Aku terbangun dengan selimut besar menutup seluruh bagian tubuhku. Aku sudah tidak merasa panas atau pusing yang berlebihan lagi. Aku mencoba menoleh ke sekelilingku, aku menyingkapkan selimut dan mencoba untuk duduk.
Tentu saja kepala ku masih sedikit pusing. Bohong jika aku merasa baik-baik saja setelah semalam tidak sengaja mengurup aroma terapi yang aku nyalakan di kamar. Aku memang ceroboh, harusnya aku bertanya terlebih dahulu mengenai aroma terapi tersebut.
Aku menyandarkan tubuhku ke punggung tempat tidur besar ini. Tiba-tiba saja aku tersadar, mengapa ruangan ini menjadi rapi? Seolah tak terjadi apapun?Apakah seseorang telah merapikannya?
Telepon genggam berbunyi. Aku menoleh dan meraihnya.
Jika kau sudah bangun tolong hubungi aku
Membaca pesan singkat dari Lux membuatku semakin merasa tidak nyaman. Aku memutuskan mengabaikan pesan tersebut. Aku tidak ingin ia terlalu mengintervensi hidupku.
Aku beranjak dari tempat tidur perlahan. Berusaha mencari di mana pakaianku. Lagi-lagi aku tidak menemukannya. Mungkin sudah diambil dan dirapikan. Lux adalah orang yang tidak bisa hidup berantakan.
Merasa tak menemukan apapun untuk menutupi tubuhku, aku membuka lemari pakaian. Hanya ada beberapa pakaian pria sederhana. Ini pasti milik Lux. Aku menutup lemari yang berisi pakaian lipat. Membuka lemari lain yang berisi pakaian gantung. Hanya ada kemeja-kemaja milik Lux.
Tak ingin putus asa, aku menuju kamar mandi dan mengisi bak mandi dengan air hangat dan air dingin. Setelah penuh dan suhunya sesuai, aku menceburkan diriku ke bak mandi tersebut. Aku perlu menenangkan pikiranku. Menyusun rencana dan keluar dari situasi ini.
Setelah setengah jam berendam, aku mulai mengambil shampoo dan sabun untuk membersihkan diriku. Mungkin harusnya aku pergi ke salon khusus untuk membersihkan seluruh tubuhku dari rasa jijik ini.
Selesai dengan membersihkan diri, aku mengambil handuk yang masih terlipat di powderroom. Aku beruntung, setidaknya masih ada handuk bersih di sini. Aku mengeringkan rambut dengan pengering rambut dan mencoba menyisir rambut sebisaku.
Aku mengamat-amati tubuhku yang terbalut handuk besar. Menyedihkan, ku rasa aku harus mengambil salah satu kemeja Lux agar bisa keluar dari kamar ini dan mengambil pakaianku di kamarku sendiri.
Pilihanku jatuh pada kemeja berlengan putih panjang. Setidaknya kemeja ini biasa menutup tubuhku sampai sekitar lima belas centi meter di atas lutut. Aku harus bergegas keluar dan mengambil pakaian.
Saat aku membuka pintu, aku melihat cahaya matahari yang begitu menyilaukan. Cahaya itu berasal dari sisi tengah rumah ini yang tidak tertutup melainkan langsung dengan halaman belakang dan kolam renang. Aku benar-benar tertitur sampai siang rupanya.
Menuruni tangga perlahan seseorang memanggilku.
"Nona Vina?"
Aku menoleh ke sumber suara itu.
"Luke? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku spontan.
Ia secara tak sadar melakukan scaning padaku dari ujung kaki sampai ke rambut. Setelah sadar, ia mulai bicara.
"Tuan Luke meminta saya menjemput anda." katanya. Ia berusaha tidak fokus pada tubuhku dan berusaha tetap professional meskipun melihat keadaanku.
"Nona Vina?" suara Sandra terdengar dari arah lain. "Anda sudah bangun, rupanya. Tuan Luke memintaku untuk memastikan anda baik-baik saja."
Begitukah? Memintamu memastikan atau memintamu menanyakan mengapa aku tak menghubunginya?
"Tentu saja, aku baik. Katakan padanya aku bermaksud memberi tahunya setelah ini."
Sandra mengangguk.
"Tuan, Luke kurasa Nona Vina membutuhkan waktu untuk bersiap-siap. Anda bisa menunggu di ruang tengah"
Perkataan Sandra dilontarkan tepat pada waktunya. Tepat pada saat mata Luke secara tak sadar kembali focus pada tubuhku.
