webnovel

Sleepy Bookmaster

Ketika umurnya beranjak sepuluh tahun, Bayu tiba-tiba mendapati dirinya mengidap narkolepsi. Hidupnya yang dipenuhi tawa pun berubah menjadi kelam. Rasa kantuk selalu manghantui dirinya, membuat masa kecilnya lebih sering ia habiskan di kamar untuk tidur dan membaca buku. Waktu berlalu, Bayu kini telah lulus kuliah di umurnya yang ke-22. Namun pada suatu hari Bayu tiba-tiba mewarisi artifak berupa perpustakaan yang tertanam di alam bawah sadarnya. Di dunia yang telah dipenuhi oleh mahluk-mahluk fantasi dan supranatural, Bayu sedikit bergairah untuk melakukan sesuatu dengan kekuatan barunya. "Mari buat dunia ini semakin kacau balau! Haaa... tapi kalau kupikir lagi, aku terlalu mengantuk, mendingan juga tidur."

hatentea · Fantasi
Peringkat tidak cukup
299 Chs

Sudah Tiga Hari

Pada suatu kantin di dalam Fakultas Ilmu Fantasi, di meja paling pojok kiri samping jendela, terdapat dua orang yang duduk di sana. Satu orang sedang tertidur dengan kepala yang dibantali oleh kedua tangannya di atas meja. Satu orang lagi sedang aktif berinteraksi dengan ponselnya, kedua matanya terus memandangi linimasa LIFE-nya. Sekali-kali dia memberi pesan dan menelpon ke kontak sama. Tampak dari rautnya mukanya yang cemas lalu marah hingga cemberut kalau pesan dan telponnya tidak mendapat balasan.

"Anjir! Ini orang ke mana sih?!"

Gerutu Rizki melihat pesan-pesannya selama tiga hari terakhir tidak kunjung ada respon. Ponselnya lalu ia taruh di meja dengan agak kasar. Matanya melihat ke jam di dinding kantin, lalu menghela nafas panjang. Pandangannya lalu tertuju ke tumpukan piring dan gelas di depannya.

Hampir dua jam sudah berlalu. Akibat cemas dan jengkel, selama hampir dua jam Rizki menghabiskan waktunya dengan mengunyah sambil memainkan ponselnya. Dalam dua jam Rizki telah menghabiskan empat piring makanan dan tiga gelas jus mangga.

Melihat ke sisa piring yang ada di meja lalu ke arah temannya yang tidur di kursi sebrang. Rizki berpikir untuk kembali memesan satu piring lotek dan segelas jus mangga.

"Masih mau makan berapa kali lagi sampai kamu puas?"

"!"

Tiba-tiba terdengar oleh Rizki suara dengan nada lemas di hadapannya.

Laki-laki yang sedari tadi tidur di meja itu mulai bergerak, kepalanya yang selalu menempel di meja kini tersandar pada bagian belakang kursi. Matanya masih setengah terbuka, tapi menurut Rizki, mata Bayu memang selalu seperti ini. Mau itu baru bangun tidur atau bukan.

"Akhirnya bangun juga kamu, Bay! Kamu kira sudah berapa lama aku nunggu?" ucap Rizki, nadanya sedikit lega.

Namun alih-alih menjawabnya, Rizki melihat Bayu mengangkat tangan kanannya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke udara. Mata Bayu yang tadi terbuka setengahnya kini ditutup, lalu tangannya yang tadi terangkat perlahan turun kembali.

"Oi!"

"Hmm… maaf sudah menunggu lama, tapi pekerjaannya aku tolak." ucap Bayu dengan santai.

Matanya kembali terbuka walau hanya setengah. Rizki yang mendengar perkataan itu matanya langsung membelalak.

"Eh?! E-E-EEEEEEEEEEEEEEEEH!!!"

"…"

"Kenapa?!"

