webnovel

Skater Maut

Suara berdenging kembali memenuhi kepala Along, sehingga membuatnya terguncang. Profesor Le Gio segera menekan tombol, dan Along kembali tenang. Profesor Le Gio mendekati Along dan melepas helmnya. "Apa yang terjadi?" bisik Along, untuk sementara dia kebingungan. "Apa yang terjadi?" Ternyata Along masuk dimensi lain. "Luar biasa, saya seperti melihat film bioskop!" seru Along, "Armada kapal China. Profesor pernah mengalami itu?"

"Ya, tapi film yang lain," jawab Profesor Le Gio, tertawa. "Rahasiakan program ini. Termasuk tempat ini. Kalau cerita yang kamu dapat, ya, itu untukmu. Kuncinya, rahasiakan tempat ini. Sampai saatnya tiba aku memperkenalkan program temuan ini." Profesor Le Gio juga membuat skateboard Along menjadi special, yang tanpa bobot dengan keseimbangan prima. Di mana pun Along tak akan jatuh. Ada remote khusus untuk itu. Profesor Le Gio berjanji akan menghubunginya, tanpa memberi nomor telepon atau lainnya kepada Along.

Sejak memiliki skateboard sakti itu, Along dipenuhi rencana-rencana, tapi lebih banyak ingin mendapat perhatian Rati. Maka ketika jam istirahat sekolah, Along mengajak Teng Teng dan Dito memasang tali plastik yang biasa sebagai tali jemuran, di halaman sekolah. Along siap beraksi. Dipakainya baret merahnya, lalu: up! Dengan ringan dia melompat ke atas tali, meluncurlah Along dengan skateboardnya. Semua pun terbelalak, termasuk para guru. Lompat tinggi semeter tidak pernah berhasil, kenapa sekarang bisa seperti ini? Along merasa belum puas dengan tali itu, maka mumpung banyak yang melihatnya segera melompat ke pagar sekolah. Gila, padahal ujung pagar itu bergerigi tajam! Wah, banyak yang ngelus dada. Tapi banyak pula yang nyumpahin agar jatuh. Setelah puas, Along mendarat dengan sempurna. Tak urung tepuk tangan pun membahana dengan kekuatan 3,5 skala richter. Sejak saat itu menjadi idola yang dielu-elukan. Kehebatannya di skateboard dengan yoyo saja sudah membuat kagum, apalagi dengan kemampuan barunya itu. Along sempat melihat Rati yang ikut bertepuk tangan penuh kekaguman, hatinya senang sekali.

"Wah, kita punya seorang pemain sirkus baru," kata Pak Joko, sang kepala sekolah. Tapi Pak Joko membisikkan sesuatu kepada Guru BP, "Panggil dan wejang anak itu agar tak mengulanginya lagi."

"Skater maut," ujar guru lainnya.

"Wah, bisa kita libatkan untuk mencari dana sekolah," ujar Wion, yang bendaharawan Osis.

Along tidak hanya berkutat dengan atraksinya saja, dia juga mencari referensi tentang pelayaran Laksamana Cheng Ho. Memburu buku-buku tentang pelayaran besar itu, membuka internet dan bertanya kepada Bu Yim. Tentu saja itu mengagetkan Bobi, yang selama ini tak ada saingan dalam pelajaran sejarah. "Kelenteng Sam Po Kong adalah penanda singgahnya Cheng Ho di Semarang," jawab Bu Yim, ketika Along menanyakan kebenaran cerita yang didapat di lab Profesor Le Gio.

"Bukankah dia seorang muslim?" tanya Bobi, hanya memancing, tak mau jatuh gengsi gara-gara Along.

"Ya, tapi dia sangat dihormati oleh saudara-saudara kita yang Thionghwa. Tempat yang dibangun kelenteng itu dulu adalah sebuah goa, tempat Cheng Ho berteduh saat hujan. Kala itu dia sedang mencari arah angin untuk melanjutkan pelayarannya ke arah timur. Dia juga disebut Sam Po Tay Jin. Kapal yang ditumpangi Laksamana Cheng Ho disebut kapal pusaka atau Baochuan, dan merupakan kapal terbesar dalam pelayaran itu. Panjangnya 120 m dan lebar 50 meter. Kapal tersebut mengangkat upeti, harta benda, duta besar, dan keluarga kerajaan yang ikut dalam pelayaran muhibah tersebut. Berat kapalnya 2.700 ton, lima kali lipat dari berat kapal Colombus." Along dan murid yang lain mengangguk mendengar cerita bu guru sejarah.

