webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Si Penakut (5)

Berendam air hangat di bath tub hotel, Rendra mengingat penggalan-penggalan hidupnya yang bagai roller coaster. Kegembiraan masa kecil, rahasia-rahasia keluarga yang baru diketahuinya ketika remaja. Kondisi orangtua yang jauh dari kata harmonis, justru ketika keuangan membaik dan pintu-pintu kekayaan terbuka lebar. Dulu, kehidupan keluarga mereka dalam limpahan cinta ketika semuanya serba pas-pasan.

Apakah manusia harus memilih salah satu : kebahagiaan atau kekayaan?

Tak akan dapat dimaafkan ketika bu Candra memiliki affair dengan pengusaha lain.

"Memalukan sekali, Ma," ucap Rendra tajam. "Aku juga bukan anak Mama yang paling bermoral. Tapi aku nggak akan pernah bawa aib ke rumah."

Ia berada di akhir masa SMP, ketika mendengar mama mengandung seorang anak yang tak diinginkan.

Rendra ingat, papa justru menampar wajahnya. Ya, papa memang bernaung di bawah kejayaan mama yang mahir memutar otak dan uang. Papa hanya mampu menjadi karyawan seumur hidup, tak memiliki keahlian enterpreneur. Ketika mama akhirnya mencoba membantu keluarga mencari penghasilan, tangan dinginnya mengubah keadaan. Keuangan, kesenangan, dan juga hirarki di rumah.

Papa, yang tak mampu lagi menjadi pemimpin keluarga, diam-diam menikah siri. Mencari perempuan yang bisa ditaklukan dan dapat mengakuinya sebagai seorang lelaki. Mama? Ketika sosok papa tak lagi dapat menundukkannya, masih ada lelaki di luar yang rupanya dapat memikat.

Demi menjauhi keluarga yang porak poranda, Rendra menghabiskan waktu mengejar akademis lewat beasiswa manapun yang dapat ditembus. Otak cerdasnya warisan sang mama. Harus diakui, bu Candra memang menginspirasi dalam berbagai aspek.

"Maafkan Mama, Ren," ucap bu Candra entah kali ke berapa. Bagaimanapun, anak adalah asset paling berharga. "Mama khilaf."

Tampaknya, tak ada yang peduli dengan kesalahan mama. Papa pun enggan mengoreksi. Hanya uang panglima tertinggi di rumah. Seiring waktu dan usia yang mendewasakan semua, ada pihak-pihak yang merasa kehidupan harus kembali ke rel semula.

"Ren, Mama pingin banyak diskusi dengan kamu terkait perusahaan kita. Mama pikir, kamu punya kemampuan untuk jadi CEO."

"Kamu jadi tangan kanan Mama ya, Ren? Kemungkinan Mama akan punya usaha tambang sendiri."

"Proyek jalan tol yang dikerjakan rekan bisnis Mama macet. Bisa kamu bereskan?"

"Pariwisata di Indonesia Timur bagus banget. Ada peluang bisnis bikin resor dan buka penerbangan komersil. Kamu ikut rapat dengan Mama dan rekan bisnis dari Korsel, ya."

Selain bisnis-bisnis bu Candra, ada pesan lain yang dititipkan.

"Ren, sekali waktu cobalah jalin hubungan dengan adikmu, Silva," bu Candra memohon hati-hati. "Siapa tahu, kamu jatuh cinta dengan adik bungsumu setelah benar-benar ketemu dia."

Rendra merendam tubuh dan wajahnya lebih dalam ke bath tub. Air hangat berbusa menenggelamkan pikiran, menghanyutkan lemak-lemak emosi.

Jatuh cinta?

Banyak gadis mengejarnya. Banyak perempuan bersuami yang juga mengaku tergoda olehnya. Banyak wanita yang mengajukan ingin diperistri olehnya. Padahal ia tak pernah menggoda mereka dan lebih banyak bersikap masa bodoh.

Ia pernah jatuh cinta ketika SMA dan di masa kuliah. Anehnya, perasaannya selalu tertambat pada gadis yang lebih senior. Mungkin karena ia kehilangan kasih sayang mama sejak sangat muda, hingga mencari sosok berlabuh pada perempuan yang dapat mengayomi, bukan perempuan manja. Tapi cintanya tak pernah lama. Bayang-bayang bahwa perempuan dapat berkhianat lebih kejam dari lelaki, menghantui.

Mama memintanya agar dapat mencintai, barangkali Rendra jatuh cinta pada Silva setelah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Bukan lewat berita-berita kebencian dan rumor dari orang ke sekian.

Jatuh cinta kepada adik bungsu yang penuh masalah?

Ia tak punya 'chemistry' sebagai kakak sejak anak itu dalam kandungan. Sejak pertama kali memandang foto bayinya, foto kanak-kanaknya yang bagai malnutrisi; Rendra membencinya setengah mati. Anak kurus dengan mata besar memelas yang tampak ketakutan. Ketika anak itu sempat masuk ke rumah besar mereka, gadis kecil itu begitu norak dan kampungan. Semua barang dipegang. Semua kursi dan meja dinaiki. Suaranya keras dan cempreng. Cengeng. Mudah marah. Pesimis dan sensitif.

