webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Waktu Sisa (5)

Silva jongkok.

Ketakutan.

Memeluk lutut, menyembunyikan wajah. Bahunya terguncang.

Di sebelahnya, Sonna dan Candina duduk merapat memberi pelukan.

Tanpa perlu bertanya, Najma tahu apa yang telah terjadi.

"Kamu nginap di rumah Mbak lagi aja," tegas suara Najma.

Kadang, sebuah kesengsaraan dan penderitaan, membuka pintu peluang yang tak disangka-sangka.

🔅🔆🔅

"Kamu gakpapa, kan?"

Silva pucat pasi.

"Dia ngelabrak kamu gak?"

Silva menggeleng.

"Bener?"

Silva mengangguk.

Sonna bercerita bahwa mendadak Silva menggigil dan gemetar di sudut ruangan perpustakaan. Najma bertanya pada Sonna dan Candina apakah ada seorang pria yang mengganggu atau bertengkar dengan Silva, jawaban mereka : tidak. Tapi menurut Sonna, ada seorang lelaki muda yang melihat siswa berseragam Javadiva mendekatinya. Lelaki itu bertanya, apa yang dikerjakan mereka di kantor cagar budaya? Jujur, Sonna berkata bahwa ia sedang mengerjakan penelitian bersama teman-temannya.

"Kamu bilang kalau ada Silva?" tanya Najma.

Sonna mengangguk.

"Kenapa kamu bilang, sih?" tanya Najma, setengah marah.

Sonna membelalakkan mata, gugup.

"Aku…aku harus bilang gimana, Mbak?" tanya Sonna.

"Bilang aja kamu cuma berdua sama Candina."

Silva memegang tangan Najma dan berkata, Sonna gadis jujur yang jarang bisa berbohong.

🔅🔆🔅

Rencana mereka hari itu tak berjalan sesuai harapan, tapi tidak seratus persen gagal. Ketiganya duduk di kursi perpustakaan sembari sesekali mengamati Najma bekerja. Walau tak ikut dengan Ragil, bukan berarti pekerjaan jadi lebih berkurang.

"Son, kayaknya kamu bakal balik sendiri ke Javadiva," ujar Silva lemah.

"Lho, kamu sama Candina?" tanya Sonna.

"Kita berdua harus nginap di rumah mbak Najma," sahut Silva.

"Masa aku balik sendiri? Brangkat bertiga, pulang bertiga dong," rajuk Sonna.

Aduh, Sonna.

"Kita bukan mau pelesiran, Son."

"Aku mau bareng kalian aja."

"Son! Nama kamu itu masih baik. Kalau nama aku udah kepalang basah. Jangan sampe kamu ikut-ikutan jadi jelek gegara aku."

"Trus...kamu mau melarikan diri?" Sonna menaikkan alis. "Lageee??"

"Kali ini aku gak melarikan diri," Silva menenangkan. "Aku bener bener mau belajar kali ini. Belajar bahasa."

Sonna terdiam sesaat, "Kamu knapa tetiba jadi penuh semangat kayak gini? "

Aku menemukan hall-hal yang sebelumnya gak ada dalam hidupku. Rasa bermakna. Rasa harus mempejuangkan sesuatu, Silva bergumam dalam hati. Rasa dibutuhkan oleh seseorang. Salaka dan Candina banyak bergantung padaku sekarang.

"Aku seneng aja kamu semangat. Tapi apa gak bisa kita balik bertiga?" Sonna masih merengek.

Dihantui kemarahan bu Santi dan para guru, Sonna tampak tak ingin melakukan kesalahan lagi.

Candina menatap Silva dan Sonna bergantian.

"Silva, aku juga tidak bisa terlalu lama menghilang dari Javadiva."

Silva menatapnya, tak mengerti.

"Kekuatanku dan Salaka saling terhubung. Aku tidak bisa terlalu lama jauh darinya," jelas Candina.

Silva mengerutkan kening. Bukankah dulu Candina pernah meninggalkan Salaka dan Javadiva cukup lama?

Bagi Candina, kejadian di ruang Dahayu bukannya tak meninggalkan bekas. Luka-luka di tubuh mereka meninggalkan jejak kelemahan.

"Tapi kamu bilang mau ngajari aku bahasa kuno," Silva mengingatkan. "Apa nggak lebih baik kalau kita bareng-bareng dulu?"

Candina pun terlihat bingung. Ia dilanda kebimbangan antara harus berada di dekat Salaka atau terus menempel pada Silva.

"Kalian tuh lagi mau belajar apa, sih?" tanya Najma, bergabung lagi dengan mereka.

Silva menatap kedua temannya bergantian. Bagaimana harus menjawab pertanyaan Najma?

"Sonna butuh belajar bahasa Jawa, Mbak. Tulisannya. Kata-katanya," ujar Sonna.

Terima kasih, Son, bisik hati Silva.

"Oh, itu…"

"Mbak bisa kan?"

"Bisa. Bulan depan aku gak terlalu sibuk, kok."

Silva menelan ludah. Bulan depan? Mustahil.

"Tapi…," lemah dan parau suara Silva menyela. "Tapi…?"

Hari mulai beranjak sore. Kantor cagar budaya yang terletak di jalan besar, dikelilingi sawah dan memiliki halaman luas yang memiliki replika candi serta stupa itu mulai sepi.

"Kalian harus balik ke Javadiva, kan?" Najma mengingatkan.

Silva menelan ludah.

"Mbak…"

"Hmh?"

"Apa…apa Candina boleh…ikut nginap?"

Najma mengerutkan kening.

"Nanti…nanti aku…biar aku yang beli makan sendiri," Silva mencoba bernegosiasi.

Najma menatap Silva, menaikkan alis, lalu tertawa kecil.

"Aku nggak masalah Candina mau nginap di rumah," ujar Najma. "Ibu pasti senang sekali. Tapi sekolah kalian gimana? Lagian, aku cuma pake motor buat balik ke rumah. Candina naik apa?"

Mereka kebingungan.

"Kami naik ojek online apa, Mbak," Sonna mengangguk yakin. "Ke rumah mbak Najma kan?"

Ya ampun! Kenapa solusi sesederhana itu tidak terpikirkan?

Najma mengiyakan pada akhirnya. Kesepakatan kecil dibuat. Candina dan Najma akan mengajari Silva bahasa Jawa kuno, Sonna akan ikut juga ke rumah Najma. Malam hari, mereka akan kembali ke Javadiva. Walau harus bolak balik dan makan biaya, sepertinya itu yang paling masuk akal. Silva merasa beruntung, ia punya tabungan cukup jika harus membantu teman-temannya naik kendaraan online. Sonna selalu pas-pasan. Candina? Sepertinya ia tak pernah berurusan dengan uang.

🔅🔆🔅