webnovel

Sebuah Keputusan Penting

Aku adalah anak pertama. Semua hal yang aku inginkan, haruslah kucapai dengan usaha dan doa. Bukan dengan airmata, memelas, meminta belas kasihan dari orang lain.

Sejak kecil, aku tidak hidup dalam dunia gemerlap seperti kebanyakan anak. Aku nyaris tak punya teman. Bukan karena ayahku terlibat korupsi, atau ibuku seorang kriminal. Lebih kepada aku tidak terlalu nyaman berinteraksi dengan mereka.

Sangat mudah bagiku mengetahui, apakah orang itu baik atau jahat. Sejak lagir aku memiliki kemapuan tersebut. Dengan mudah aku bisa menganalisa, apakah orang itu tulus atau mereka memiliki suatu misi tersembunyi. Hal inilah yang membuatku lebih protektif dan sangat berhati-hati.

Sebagi anak pertama, aku bisa dibilang produk gagal dari keluargaku. Siapa yang ingin punya anak yang selalu menyusahkan dengan mimipi-mimpi tak logis sepertiku? Tidak ada. Tak ada orang tua yang seperti itu.

Kebanyakan dari mereka menginginkan anak normal, dengan cara interaksi normal. Tentunya dengan cita-cita normal, sesuai keadaaan di mana engkau berada. Tapi tidak denganku. Aku berbeda.

Aku tak suka barang-barang yang umum. Bagiku keindahan bukan karena sedang tren, tapi karena berbeda. Caraku bicara, memilih pakaian, tas dan semua hal sungguh sangat berbeda. Hanya dengan sekali lihat, orang akan menyadari bahwa aku memiliki selera yang jauh di atas orang normal.

Tentunya, memiliki anak sepertiku adalah sebuah tekanan luar biasa bagi keluargaku. Ditambah, aku tak tertarik sama sekali dengan mencari beasiswa.

Tapi kalian harus tau, aku sangat beruntung. Memiliki Tuhan yang siap mendengar keluh kesahku tiap hari. Dua puluh empat jam non stop. Mendengar, dan membantuku. Terkadang juga menghajarku jika aku tak baik.

Tuhan juga yang memperjuangkan setiap hal yang aku inginkan. Baju bagus, tas, perhiasan, pekerjaan sampai perawatan wajah. Entah aku menyedihkan atau beruntung. Yang aku tahu, hanya Tuhan yang ada di pihakku.

Sejujurnya, aku juga heran dengan hidupku. Banyak keinginan, kurang dukungan. Entah jika tidak ada Tuhan apa jadinya aku. Mungkin aku hanya akan jadi gelandangan yang kelaparan. Sungguh ajaib Tuhan itu. Ia membuatku mendapat pekerjaan.

Bicara masalah Tuhan, Dialah satu-satunya yang membuatku memutuskan hal tanpa berfikir panjang. Alasannya selalu karena keadaan. Jika direka ulang, semua kejadian di hidupku seperti dibuat tanpa pilihan. Dibuat untuk mau tak mau dijalani.

Terkadang iri, melihat teman bisa memiliki banyak pacar sekaligus dalam satu waktu. Melihat teman bisa membeli barang-barang mewah. Sedangkan aku, aku selalu mendapat terbaik tanpa memilih. Mendapatkan berkat terbaik, tapi semua tanpa pilihan. Dan tentu saja membuatku cukup tercengang dan iri.

Itulah sekilas tentang hidupku. Aku tak minta dipahami oleh siapa pun, karena aku yakin Tuhan mengerti.

Kembali ke dunia nyata, hari ini adalah ahri terakhir aku mengajar. Aku memutuskan untuk pergi dari sekolah ini. Aku sudah lelah dengan semua yang aku alami. Bilang saja aku suadah tak sanggup hidup seperti ini.

"Jika sudah tak ada lagi pertanyaan, kalian boleh meninggalkan kelas.demikian pelajaran hari ini. Selamat siang.", kataku menutup kelas

Semua siswa berdiri dan memberiku salam. Aku pergi dengan membawa semua hal yang aku perlukan untuk memulai kelas.

"Miss, tunggu Miss!"

Seorang anak mengejarku.

"Lya?" tanyaku sambil menghentikan langkaku. Ia anak yang cukup cerdas. Cukup cerdas untuk mencur-curi waktu ke toilet atau hanya sekedar jalan-jalan karena bosan.

"Miss, saat keanaikan kelas nanti. Guru Bahasa , Miss lagi?"

Aku terkejut dengan pertanyaanya.

"Tidak, mengapa?"

Anak itu tak menjawab dan langsung pergi begitu saja.

