webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Si Penakut (2)

Silva merasa harus membantu Salaka. Tapi apakah itu langkah yang tepat? Sampai saat ini, ia pun tak tahu siapa dirinya. Apa yang harus dilakukannya. Apa saja kelebihannya.

Walau Javadiva sering mengundang motivator kondang yang menyerukan slogan, "Kalian semua adalah anak emas peradaban ini!", rasanya ada anak-anak seperti dirinya yang bukan berasal dari logam mulia. Hanya sejenis besi karatan yang lapuk penyebab tetanus.

Tapi, ayolah Silva!

Satu suara berbisik dari lubuk hati.

Bukankah pahlawan seringkali berasal dari golongan paling marginal? Sosok paling tak dianggap, 'underdog', malah dianggap kasta paling tidak valid yang ada di atas muka bumi. Seringkali, rumus kehidupan bukan matematika, justru 'unlimited' jawaban tak masuk akalnya. Bukankah itu ajaran yang didapatkannya dari menonton berbagai shonen anime? Naruto, Haikyuu!, Boku no Hero Academia dan masih banyak lagi?

Kesempatan akhir pekan untuk rehat dari Javadiva dipergunakannya menelusuri jalan-jalan di Kotagede. Mencari sosok yang pernah memberikannya cincin perak, cincin yang menghubungkannya dengan Candina serta Salaka. Mungkin, tidak tepat seperti itu. Namun bagaimanapun, cincin perak itu yang membantunya melepaskan emosi negatif saat tegang atau cemas. Anggapan Candina dan Salaka bisa jadi salah tentang dirinya, tetap saja, Silva ingin mendapatkan jawaban lebih banyak dari pertanyaan yang mengusik.

Apa salahnya mencoba, sekali saja untuk bersikap berani mengambil keputusan? Kali ini keputusan baik, jika sebelumnya banyak hal-hal buruk yang dilakukannya.

🔅🔆🔅

Kios kecil pengrajin perak itu berada di sudut jalan, sekilas tak tampak diapit toko-toko mewah berdinding kaca yang mencolok. Ruang pamerannya hanya muat diisi tak sampai sepuluh orang berdiri, dari depan terlihat sebuah ruangan luas di belakang berlantai tanah. Dibatasi pintu kayu zaman Belanda yang tinggi menjulang, catnya tampak lama tak diperbahurui, walau pintu itu terlihat rajin dibersihkan. Pintu itu kadang terbuka dan ditutup kembali, para perajin menghantarkan karya-karya seni yang siap dipamerkan.

Etalase-etalase kaca memperlihatkan kerajinan cincin serta beragam bebatuan warna warni. Bros, kalung, gelang tangan dan kaki, juga berbagai hiasan dinding. Miniatur becak dan sepeda kayuh juga ada. Beragam tokoh wayang terpajang di dinding : Yudhistira, Arjuna, Bima, Nakula Sadewa. Tak lupa, pasangan cinta abadi Rama dan Sinta; dan tentu, tokoh punakawan Semar, Bagong dan Petruk.

Seorang pemuda berpakaian adat Jawa ada di sudut, sedang bercakap-cakap dengan turis. Mengenakan blankon dan baju lurik, lengkap dengan jarik batik. Ketika kesempatan bicara datang, Silva gugup mendekat.

Sopan, pemuda itu menyapa dalam bahasa Jawa halus terlebih dahulu, sebelum menggunakan bahasa Indonesia.

"Sugeng rawuh*, Mbak, selamat datang," ucapnya. "Ada yang bisa dibantu?"

Silva merasakan telapak tangannya berkeringat, sebelum akhirnya terlontar juga kata-kata.

"Saya…saya mau perak, Mas."

Alis pemuda itu naik sedikit, tersenyum geli, lalu mempersilakan Silva memilih. Bukan berbelanja tujuan utama Silva, hingga gadis itu kebingungan. Tapi membeli barang-barang sepertinya akan menjadi jalan pembuka untuk mendapatkan informasi lebih.

Apa yang harus dibeli? Berjajar gelang perak berukir indah dengan hiasan batu permata terlihat memukau, hm, siapa yang akan memakainya? Terbayang Sonna dan Candina, hingga Silva akhirnya memilih tiga buah gelang yang tampak sederhana namun manis. Apa yang akan diberikannya untuk Salaka? Tak mungkin gelang dan kalung!

"Kalau…kalau cincin untuk…cowok, mana ya, Mas?"

Pemuda itu memperlihatkan deretan cincin dengan permata sebesar kerikil! Mustahil Salaka mengenakannya, pikir Silva sembari tersenyum masam.

"Yang sederhana aja…ada?"

Sebuah etalase kecil di sudut, terlihat deretan cincin unisex yang dapat digunakan oleh lelaki atau perempuan. Berhias ukiran sederhana dengan motif alam seperti dedaunan dan bunga, atau motif abstrak yang menawan. Betapa teliti dan jeli para perajin memahat perak sekecil itu menjadi sebuah karya seni yang mengundang decak. Silva tetiba teringat beberapa nama yang melintas di benak, hingga memutuskan membeli gelang dan cincin lagi.