"Karena kau akan mati. Walaupun aku pikir pekerjaan itu menarik, tapi mau itu aku ataupun kau, kemungkinan besar kematian adalah akhir,"

"Kenapa?! Aku bahkan belum kasih tahu pekerjaannya?!"

"Simpel, dari akun LIFE milikmu aku tahu pekerjaanmu sebagai jurnalis. Jadi, tinggal berpikir alasan seorang jurnalis sepertimu ingin bertemu dengan seorang sejarawan mitos, yang khususnya belum memiliki kontrak,"

"Tapi… kenapa?!"

Mendengar kata 'kenapa' terucap ketiga kalinya dari mulut Rizki. Raut muka Bayu yang selalu terlihat tak acuh itu sedikit kesal. Bayu tidak habis pikir betapa naïf teman di hadapannya. Bayu memegangi kepalanya dengan tangan kiri, lalu menghela nafas panjang.

"Pekerjaan yang mau kau tawarkan itu merupakan suatu tabu bagi sejarawan mitos. Kecuali kau mau mengorbankan dirimu sendiri, itu tidak akan menjadi masalah. Pertanyaannya, apa kau mau?" Tanya Bayu kepada Rizki yang masih dengan wajah polosnya.

Hanya dari raut muka Rizki saja, Bayu sudah dapat melihat banyak tanda tanya tergambar di sana. Melihat itu dalam waktu beberapa menit ke depan, Bayu menjelaskan tentang berbagai macam hal. Dari risiko pekerjaan yang mengumbar rahasia avonturir, lalu ke perang antar guild, hingga aksi yang akan dilakukan pemerintah untuk menghindari perang.

"Jadi sederhananya kau hanyalah tumbal bagi Vertikal untuk membuat sensasi,"

Simpul Bayu terhadap situasi temannya. Rizki yang dari tadi mendengar penjelasan Bayu hanya terdiam dengan mulut menganga. Tidak lama, Teh Ika datang membawa segelas kopi dingin. Sewaktu Bayu bagun tadi, Teh Ika melihat tangannya yang diangkat. Setelah beberapa tahun mengenal Bayu, Teh Ika mengerti kalau itu adalah tanda dari Bayu untuk memesan kopi.

Bayu yang menerima kopinya menundukkan kepalanya ke Teh Ika, sebelum menyeruput kopi dinginnya. Bayu melihat temannya masih mematung di kursi sebrang. Bayu menggelengkan kepalanya lalu berkata,

"Kalau kau tidak merubah sifatmu, sebaiknya kau pindah kerja ke tempat lain. Kantor berita yang tidak terlalu besar mungkin lebih cocok untukmu. Di tempatmu sekarang, cepat atau lama kau hanya akan jadi kambing hitam," tambah Bayu memperingatkan temannya.

"Aku tidak tahu kalau pekerjaan ini akan seberbahaya ini,"

"Kau ini belajar apa selama kuliah?"

"Haaa, kuliah apa? aku hampir lupa semuanya! Haaa… jadi kamu setuju datang hanya untuk memperingatiku ya? Terima kasih, bro!"

"Aku bukan bro-mu! Dan alasanku setuju untuk bertemu karena aku tidak mau melihatmu mati. Setidaknya bukan karena alasan yang bodoh."

Rizki yang mendengar perkataan Bayu, menunjukan sedikit senyum. Setelah itu mereka berdua berbincang hingga satu jam ke depan. Mengenai pengalaman mereka setelah lulus (tidur untuk Bayu), tentang teman-teman mereka sewaktu kuliah kerja nyata (KKN), dan kisah masa lalu mereka selama menjadi mahasiswa. Rizki dengan hati yang lebih gembira bercerita sambil diselingi tawa. Kalau Bayu, muka dan matanya masih terlihat masa bodoh seperti biasa, hanya ada beberapa kali senyum tipis tergambar di wajahnya.

Setelah satu jam, Rizki teringat harus pergi ke guild Hayam Mahkota untuk mengecek situasi Adi Hamerfid. Rizki bersiap beranjak dari kursi sebelum akhirnya dia mendengar Bayu bertanya,

"Ki, kalau tidak salah kau kenal sama Adi Hamerfid, kan?"