"She is not going to teach us again…." Teriak Lya pada teman-teman dikelasnya. Aku mendengar beberapa anak bersorak dengan keras.

Kurasa mereka lelah dan bosan belajar denganku.

Aku masuk ke ruang guru. Duduk dan melihat jadwal. Kelas Lya adalah kelas terakhir hari ini. Minggu depan sudah ujian kenaikan kelas. Mereka sudah tidak membutuhkan aku lagi. Ujian akan dijaga oleh guru-guru lain secara acak. Semua nilai sudah jadi. Tes akan diperiksa oleh computer dan guru pengganti akan memasukkan nilainya secara tepat.

Aku melihat jam, sepertinya masih sekitar tiga jam sebelum jam kantor berakhir. Apa yang bisa aku lakukan?

Aku melirik, guru-guru lain, mereka sibuk sekali. Ada yang sibuk memeriksa pekerjaan siswa, ada pula yang mendiskusikan banyak hal dengan siswa-siswa bermasalah.

Di sebelahku, Nera sedang sibuk membuat persiapan mengaajar tahun depan. Aku menghela nafas dan memeriksa ponselku. Tak ada yang penting.

Aku melihat kalender. Harinya sudah semakin dekat. Satu hari berlalu. Dan hari baru akan datang. Aku mengambil pena merah dan mencoret tanggal pada kalender hari ini.

Tak berselang lama aku mendengar suara orang mendengkur. Aku menoleh kebelakang dan kulihat Ronald sedang tertidur di bawah meja guru. Dia memang sudah biasa tertidur saat selesai mengajar. Mungkin ia lelah dengan semua rutinitas mengajar di sekolah internasional.

Diam-diam aku mengambil kantong plastik besar yang tak terpakai. Aku melepas semua tempelan di mejaku. Kalender pendidikan, jadwal mengajar, catatan-catatan penting. Aku juga membuka-buka laci meja. Semuanya sudah tak kuperlukan lagi. Aku memasukkannya ke kantong plastik.

Telepon bordering, Nera degan sigap menggangkatnya.

"Teachers' room. May I help you?", tanyanya. "Oh, Ok"

Nera memberikan teleponnya padaku.

"Halo, Miss Covena Ven, bisa ke ruangan saya?", tanya suaa dari balik telepon. Aku segera tau kepala sekolah memanggilku.

"Tentu, saja akan datang. Terimakasih."

Tak lama aku sudah sampai ke ruang kepala sekolah. Pria itu sudah duduk dengan rapi di depan meja bundar terbuat dari kaca.

"How are you Miss Covena Ven?" tanya Tara yang mengawali pembicaraan kami. Selalau diawali dengan menanyakan kabar.

Aku tersenyum dan menjawab seperti biasa."Good"

Tara tersenyum padaku. Di depannya ada beberapa lembar kertas. Di sebelah kiri ada Galiel dan di kanannya ada wakil kepala sekolah Andi.

"Miss Co, jadi gimana? Apakah masih ingin mundur dari sekolah ini?"

Aku tersenyum. Tara tersenyum balik. Ia tau keputusanku sudah bulat.

"Kalau boleh saya tau, apa sebenarnya alasan Cov mundur?"

Aku berfikir sejenak, dan memandang dua orang di sisi kanan dan kirinya. Aku tersenyum. Terlintas berbagai alasan namun satu yang keluar.

"Saya senang bisa mengajar di sini, tapi sepertinya Tuhan ingin saya pergi."

Tara memandangiku dengan heran. "Kamu nggak berantem sama guru lainkan?"

Aku tertawa. "Saya bukan tipe seperti itu Pak. Berantem terus re-sign. Itu bukan saya." Jawabku tenang.

Tara mengambil kertas, meletakkannya di depanku.

"Ini surat pengalaman kerja kamu. Saya harap kamu bisa bekerja di tempat yang lebih baik dan semua impian kamu tercapai. Tanda tangan dulu di sini!"

Aku menandatangai semua hal. Dan tentunya dengan ini semua masalah sudah selesai.

"Miss Covena Ven, terima kasih selama ini sudah bekerja dengan baik." Sambung kepala wakil sekolah Andi "Semoga kita masih bisa ketemu di lain kesempatan lagi ya Miss."

Aku menyalaminya lalu mengucapkan banyak terimakasih. Aku juga menyalami Galiel dan mengucapkan salam perpisahan.

"Miss Cov, nggak ngomong apa-apa kan ke guru-guru yang lain?" tanya Tara padaku. Ia takut jika aku mengatakan hal yang tak sepatutnya aku katatakan.

"Not even a single word" jawabaku. Aku tak mengatakan satu patah katapun.