"Ada lagi, Mbak?" pemuda itu bertanya sabar, ketika transaksi jual beli telah selesai.

Silva menyeka dahi, merasakan kegugupan. Apakah ia hanya akan membeli saja tanpa mendapatkan tujuan utamanya datang ke mari?

"Mas…," Silva menggigit bibir dalamnya, berusaha tenang. Ia menjulurkan tangannya, memperlihatkan sebuah cincin. "Ini…ini cincin perak."

"Ya," pemuda itu tersenyum, hingga membuat Silva makin salah tingkah.

"Ehya…saya dulu dikasih sama seorang bapak tua di sini. Dia perajin tua. Apa dia ada?" lega Silva melepaskan kata-kata.

Pemuda itu menjorokkan tubuhnya sedikit, memandang seksama ke arah cincin Silva.

"Wah, kami punya banyak perajin, Mbak," ujarnya membuat Silva kecewa. "Termasuk lansia. Toko kami memang memberdayakan difabel dan mereka yang sudah lanjut usia."

"Saya…saya ingin ketemu bapak ini…," Silva terbata.

Pemuda itu menatap Silva baik-baik.

Silva berusaha meneguhkan hati.

"Buat apa, Mbak?" tanyanya.

"Saya…saya …mau bilang terima kasih, Mas."

"Nanti saya sampaikan kalau begitu."

Pemuda itu mempersiapkan wadah beludru dan kantong cantik sebagai bentuk apresiasi kepada pelanggan.

"Tapi saya pingin ketemu langsung," Silva mencoba bersikeras.

Pemuda itu mulai tampak tak nyaman.

"Mas, please," Silva memohon, "…ada hal-hal yang nggak bisa saya ceritakan terkait cincin ini. Sepertinya…ada hal-hal ajaib terjadi."

Suara dering burung berkukuk tanda pintu dibuka terdengar, pertanda pelanggan masuk.

"Mas, tolonglah saya," Silva menelan ludah. Matanya memohon, kedua tangannya terkatup di depan dada.

Pemuda itu menarik napas, memberikan senyum manis dan salam kepada tamu yang barusan tiba. Silva menggeser tubuh ke depan pemuda itu yang tampak bergerak ke arah pembeli, hingga terkesan menghalangi. Walau terlihat kesal, akhirnya ke luar juga sebuah suara dari mulut si pemuda.

"Mbak masuk aja ke dalam. Ada beberapa perajin kami. Cari sendiri, ya, tapi jangan buat keributan!"

🔅🔆🔅

Suara denting bersahut-sahutan menyambut.

Semua mengenakan baju kerja yang nyaman sembari duduk menghadapi meja dengan sebuah alas batuan marmer tebal di atasnya. Selain alat pukul, terlihat pinset dan pembakar digunakan. Silva kebingungan. Para perajin memusatkan perhatian pada karya masing-masing. Sepertinya mereka sudah terbiasa mendapat kunjungan turis yang ingin melihat langsung.

Para difabel dan lansia berada di pojok terpisah.

Silva mendekat, mengamati seseorang di ujung yang tampaknya seperti seseorang yang dicari.

Ruangan itu luas dan tampaknya terhubung ke area lebih ke belakang lewat sebuah pintu kayu kupu-kupu. Para pekerja lalu lalang melewati pintu itu ketika akan pergi atau ada keperluan tertentu. Silva berjingkat mendekat ke arah perajin lansia, walaupun ia tak harus berjalan pelan-pelan. Matanya tetiba tertumbuk pada seorang lelaki kurus, bertubuh bungkuk, dengan blangkon dan baju lurik usang. Ia mengenakan celana panjang hitam.

Silva berdiri mematung.

Tak tahu apa yang harus dilakukan.

Perajin tua itu tengah menyelesaikan satu karyanya. Menggunakan kaca pembesar, sebab mata tuanya tak lagi awas. Sesaat kemudian ia tampak menghentikan pekerjaan, lalu bangkit perlahan, bergerak menuju pintu penghubung belakang.

Silva terkesiap.

Ia mempercepat langkah, berusaha mengikuti. Lelaki tua itu memiliki kegesitan di luar perkiraan, padahal tadi sempat tertatih ketika bangun dari duduk. Silva membuka pintu belakang, melihat tubuh perajin tua berjalan terseok dengan cepat menelusuri jalanan kecil Kotagede.

Jalan-jalan di belakang toko perak itu seperti labirin benteng yang membingungkan musuh di era kerajaan kuno. Kecil, dipagari rumah-rumah bercat putih dengan daun jendela dan pintu hijau.

Silva mempercepat langkah.

"Pak! Bapak!"

Lelaki itu tampak berhenti sejenak, menolehkan sedikit kepala. Lalu ia berjalan cepat meninggalkan Silva yang terengah mengikuti dari belakang. Tubuh lelaki itu lenyap di sebuah tikungan yang tampaknya dulu, merupakan sebuah jebakan untuk mengelabui lawan.

🔅🔆🔅

__________

*Sugeng rawuh (bhs. Jawa) : selamat datang