Sejak SD anak itu penuh masalah, SMP apa lagi. SMA, Rendra benar-benar tak ingin punya hubungan apapun walau mereka punya aliran darah yang sama.

Tapi, siapa bisa menolak takdir? Siapa bisa menolak garis yang telah ditetapkan Tuhan bahwa mereka pada akhirnya bertemu dan harus terhubung, entah oleh sebab-sebab masuk akal atau justru sebaliknya?

🔅🔆🔅

Bagaimana pun, Rendra merasa, papa gagal menjadi kepala keluarga.

Sebagai lelaki normal, ia ingin mengembalikan nahkoda ke posisinya semula. Ingin mengendalikan mama yang kelewat batas, berharap pula dapat mengendalikan adik-adiknya agar tak keluar jalur. Fuji dan Kikan sepertinya mengikuti jejak mama : yang satu superior, yang satu suka gonta ganti pacar. Hanya Pandu, adik lelakinya yang tampaknya lebih dapat diandalkan.

Silva?

Rendra mendengus.

Mengenakan kimono handuk untuk mengeringkan badannya yang basah kuyup, ia mengambil ponsel. Pesan-pesan penting hingga menggoda masuk begitu ia mengaktifkan wifi.

Ia menghubungi seseorang.

"Katamu pingin ngobrol," katanya tanpa basa basi. "Mas sudah di sini."

Rendra menekankan kata 'mas' sebagai bentuk superioritas.

Suara di seberang terdengar gugup.

"Mas…mas Rendra…sampai kapan?"

"Aku nggak bisa lama-lama. Harusnya besok sudah rapat di Jakarta."

Hening di seberang.

"Halo?" Rendra berkata. "Kamu mau ke sini? Atau Mas yang ke sana?"

Hening lagi.

Rendra mulai jengkel.

"Kalau kamu memang gak serius, besok aku ke Jakarta pagi-pagi!"

Terdengar helaan napas cemas di seberang.

"Aku…aku…pingin ketemu …Mas…" suara terbata dan kecil di telepon.

"Iya. Makanya, kamu ke sini atau aku yang ke sana??"

Lima detik seperti lima ronde pertandingan.

"Silva? Kamu itu ngabisin waktuku, tau nggak??" bentak Rendra.

Ada suara seseorang menyeka hidung.

Rendra menarik napas. Kenapa senjata perempuan adalah tangisan?

"Oke," Rendra berucap akhirnya. "Biar aku yang memutuskan. Kamu ke sini. Mau malam ini, mau besok pagi, aku tunggu."

🔅🔆🔅

Ketika malam hari Silva sampai di kamar hotel Rendra, ia bertemu perempuan muda berparas cantik berpakaian elegan di sana. Melihat keduanya saling bertatapan dengan terkejut, Rendra mematahkan anggapan masing-masing.

"Tinggal saja berkas-berkasmu, biar kupelajari dulu," ucapnya tegas.

Perempuan itu menatap Silva tajam. Gadis lugu dengan celana jins, kaos dan cardigan, berikut tas ransel. Rambut ekor kudanya dijalin sembarangan. Walau lugu, paras manisnya menarik untuk dipandang.

"Aku nggak nyangka seleramu ternyata cewek belia," gadis itu menyindir tajam.

"Jangan sembarangan bicara!" potong Rendra ketus. "Aku gak seperti yang kamu bayangkan."

"Kenapa? Takut kalau aku viralkan?" ejeknya.

"Masuk," Rendra menyuruh Silva yang tampak ragu. "Kamu tidur di sini?"

Silva mengangguk pelan.

Rendra memandang tamunya, memberikan isyarat untuk segera ke luar, "Kamu boleh pergi sekarang."

Perempuan cantik itu mengibaskan rambut dengan menawan, memandang sebal ke arah Silva, berlalu dengan langkah kesal walau tetap berusaha mendekatkan wajah ke arah Rendra.

"Kalau butuh sesuatu, bilang saja," ucapnya penuh makna.

Rendra menarik senyum masam. Helaan napasnya terdengar lega ketika menutup pintu. Ia memandang Silva yang masih berdiri.

"Gak usah punya pikiran macam-macam," tegur Rendra. "Aku bukan cowok brengsek. Kalau mau pesan makanan, resto hotel ini buka 24 jam."

Silva duduk di sofa, nyaris di tepian.

"Nanti biar Mas aja yang tidur di sofa. Kamu di kasur," Rendra berujar. "Apa yang mau kamu omongkan?"

Susah sekali memulai pembicaraan. Bahkan basa basi pun tak mudah diucapkan. Satu-satunya yang bisa dikatakan Silva sembari ia membuka ranselnya adalah, "Aku…aku…punya hadiah buat…buat Mas Rendra."

🔅🔆🔅