Mendengar pertanyaan dari Bayu, Rizki tertegun. Dia berpikir betapa kebetulannya pertanyaan ini hadir ketika dia baru saja mau pergi untuk mencari Adi. Lalu Rizki berpikir kalau mungkin ini bukan kebetulan. Adi dan Bayu merupakan satu angkatan di fakultas yang sama, jadi tidak aneh kalau Bayu bertanya tentang Adi.

"Iya, aku sama Adi sudah kenal sejak SMA,"

"Hmmm, kalau begitu… apa kau tahu di mana dia sekarang?"

Mendengar pertanyaan Bayu kali ini, Rizki mengernyitkan dahinya.

"Entahlah, emang kenapa?" Rizki balik bertanya.

Rizki tidak sadar kalau Bayu di depannya, walau hanya sekejap tapi matanya yang selalu tampak mengantuk itu sekilat menjadi dingin. Lalu dengan nada yang santai seperti biasa Bayu menjawab

"Adik kelasku, namanya Lesti, sudah tiga hari ini dosen dan teman-temannya mencari dia. Beberapa pergi ke kosannya tapi tidak ada jawaban, ditanya ke keluaganya pun percuma karena mereka juga tidak tahu. Kau tahu? Hal ini membuat Grup jurusan di LIFE-ku selalu berdering, dan ini membuatku agak jengkel. Terus aku ingat kalau Lesti sama Adi itu pacaran. Jadi ada kemungkinan kalau dia tahu keberadaan Lesti,"

Mendengar jawaban Bayu, Rizki merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kata tiga hari yang diucapkan Bayu terus terngiang di kepalanya. Rizki tahu kalau Adi mempunyai pacar bernama Lesti, tapi dia tidak tahu kalau keduanya sama-sama hilang kontak dalam tiga hari terakhir. Rizki merasakan firasat buruk terhadap situasi ini.

"Adi juga tidak kabar selama tiga hari ini,"

"Oh! Apa kau sudah cek ke guildnya?"

Rizki mengangguk lalu berkata, "Sudah, tapi mereka bilang kalau Adi mengambil misi ke luar tembok. Hanya saja, biasanya walau Adi pergi ke luar, kita masih berkomunikasi. Namun tiga hari belakangan ini semua pesanku tidak dibalasnya, mungkin sesuatu terjadi padanya?"

"Mungkin. Sempat menghubungi Lesti?" Tanya Bayu kembali. Kali ini Rizki menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu Lesti itu pacar Adi, tapi aku tidak mempunyai kontaknya. Kita hanya pernah bertemu sekali, itupun sekitar dua tahun lalu."

Mendengar perkataan itu senyum tipis hadir di muka Bayu, ia pun lalu memasukkan buku yang tersimpan di atas meja ke tasnya. Menghabiskan sisa kopi dinginnya yang tinggal sedikit. Lalu beranjak dari kursinya.

"Oke, mari kita pergi!" ucap Bayu sembari berjalan ke konter. Rizki tertegun.

"Kemana?"

"Kosan Lesti. Kau ingin mencari Adi, kan? Mungkin dia ada di kosan Lesti. Kosannya sejalur sama apertemenku, jadi kita bisa mampir sebentar," jawab Bayu sambil membayar kopi dinginnya di konter. Setelah itu mereka berdua berjalan ke luar sambil memesan satu mobil terbang lewat ponsel Bayu.

"Bukannya kamu bilang tadi kosannya kosong?"

"Iya, tapi mungkin sekarang tidak."

Keduanya menunggu taksi mobil terbang di depan gerbang universitas. Rizki tadinya ingin langsung pergi ke Hayam Mahkota untuk mencari Adi. Namun merasa tidak ada salahnya mengunjungi kosan Lesti, mungkin saja Adi ada di sana.

