webnovel

Sleepy Bookmaster

Ketika umurnya beranjak sepuluh tahun, Bayu tiba-tiba mendapati dirinya mengidap narkolepsi. Hidupnya yang dipenuhi tawa pun berubah menjadi kelam. Rasa kantuk selalu manghantui dirinya, membuat masa kecilnya lebih sering ia habiskan di kamar untuk tidur dan membaca buku. Waktu berlalu, Bayu kini telah lulus kuliah di umurnya yang ke-22. Namun pada suatu hari Bayu tiba-tiba mewarisi artifak berupa perpustakaan yang tertanam di alam bawah sadarnya. Di dunia yang telah dipenuhi oleh mahluk-mahluk fantasi dan supranatural, Bayu sedikit bergairah untuk melakukan sesuatu dengan kekuatan barunya. "Mari buat dunia ini semakin kacau balau! Haaa... tapi kalau kupikir lagi, aku terlalu mengantuk, mendingan juga tidur."

hatentea · Fantasi
Peringkat tidak cukup
299 Chs

Alkemis (2)

Jauh dari Kembang, di dalam sebuah terowongan yang telah terbengkalai oleh zaman. Seorang lelaki tua yang bermuka persegi dengan sudut tegas, rambut putih rapih disisir ke belakang, disertai brewok putih membuat wajahnya yang telah agak berkeriput telihat seperti pria bermartabat. Lelaki tua ini juga memakai kacamata dengan lensa bulat, badannya ditutupi dengan kemeja abu yang lengannya digulung hingga sikut, disertai celana bahan cokelat, dan sepatu pantofel hitam.

Lelaki tua itu sedang duduk di sebuah kursi sambil memerhatikan tabletnya yang menayangkan berita tentang Virgin Killer. Di sekitar lelaki tua itu terdapat berbagai macam peralatan yang biasa ditemui pada sebuah lab kimia. Walau berada di dalam sebuah terowongan yang terbengkalai, namun tempat lelaki tua itu berada tampak bersih dan rapih. Cahaya yang dipancarkan oleh lampu pun membuat orang di dalam terowongan tidak akan tahu kalau malam hari telah tiba, begitu juga sebaliknya. Pagi hari telah tiba di luar terowongan.

Setelah melihat kilasan mayat Virgin Killer di tabletnya, wajah lelaki tua itu agak muram. Ia lalu menengadah dan melihat tubuh dari berbagai macam mahluk tergantung di langit-langit terowongan. Manusia, harimau, goblin, siren, elang dan banyak lagi. Semuanya telah mati. Lelaki tua itu lalu memejamkan matanya, mengulang kembali percakapan yang tidak lama terjadi di dalam kepalanya.

Tidak lama, terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Suaranya bergema di sepanjang terowongan. Lelaki tua itu membuka matanya lalu melihat ke monitor di salah satu dinding yang menayangkan hasil rekaman di lorong. Terekam seorang lelaki kurus tinggi dengan senyum lebar sedang berjalan ke arah laboratorium miliknya. Melihat orang di monitor, lelaki tua itu tidak terlalu menggubris. Ia lalu berjalan ke sebuah meja pasien, yang sudah terdapat separuh tubuh pria paruh baya dengan perut dan dada terbuka.

Lelaki tua itu dengan telaten mengambil satu persatu organ tubuh dan memasukannya ke dalam tabung yang dipenuhi cairan pengawet. Berselang satu jam, sumber suara langkah kaki itu pun tiba di laboratorium. Melihat lelaki tua yang tengah sibuk dengan mayat, pria kurus itu tersenyum makin lebar.

"Zetta! Lama tak jumpa, mayat siapa tuh? Mau dibuat apa?"

Lelaki tua itu menoleh ke sumber suara, raut mukanya mengerut.

"Dokter,"

"Huh?"

"Dokter Zetta anak muda, jangan panggil namaku dengan seenaknya."

Pria kurus itu berhenti dalam langkahnya, dia melihat raut serius dari lelaki tua di hadapannya. Senyum di wajahnya sejenak menghilang namun kembali terlukis lalu mendekat ke tempat Zetta.

"Ayolah dokter, jangan sok serius begitu, kita ini teman, kan?"

Hanya berkisar lima meter sebelum pria kurus itu sampai ke tempat Zetta berdiri, dia lalu berhenti. Di sekitar lehernya tiba-tiba terdapat mata pisau sebuah sabit yang siap memotong. Pria kurus itu lalu melihat tangan kanan Zetta yang telah memanjang dan berubah menjadi sabit di sekitar lehernya. Pria kurus itu hanya bisa mengangkat ke dua tangannya.

"Okey, okey, aku masih mau hidup dokter. Aku tidak mau menjadi salah satu eksperimenmu."

Tangan Zetta pun kembali seperti semula.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Dimitri?"

Pria kurus bernama Dimitri itu kembali tersenyum lebar. Pria itu mempunyai rambut pendek perak yang dicepak rapi. Wajahnya tirus dengan mata biru yang membuatnya cukup tampan. Hanya senyumnya yang lebar itu membuat dirinya agak mengerikan. Zetta selalu merasa agak sulit untuk mengetahui isi pemikiran Dimitri dibalik senyum palsunya. Itulah alasan Zetta tidak ingin terlalu dekat dengan salah satu dari kerabatnya ini.

Dimitri yang sudah berada di depan Zetta, mengeluarkan sebuah amplop hitam dari sakunya.

"Raja kita memberikan kita misi. Ini milikmu dokter, aku tidak tahu kalau misi kita sama atau tidak."

Zetta ambil amplop hitam itu lalu membaca isi surat dari atasannya. Setelah selesai membaca, Zetta meniupkan udara dari dalam mulut ke arah kertas di tangannya, seketika percikan api muncul dan membakar seluruh surat itu menjadi abu.

