekolah lainnya. Sekolah kedua berada di distrik 6, prestasi sekolah ini tak kalah cemerlang dengan sekolah pertama. Dan sekolah ketiga adalah sekolahku. Sekolah ini berada di distrik 4.

Tak banyak yang bisa kukatakan mengenai sekolahku. Oh iya, bisa dibilang sekolah ini cukup lengkap. Ada lapangan bola, ruang olahraga, dan sebagainya.

Sebagai catatan, sekolah ini bukanlah sekolah buangan. Bisa dibilang sekolah ini adalah sekolah yang paling biasa dibandingkan dua saingannya.

△▼△▼△▼△

Banyak yang bilang kalau masa-masa SMA adalah masa-masa yang paling indah. Sebuah masa yang membuatmu berharap kalau masa yang indah ini akan berlangsung selamanya.

Bayangkan saja, persahabatan, pertengkaran, percintaan yang mulai bersemi, dan masih banyak lagi disatukkan menjadi satu di sebuah tempat yang disebut SMA. Membayangkannya seperti membaca sebuah buku tebal dengan 500 halaman yang berisikan lebih dari sepuluh genre.

Nyatanya, tak semua orang pasti memiliki masa yang disebut indah tersebut. Pastinya ada beberapa orang yang kurang menyukai masa-masanya di SMA.

Dengar, jangan salah paham dulu. Aku tidak membenci masa-masa SMA. Bisa dibilang, aku menyukainya.

Aku bukanlah lowtier edge-lord yang sok-sokan menjadi pemalas atau menjadi no life atau menjadi orang apatis demi nampak terlihat keren. Aku bukanlah orang semacam itu dan merupakan sebuah kesalah pahaman apabila kau berpikir bahwa diriku adalah pribadi yang seperti itu.

Sejujurnya, aku mungkin akan merindukan masa-masa SMA saat aku sudah lulus nanti.

Ya, aku pasti akan merindukannya.

"Hah...."

Aku menghela napasku sembari memarkirkan sepedaku.

Sial, hari ini pasti akan menjadi hari yang panjang. Untuk sekilas aku teringat kembali dengan pesan yang kubaca dini hari, sebuah pesan yang tak bisa kumengerti sampai saat ini. Bahkan berapa kalipun aku memutar otakku, aku sama sekali tak bisa menyatukan puzzle yang ada.

Karena itulah aku akan menanyakan langsung kepada Zaki mengenai hal ini. Dan karena itu juga hari ini akan menjadi hari yang panjang dan pastinya akan menjadi salah satu hari yang akan kubenci.

Oh iya aku teringat akan satu hal penting. Sebenarnya siapa yang mengirim pesan itu? Semalam aku merasa mengantuk sehingga tidak teliti membaca nomor si pengirim pesan. Kalau sekarang aku mungkin bisa mengenali siapa si pengirim pesan itu.

Setelah turun dari sepeda, aku lansung merogoh kantung celanaku—kucoba meraih smartphone yang kupikir ada di kantung celana.

"Kh, dimana.... seharusnya ada di—oh..."

Oh.... sial. Aku lupa untuk membawa smartphoneku. Kalau begini aku sama sekali tak bisa mencari tahu mengenai si pengirim sebelum aku menemui Zaki.

"Hari ini benar-benar akan menjadi hari yang panjang." Eluhku untuk yang kesekian kalinya sambil menghela napas.

Oke, mulai dari chapter ini kita akan mengikuti cerita Dimo. Sebagai seorang pribadi, Dimo adalah orang yang mungkin terlihat dingin di luar. Namun apabila kau perhatikan baik-baik, penampilan dinginnya hanya bertahan di luarnya saja. Isi pikiran Dimo; bagaimana dia bereaksi, bagaimana dia menanggapi dan mengolah suatu masalah dalam pikirannya, lebih terlihat santai daripada penampilan dingin yang biasa dia pasang di luar.

Terkadang dia berpikir berlebihan, terkadang juga mengabaikan hal-hal yang sebenarnya tidak sepele. Untuk mengatakan lebih simpelnya sih, dia domba dengan kulit serigala.

Satu hal lagi, tanda kurung kotak ( [ ] ) yang mengurung teks itu artinya itu adalah pemikiran alam bawah sadar Dimo sendiri. Di teks word gw, biasanya ditandain sebagai teks berwarna merah, tapi karena di sini ga bisa merubah warna teks, jadi teks khusus itu gw kurung menggunakan kurung kotak.

Hanya itu aja yang mau gw bahas untuk kai ini, see ya next time. Oh iya, apabila kalian suka dengan cerita ini dan menunggu chapter berikutnya rilis, silahkan masukkan novel ini ke dalam library kalian. Dan dikarenakan tidak menentunya waktu rilis novel ini, gw saranin deh untuk kalian ngelibrary-in cerita ini untuk terus mengikuti kelanjutannya.

IzulIzurucreators' thoughts