"Pada bulan Juli 1405 mereka meninggalkan ibu kota Nanjing. Pada tahun 1421, setibanya Cheng Ho di Calicut India, dia kembali pulang ke China. Sementara sebagian armadanya melanjutkan pelayarannya keliling dunia. Panglima di bawah Cheng Ho adalah Panglima Zhou Wen, Panglima Hong Bao, dan Panglima Zhou Men. Jadi jauh hari sebelum Colombus melakukan pelayaran dan menemukan benua Amerika pada tahun 1492, juga sebelum Vasco da Gama menemukan India, Cheng Ho telah melakukan pelayaran keliling dunia. Ferdinand Magelland yang merintis pelayaran keliling dunia kalah cepat 114 tahun. Cheng Ho melakukan pelayaran antarbenua tujuh kali berturut-turut dalam waktu 28 tahun, 1405 sampai 1433. Tidak kurang dari 30 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika yang disinggahinya."

Ekspedisi Cheng Ho ke Samudera Barat, sebutan untuk laut sebelah barat Laut China Selatan sampai Afrika Timur, mengerahkan armada raksasa. Pelayaran pertama melibatkan 62 kapal besar dengan 27.000 awak kapal dan prajurit. Pada pelayaran ketiga mengerahkan 48 kapal besar dengan awaknya berjumlah 27.000. Sedangkan pada pelayaran ketujuh ada 61 kapal besar dengan awak 27.550. Bila dijumlah dengan kapal-kapal kecilnya, armada kapal itu rata-rata setiap pelayaran ada 200-an kapal. Bandingkan dengan Colombus yang hanya dengan 3 kapal dengan 88 awak kapal. Pelayaran pertama 1405, singgah di Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa. Pelayaran kedua dilakukan pada tahun 1407 sampai 1409, pelayaran ketiga pada 1411 sampai India dan Srilangka. Pada ekspedisi keempat pada 1413 sampai 1415 mereka sampai Aden, Teluk Persia, dan Moghadisu di Afrika Timur.

Pelayaran Cheng Ho menghasilkan Peta Zheng He Navigation, yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad 15. Buku itu berisi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan China pun berubah, tidak hanya menggantungkan pada jalur sutera, antara Beijing dan Bukhara di Timur Tengah. Pelayaran Cheng Ho berhenti pada tahun 1433, karena Cheng Ho meninggal dunia dan dimakamkan di Pantai Malabar saat pelayaran pulang ke China. "Tapi ada makamnya di Nanjing, yang diperkirakan kosong, hanya sebagai simbol saja," terang Bu Yim.

Kapal Cheng Ho juga membawa binatang-binatang dari tempat yang disinggahinya, terutama binatang yang tidak ada di China. Kapal dengan tiang layar berjumlah sembilan adalah kapal raksasa pada waktu itu. Layarnya berbentuk segi empat terbuat dari kain tipis dengan diberi kakuan bambu. Kakuan bambu yang menopang layar memudahkan untuk dilipat dan sebagai panjatan bagi awak kapal. Ada tiga menara pengawas di kapal Cheng Ho, di tiang-tiang utama.

"Harap kamu ketahui, orang China adalah penemu kompas pertama, yaitu pada abad ke-4 SM. Selisih 1500 tahun sebelum penemuan kompas oleh Barat. Kompas saat itu terbuat dari jarum besi bermagnet yang diapungkan dengan gabus di mangkuk berisi air," kata Bu Yim.

Di antara pelayarannya, Cheng Ho pernah singgah di kepulauan Nusantara. Ketika berkunjung di Samudera Pasai, Aceh, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh, lonceng itu masih tersimpan di musim Banda Aceh. Selain Aceh, daerah Sumatera yang disinggahi adalah Palembang dan Bangka. Lalu singgah di Pelabuhan Tanjung Priok yang dulu namanya Pelabuhan Bintang Mas. Tahun 1415 mendarat di Muara Jati, Cirebon, beberapa hadiah dipersembahkan kepada Sultan Cirebon, salah satunya berupa piring bertuliskan ayat Kursi yang saat ini masih tersimpan baik di Keraton Kasepuhan Cirebon. Perjalanannya dilanjutkan ke Semarang, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Mojokerto."

Tidak banyak kisah tentang asal-usul Cheng Ho, hanya disebut kalau dia berasal dari provinsi Yunan. Dikenal dengan kasim San Bo yang dengan dialek Fujian diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po. Ma He adalah nama kecil Cheng Ho, dia lahir pada 1371 M, anak ke-2 dari pasangan Ma Hazhi dan Wen, keturunan muslim dari Asia Tengah. Setiap berlayar banyak awak kapal muslim yang menyertainya, di antaranya: Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. Mereka diajak karena fasih berbahasa Arab dan Persia, sehingga bisa mempererat hubungan diplomatik dengan negeri-negeri muslim.

