Aku tak mengira, Lux akan bisa menemukan hal seperti ini. Bagimana mungkin semua ini bisa terungkap. Sebelum aku ke sini aku telah menghilangkan semua hal yang berhubungan dengannya. Baik di media sosial maupun apapun yang berhubungan dengannya.
Luke pasti orang di balik semua ini.
"Aku bisa membantumu balas dendam. Cukup katakan, kau ingin ia menjadi seperti apa dan semua itu akan terjadi."
Aku menatap tajam Lux. Aku melemparkan semua data yang ia berikan ke lantai.
"Kau licik!" kataku marah. "Aku tak mengira kau akan mencampuri semua masa laluku. Ku kira orang kulit putih seperti kalian bisa menghargai apa yang disebut privasi. Ternyata aku salah!"kataku.
Dengan cepat, Lux menarikku ke pelukannya.
"Ia tidak pernah mencintaimu Vina. Mengapa harus mengorbankan perasaanmu untuk orang sepertinya?"
Aku berusaha membuat tubuhku lepas dari Lux.
"Aku sudah tidak mencintainya lagi. Diam dan jangan gangu aku lagi!" bentakku.
Lux melepaskan pelukannya. Aku segera berjalan keluar dari kamar.
"Berhentilah berharap ia akan datang. Ia tak akan pernah datang padamu Vina. Ia sudah menyerah pada hidupnya. Pria seperti itu, sebaiknya tidak perlu dicintai."
Aku berhenti. "Lantas pria seperti apa yang pantas dicintai?" tanyaku. "Pria yang mendirikan perusahaan yang sanggup membunuh dan mencuci otak orang lain? Atau pria yang menggunakan wanita lain untuk melindungi diri?"
Lux terdiam. Ia tak menjawab. Aku menutup pintu dan berjalan ke bawah. Alexander Hendrika. Bagimana kau bisa menghadapi Lux, jika ia menemukanmu.
Aku berjalan ke kamar di lantai bawah. Aku membukanya dan masuk ke dalam. Sepertinya malam ini, akan lebih baik jika aku menghindarinya. Ia bukan hanya monster tapi juga orang gila yang ingin mengendalikan siapapun di sisinya. Tak heran, Georgia ingin mengakhiri hubungan mereka.
Aku membuka lemari, tak kutemukan pakaian yang bisa aku pakai. Aku keluar dan bermaksud pergi ke ruang Laundry. Aku harap, ada beberpa helai pakaian yang bisa ku kenakan.
Berjalan melewati dapur, aku melihat Haldin membawa se-ikat buket bunga mawar merah.
"Kau akan membuangnya?" tanyaku. Pria itu terlihat tak ingin menjawab.
"Tuan Lux, tak ingin ini ada di sini." Jawabnya singkat. Aku mendekatinya. Mengambil selembar kertas.
"Georgia Snail?" gumamku. Aku mengambilnya dan membaca isi surat itu. Ia mengucapkan selamat atas pernikahanku dan Lux. Belum selesai aku membacanya, Haldin mengambil surat itu dari tanganku. Ia segera pergi.
Aku menoleh kebelakang. Pantas saja ia tiba-tiba takut. George melihat Lux datang.
"Kita harus bicara" katanya.
Aku mengabaikanya dan pergi ke ruang Laundry. Aku tak peduli jika ia mengikutiku.
"Aku tak ingin kita seperti ini" katanya lagi.
Aku masih diam membuka pintu kamar dan mengganti pakaianku.
"Aku tak bermaksud mencampuri urusanmu dengan mantan kekasih yang sampai saat ini masih kau cintai. Hanya saja…"
"Hanya saja apa?" tanyaku.
"Aku semakin tak bisa memahamimu Vina." Katanya.
Aku terdiam. "Kau tak perlu memahamiku. Pernikahan adalah sebuah kesepakatan. Jangan khawatir, aku tahu batasan apa yang bisa aku lakukan dan mana yang tidak. Aku juga tidak membatasimu. Jika kau ingin keluar dengan wanita lain. Itu urusanmu." Kataku sinis.
Ia menghela nafas dan merebahkan diri.