Rizki dan Adi sudah berteman sejak SMA, mereka bahkan menyewa kosan yang sama ketika masih mahasiswa. Walau Rizki tahu kalau sifat Adi tidak terlalu baik. Bagi Rizki, Adi tetaplah orang yang pernah menyelematkannya ketika SMA dulu. Adi bagi Rizki adalah seorang pahlawan dan Bayu jelas mengerti akan hal ini.

Tidak sampai lima menit, satu mobil terbang berhenti di depan Bayu. Mereka berdua pun masuk dan pergi ke arah kosan Lesti yang bisa dicapai dalam waktu sepuluh menit.

***

Reruntuhan kota Pangirutan, Negara Nusa.

Empat orang avonturir sedang berkemah di depan salah satu rumah kosong. Mereka tidak mendiami rumah kosong tersebut karena kondisi bangunan yang sudah rapuh. Keempat avonturir itu sedang bersantai setelah lelah menjelajahi reruntuhan kota yang telah menjadi hutan. Satu orang sedang menguliti seekor kambing yang berukuran kurang lebih tiga meter. Satu orang lagi sedang membaca linimasa LIFE di ponselnya. Dua orang lainnya sedang tertidur di tenda.

"Wow! Di! Vanessa bakal ke Nusa akhir agustus ini!"

Teriak seseorang dengan semangat setelah membaca berita di linimasa-nya. Orang yang diteriakinya adalah Adi Hamerfid. Dia sedang menguliti kambing di depannya dengan satu buah kris di tangannya. Kris ini merupakan salah satu dari dua artifak yang dimiliki Adi. Mendengar sorakan temannya, Adi menoleh ke arah temannya yang sedang menari kegirangan.

"Vanessa?"

"Vanessa Blumunt! Masa gak tau sih!"

"Ah! Tentu saja aku tahu. Tapi aku lebih suka sama Gwent, Vanessa dadanya kecil! Hahahaha!"

"Hah! Gwent gak ada apa-apanya! Cuma modal seksi! Suara sama lagunya gak bagus sama sekali!" timbal orang yang memegangi ponselnya itu. Lalu melihat kembali poster tentang konser Vanessa yang akan diadakan dua minggu ke depan. Lalu dia tersenyum dan tertawa sendiri. Adi melihat ini hanya menggelengkan kepalanya, lalu melanjutkan tugasnya kembali. Dalam pikiran Adi saat ini terdapat hal lain yang mengganggunya.

Menjelang sore, dari arah hutan di selatan tempat ke empat avonturir itu berkemah. Terlihat tanaman-tanaman tinggi berdesir, lalu muncul satu siluet dengan badan yang tegap gagah. Di tangannya tergenggam satu mahluk yang seperti dibungkus kain. Adi dan satu orang lain yang masih terbangun seketika gembira melihat siluet itu datang.

"Kapten!" teriak mereka berdua.

"Yo! Adi, Deni, mana yang lain?"

"Jajang sama Mukhlis lagi tidur di tenda. Akhirnya ketemu juga tuh pocong, ketemu di mana, kap?" jawab Adi sambil balik bertanya.

Misi mereka kali ini adalah menangkap pocong untuk dijadikan peliharaan seorang dukun di Kembang. Pada zaman kini, pocong sudah menjadi mahluk langka. Hal ini dikarenakan, pemakaman orang yang meninggal dilakukan secara hati-hati sehingga tidak membuat arwah orang yang meninggal menjadi gentayangan. Persentase pocong bangkit pada masa sekarang hampir nol. Mau itu ahli agama atau sejarawan mitos sudah tahu cara untuk menghindari kebangkitan mahluk ini dari alam kubur.

"Ketemu di sekitar perbatasan sungai di selatan sana. Okay! Besok siang kita pulang ke Kembang!" perintah orang yang dianggap oleh Adi dan Deni sebagai kapten mereka.

'Sudah tiga hari…' pikir Adi dalam hatinya.