"Kini ada masjid Cheng Ho di Surabaya, untuk memperingati khotbah Cheng Ho di hadapan ratusan warga Surabaya sebelum sholat Jum'at di sana. Setelah dari Surabaya Cheng Ho singgah di Mojokerto, ibu kota Mojopahit setelah dipindahkan dari Trowulan karena perang saudara. Di sini Cheng Ho sempat bertukar pikiran dengan Wikramawardhana, raja Mojopahit generasi terakhir," kata Bu Yim.

Along bertanya, "Mengapa mereka mengadakan pelayaran besar-besaran?"

"Karena Kaisar Ming hendak memulihkah citra Tiongkok sejak kejatuhan dinasti Mongol pada 1368," jawab Bu Yim.

"Apakah Bu Yim bersedia meluangkan waktu untuk mengoreksi kalau saya membuat cerita tentang pelayaran Cheng Ho?" tantang Along, sambil melirik Bobi yang sangsi dengan keseriusan Along. Paling-paling Along hanya Omdo, omong doang.

Bu Yim mengangguk, "Dengan senang hati. Tapi jangan tulisan cakar ayam." Seminggu kemudian Along menyerahkan tulisannya kepada guru sejarah. Tiga hari berikutnya Bu Yim terbelalak setelah selesai membaca tulisan Along, yang bercerita tentang petualangan Pring di kapal Cheng Ho. "Hebat sekali, sangat menyentuh perasaan. Siapa yang mengajarimu? Ini ada sengaja saya fotocopy, biar teman-temanmu juga membacanya."

Maka ketika istirahat kedua, calon pakar sejarah itu menarik tangan Along ke tempat sepi. Ketika hanya berdua, Bobi mengintrogasi Along, "Long, lo nyontek dari mana? Dari internet, ya?"

"Bertapa di Gunung Merapi, bersama Mbah Maridjan," jawab Along, sekenanya. Ketika berdua bersama Teng Teng, Along berbisik-bisik, "Ssttt...., bagaimana reaksi Rati terhadap cerita saya? Apakah dia tertarik?"

"Hanya sedikit, tapi kulihat dia membacanya berulang-ulang," kata Teng Teng, sambil sogok-sogok hidungnya yang berlubang besar. "Mungkin saja dia sudah mulai menimbang-nimbang untuk naksir kamu."

Tiba-tiba Rati melintas di dekat mereka bersama Joan dan La Cie, "Wow, hebat lho dongengmu," kata Rati kepada Along.

Along jadi gugup, "Hmmm....tapi, tapi... itu bukang dongeng. Melainkan sejarah!" Hiih, Along menyalahkan dirinya sendiri. Kok jadi berantakan gini sih?

Rati membelalakkan mata, manis sekali. "Iya deh, dongeng sejarah," kata La Cie, meledek.

"Tapi kalau kalian minta tanda tangan Along, boleh kok," kata Teng teng, mengacau.

"Tak usahlah yaw, nanti baretnya tambah besar, tambah sombong tuh anak!" kata Joan, ketus. Aduh, mati saya, kata Along dalam hati. Hancur deh dia di mata Rati. Along pun merah mukanya, seperti warna kulit ubi merah. Bagaimana orangtua Along yang mendengar kisah anaknya, yang ternyata bukan dicakar kucing tapi jatuh dari rel? Bukan itu saja, atraksi mautnya di atas tali jemuran juga sampai ke telinga orangtuanya. Ayahnya marah besar, tapi hanya sebentar.

"O, ya. Apakah Ayah mengenal Profesor Le Gio?" tanya Along, ketika emosi ayahnya sudah mereda.

"Orang antik itu? Justru Ayah pernah menjadi pengacaranya, saat dia menggugat sebuah perusahaan yang tanpa izin memakai hasil temuannya," jawab ayahnya. "Tapi itu dulu, sebelum kamu lahir. Ada apa dengannya? Apakah kamu pernah menumpang bajajnya?"

"Memangnya dia punya bajaj?" kelak Along, menyembunyikan hal yang sebenarnya.

"Ya, dia punya kenangan khusus dengan bajaj. Karena ilmu yang didapatnya memang dibiayai oleh ayahnya yang sopir bajaj."

"Hebat sekali," puji Along. "Eh, Ma! Jangan ceritakan ini kepada Kak Kiko, ya!" Kak Kiko berada di New Zeland, kakak laki-lakinya itu memang kuliah di sana dan mengambil mata kuliah biologi. Mengapa mengambil biologi? Karena Kak Kiko demen sama kiwi, binatang yang menjadi logo semir sepatu itu lho. Along dan Kak Kiko usianya memang terpaut jauh, enam tahun. Along tak membuka cerita pertemuannya dengan si Dukun Bajaj. Ah, rasanya tak sabar Profesor Le Gio menghubunginya. "Saya harus menemui Profesor lagi," kata Along, dalam hati. Ya, dia semakin penasaran saja.