"Apa misimu Dimitri?"

"Mencuri suara malaikat," ucap Dimitri dengan menyengir lebar.

"Hihihi, bawa kemari jika kau telah selesai."

***

Di sekitaran rumah Bardolf, garis kuning polisi telah terbentang mengelilingi, melarang orang-orang untuk masuk ke TKP. Terlihat banyak warga telah berkumpul, para reporter dan jurnalis pun sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Di dalam rumah, tepatnya di ruang tengah yang telah banyak dihiasi lubang, Kombes Yoga memerhatikan jasad Virgin Killer yang sedang direkam oleh ahli forensik. Raut wajahnya terlihat gusar setelah mendapati isi tubuh musuhnya yang tampak tidak memiliki organ dalam.

"Apakah Panji mengambil organ dalamnya?" tanyanya kepada para ahli forensik.

"Hm, kemungkinannya kecil pak. Tidak ada tanda-tanda luka di bagian dalam Virgin Killer yang mengidentifikasi itu, hanya ada satu tempat saja yang sepertinya diambil dengan paksa." Jawab salah satu dari ahli forensik, sambil menunjukkan lokasi bekas GPS tadinya berada.

"Kalau begitu bagaimana mahluk ini bisa hidup? Lalu apa kau tahu kemungkinan organ yang di ambil oleh Panji?"

"Belum bisa diketahui pak,"

Kobes Yoga lalu mendekat ke lokasi yang ditunjuk petugas, mukanya masam ketika melihat lokasi bekas sesuatu yang diambil oleh Panji. Melihat itu Kombes Yoga berpikir kalau sesuatu yang diambil oleh Panji kemungkinan berukuran seperti sebuah gundu.

"Apa yang diambil oleh Panji ini?"

Namun tidak lama seorang petugas memanggilnya dan menunjuk ke arah serpihan GPS di tanah.

"Apa ini?"

"GPS pak, saya yakin kalau ini merupakan GPS yang pernah diproduksi oleh Britain. Dari ukuran dan bercak darah, ada kemungkinan GPS ini adalah benda yang diambil oleh Panji dari tubuh korban."

"Jadi terdapat GPS di mahluk ini, buat apa?"

"Entahlah, tapi GPS jenis ini bukan cuma untuk melacak posisi namun bisa juga dipakai sebagai alat komunikasi jarak jauh,"

"Apa? Kalau begitu apakah ada kemungkinan kalau mahluk ini dikendalikan oleh orang lain?"

Petugas itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kombes Yoga melihat itu hanya bisa menyerah untuk saat ini, ia lalu menoleh kembali ke jasad dan memandangi sekitar ruangan yang telah hancur akibat perkelahian. Dalam pikirannya berkecamuk banyak pertanyaan. Dia takut akan adanya seseorang dibalik aksi Virgin Killer. Dia juga harus berpikir tentang Panji yang sepertinya memang memiliki kekuatan tempur setara dengan kelas platinum. Karena hal ini bisa menjadi harapan baru bagi Nusa, namun bisa juga sebagai bencana. Mengingat aksi Panji, dalam dua aksinya dia hanya membunuh dua orang kriminal. Seburuk-buruknya, Yoga berpikir kalau Panji bisa dikategorikan sebagai vigilante. Namun mengingat Union, ada kemungkinan Panji akan dimasukkan ke daftar pencarian kriminal.

"Bereskan semuanya dengan cepat, lalu setelah semua selesai, kirimkan jasad mahluk ini ke Sentral!"

"Laksanakan, Pak!"

***

Apertemen Bayu, Kota Kembang.

Bayu yang sudah sampai di apertemennya, langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan sisa darah dari tubuhnya. Setelah merasa segar kembali, Bayu berjalan ke dapur untuk membuat roti panggang dan segelas kopi dingin. Setelah selesai, ia bawa sarapannya ke ruang tengah, lalu memakannya sambil menonton berita di televisi.

Bayu melihat berita yang memberitahukan akhir dari teror seorang Virgin Killer. Diberitakan kalau polisi Kembang berhasil membunuh pembunuh berantai itu dini hari di utara Kembang. Bayu tidak terlalu memperdulikan ketika mendengar capaian miliknya diklaim oleh kepolisian, wajahnya masih datar seperti biasa. Hanya saja suara merdu di kepalanya berkata lain,

<Apa-apaan mereka?! Tuan Bayu-lah yang membunuh mahluk kejam itu, kenapa mereka seenaknya mengambil kredit yang seharusnya milik tuan!>

Bayu hanya bisa mengeluarkan nafas panjang ketika mendengar ocehan Ayu yang seperti tidak ada habisnya. Ini pertama kalinya Bayu mendegar Ayu menjadi begitu cerewet.

'Haa, ke mana Ayu yang selalu tenang pergi?'

Setelah cukup lama, suara Ayu kini berubah menjadi suara nafas yang terengah-engah. Menghabiskan kopi dinginnya, Bayu lalu bertanya kepada Ayu yang sudah tenang kembali.

"Bagaimana Fara?"

<Fara Blairheel sudah dibawa ke rumah sakit oleh pihak kepolisian. Saat ini dia masih tidak sadarkan diri.>

Bayu lalu membawa bekas piring dan gelas ke dapur yang lalu ia cuci di bak cuci. Setelah selesai Bayu lalu mengambil buku dari kamar bacanya, membawanya ke kamar tidur. Ia berbaring, lalu mulai membaca buku dengan mata yang mulai suntuk.

"Beritahu kalau Fara sudah selesai dengan segala urusannya, aku membutuhkannya untuk malam nanti."

<Baik tuan.>