"Tentu saja, aku akan menunggu" jawab Luke sedikit gelagapan.
Aku segera pergi meninggalkan dua orang itu menunju kamar. Sementara Sandra pergi ke dapur. Luke terlihat berusaha focus pada tugasnya.ia berjalan menjauh dan duduk di sofa tengah menyalan televise untuk mengalihkan matanya dariku.
Baru saja aku membuka lemari, telepon di kamarku bordering.
"Mengapa tak menghubungiku?"
Mendengar suara Lux, dengan malam aku menjawab bahawa aku tak ingin membuatnya repot.
"Baiklah, apa Luke sudah datang?"
"Benar, ia ada di ruang tengah."
"Bagus, ikutlah dengannya. Aku tunggu di sini."
Belum sempat aku menanyakan ia menunggu di mana, Lux mematikan teleponnya.
Aku meletakkan kembali gagang telepon dan mengambil sehelai pakaian santai. Dengan make up tipis aku keluar dari kamar.
"Lux memintaku ikut denganmu."
Luke menoleh ke arahku yang bediri di sampingnya.
"Tentu, Sandra juga ikut"
Setelah Sandra siap Luke membawa kami berkendara. Aku duduk di belakang sedangkan Sadra duduk di depan menemani Luke.
Aku tak tertarik dengan apa dan mengapa Luke membawaku dan Sandra pergi.
"Kita sudah sampai."
Luke memarkir mobil miliknya dan kami bergegas keluar. Ia telihat cekatan saat aku hendak mmebuka pintu, ia melonjak membukanya.
"Mengapa kita ada di sini?"
Sandra mengandeng tanganku. Ia tak banyak bicara dan terus membawaku berjalan. Di lobi, setelah luke bertanya ke resepsionis, ia membawa kami kesebuah ruangan.
Saat kami membuka pintu aku melihat Lux sedang bicara dengan seseorang berkulit hitam namaun bermata biru. Di sebelahnya ada orang Indonesia yang beberapa waktu lalu aku temui di kantor kedutaan.
"Kau baik-baik saja?" Lux tiba-tiba menghampiriku dan memberikan pelukan.
"Kau berlebihan Tuan Lux" jawabku singkat. "Aku baik-baik saja."
Lux membawaku mendekati sebuah meja dengan beberapa dokumen.
"Baiklah, kita semua berkumpul untuk menjadi saksi atas pernikahan Tuan Lux Hemel Imanuel dan Nona Covina Ven. Apa semua saksi sudah siap?"
Pernikahan?
"Bisa kau jelaskan apa maksud dari semua ini?" tanyaku tajam pada Lux.
"Permisi, aku harus bicara dengannya"
Lux menggandengku keluar ruangan. Setelah pintu tertutup barulah kami mulai bicara.
"Seperti yang kita sudah sepakati semalam. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku."
"Ha?"
Dia sudah gila rupanya.
"Aku tak menyetujui apapun denganmu Lux" kataku memberi penekanan. "Kau tak perlu bertanggung jawab apapun. Yang kau lakukan semalam hanya sebuah kesepakatan. Bukankah kalian orang-orang barat suka meniduri wanita bahkan meskipun kalian tidak mengenal wanita itu?"
Kata-kataku tepat mengenai sasaran. Lux menunjukkan ekspresi tidak nyamannya.
"Tidak denganku!" jawabnya dingin. Wajah kecewa terlintas jelas dari matanya. Ia terlihat berusaha keras mengendalikan emosi di dalam dirinya.
"Vina dengar, jangan membuatku malu. Kembali dan tandatangi saja akta pernikahannya. Apa aku perlu memutar rekaman semalam?"
Lux berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Jika kau tidak percaya, aku akan mengirimkan rekamannya kepadamu."
Aku terdiam tak bisa berkata apa-apa. "Jadi kau sengaja merekamnya? Apa tujuanmu?"
"Tidak ada Vina. Semua aktivitas di rumah akan otomatis terekam dan hanya aku yang bisa membuka rekaman itu."
Aku tertawa dan hampir terjatuh karena lemas. Aku beruntung ada tembok dibelakangku sehingga aku bisa bersandar.
"Bukankah kau bisa mematikannya?"
"Benar, tapi aku yakin jika kau mematikannya maka kau akan menolakku dan mengingkari kesepakan kita."