"Georgia, berlutut dan memohon aku kembali padanya beberapa saat setelah kami bercerai. Kau, malah bersikap seolah pernikahan ini tidak berarti apapun." katanya.
Aku mendekatinya. "Pernikahan yang hanya dibangun dari rasa cinta, cepat lambat akan hancur. Pernikahan harus dibangun atas kesepakatan menurutku."
Lux menarik tubuhku mendekat. "Lalu, mengapa kau sampai ingin bunuh diri, karena ia meninggalkanmu?"
Pertanyaan itu terasa seperti petir yang menyambar pohon. Tepat sasaran.
"Alasan kau datang ke Sleep and See adalah, karena kau ingin mati. Kau tahu benar, seseorang akan mati jika tak bergerak selama dua puluh tahun. Program yang kami tawarkan. Sebenarnya semacam uji coba. Dan kau, dengan suka rela mau menyerahkan nyawamu untuk kami."
Aku mencoba bagun, namun Lux menahanku. "Jawab aku. Apa kau mencintainya?"
Mendengar pernyataan itu, tiba-tiba tubuhku menggigil. Aku merasa oksigen di sekitar ini habis dan hampir pinsang dibuatnya. Pikiranku kembali ke masa lalu. Masa penatian sia-sia yang akhirnya membuatku patah hati. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa.
"Vina, ia tidak mencintaimu. Aku telah menyeledikinya. Dia tidak mencintaimu. Jangan jadi kejam, hanya karena satu orang seperi itu. Katakan, apa kau masih mencintainya?" tanya Lux.
"Apa kau masih berharap keajiban terjadi?" desaknya lagi.
Makin di desak, aku makin gugup dan gelisah. Tak tahu harus berkata apa. Tak ingin terus di desak, aku mengambil sebuah tindakan dari pada jawaban.
Aku mencium Lux dan menuruti keinginnya.
"Ini bukan jawaban", katanya. Aku tak peduli, ia pun tak mampu menolakku. Sedetik pun tidak. Sampai ia pada kesimpulan, hati ku tak akan pernah ia dapatkan, tapi ia dapat memilikiku.
Aku terbangun setalh beberapa saat tertidur. Lux sudah tidak ada di sampingku. Aku melihat jam, dan membuka jendela. Matahari sudah tidak ada. Sudah hampir jam makan malam.
Aku mengambil pakaian dan merapikan diri sebelum keluar. Saat aku memengang handle pintu, aku mendengar Lux bicara pada seseorang.
Seorang wanita. Tak ingin terlihat buruk, aku memutuskan untuk menunggu wanita itu pergi. Satu, dua, tiga, hingga tiga puluh menit wanita itu tak pergi juga.
Aku mengangkat telepon dan memanggil Sandra. Aneh, ia tak menjawab. Aku memanggil, Haldin supir tidak dia asisten Lux. Ia juga tak menjawab. Suara aneh mulai terdengar.
Seperti suara suatu benda yang pecah. Aku bingung harus keluar atau menunggu. Karena suara itu terulang, aku keluar tanpa pikir panjang.
"Lux?" teriakku. Aku segera mendekati wanita yang berusaha menusukkan suatu benda tajam padanya.
Astaga itu pisau. Di mana semua orang pikirku. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku mengambil vas Bungan dan memukul wanita itu.
"Kau sudah bosan hidup!" teriakknya. Ia berbalik.
"Georgia Snail?" tanyaku panik.
"Vina lari! Dia sudah gila! Dia akan membunuhmu!"
Tak tahu harus bagimana, aku berusaha lari. Sementara itu, aku melihat Lux berdarah di lengan-lengannya. Apa itu ulah Georgia? Tanyaku dalam hati.
Baru saja aku berusaha lari, Georgia menangkapku. Ia mencekik dan berusaha menusukku.
"Lepaskan dia!" teriak Lux. "Lepaskan Georgia!"
Lux tampak ingin bangkit, namun ia terjatuh lagi. Aku menggigit tangan Georgia dan ia menjerit. Aku mendorongnya dan lari. Naas, aku tak melihat apa yang ada di depanku.