webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Serbuk Perak Salaka  

Fuji telah dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP.

Perforasi rahim, kata dokter. Perobekan karena melakukan aborsi secara illegal dan timbul infeksi berat. Kalau saja, tahu siapa yang melakukannya, Rendra akan menghajar hingga babak belur. Meski bila direnungkan, belum tentu pihak lelaki yang salah. Bisa saja Fuji dan pacarnya telah menyepakai berbagai hal yang ternyata semua tak seindah ucapan.

Nikka dan Luna mencari keberadaannya.

Dengan halus Rendra menolak ketika Luna ingin bergabung, dan mengatakan persoalan keluarga yang sensitif tak bisa dibagi ke sembarang orang. Aneh, dalam kondisi kalut seperti ini, ia merasa ada orang-orang yang bisa memberikan aura positif hanya dengan melihat unggahan pesannya di grup.

Grup delapan hektar di whatsapp tak dibubarkan.

Walau Rendra tak aktif di sana dan juga tak ke luar grup, ia menyimak baik-baik.

"Makan, makan, makan!" Mawar berkomentar pada foto cilok dan batagor.

"Perhatikan BB," sindir Bara.

"Gak ada ceritanya orang gembul di penggalian," sahut Mawar.

"Yang ada kusam dan hitam," Bara menambahkan.

"Kusam dan hitam itu persepsi. Semua artefak awalnya berdebu. Ketika dipoles, hasilnya bersinar dan mahal di pasaran," Mawar berfilosofi.

Berbagai emoticon muncul.

Kadang, bila dibutuhkan voice note diberlakukan. Rendra tak akan mengunduhnya, apalagi bila suara Ragil. Percakapan ringan yang tak berarah lumayan menghibur, memberikan rasa lepas di tengah pepatnya isi kepala.

Sebuah percakapan memetik perhatiannya.

"Pengawalan Salaka sudah dipersiapkan?" Ragil bertanya.

"Kita butuh banyak perkakas perak," Najma menanggapi. "Semua artefak ada di Dahayu."

"Aku bisa ke sana," Silva berkata.

"Jangan."

"Jangan!"

Najma dan Ragil mengetik bersamaan. Rendra hampir mengetik, tapi tak jadi.

"Kotagede, bagaimana?" tanya Ragil.

"Aku sudah mengontak para perajin tua," sahut Silva. "Mereka siap mengawal."

"Salaka tak terlalu sepakat," Ragil menanggapi. "Gimana, Naj?"

"Aku masih membaca beberapa manuskrip," sahut Najma. "Mencari tahu mengapa Salaka tidak setuju. Apakah di tubuh prajurit perak sendiri dulunya ada perselisihan pendapat?"

"Kuduga begitu," Mawar menambahkan. "Dalam setiap kerajaan, ada banyak institusi rahasia yang kadang beririsan, kadang bermusuhan."

"Betul. Teliksandi, ketentaraan, masing-masing kementrian pasti gak sama," sahut Najma. "Makanya ada perbedaaan pendapat di antara mereka."

"Urusan berita rahasia, biar cewek yang urus," Bara berkata sembari me-mention nama Ragil.

"Kapankah akan mengawal Salaka?" Silva berkata. "Biar aku bisa cari waktu izin dari sekolah."

"Lebih baik Silva gak ikut," Ragil berpendapat. "Berbahaya. Ikatan antara kamu dengan Salaka cukup istimewa, kita gak tahu apa efeknya."

Hening di grup.

"Aku nggak takut," Silva bersiteguh.

"Tidak ada satupun di antara kita yang takut, Silva," Najma mengingatkan. "Yang terpenting adalah kita semua selamat."

"Haruskah Salaka ke penggalian?" tanya Silva.

"Itu permintaannya," kata Najma. "Dia juga ingin mengidentifikasikan sesuatu. Kurasa, pasti hal penting."

"Pembacaan manuskripmu, sudah sampai mana, Naj?" tanya Ragil.

"Ada hal yang mau kudiskusikan. Tapi kayaknya susah kalau lewat chat," balas Najma.

Bagian kalimat ini tak disukai Rendra.

Apalagi anggota grup me-roasting siapapun yang dianggap punya peluang cinlok. Kelakar itu terhenti ketika Najma mengunggah satu foto dari manuskrip bebahasa kuno.

"Aku mau nanya, serius," ketika Najma. "Apa aja kisah cinta di zaman kuno yang tragis? Yang bisa memicu peperangan atau kematian?"

Anggota grup berlomba memberikan pendapat.

"Anak di luar nikah."

"Selir."

"Selir versus permaisuri."

"Cinta beda kasta."

"Pangeran memperebutkan putri."

"Dua pewaris takhta jatuh cinta sama orang yang sama."

"A king fell in love with a slave? Or a prince?"

Rendra ingin mengungkapkan sesuatu tapi urung.

Silva memberikan pendapat.

"Menurutku, cinta yang sampai menyebabkan kematian karena pelakunya melanggar undang-undang kerajaan," ujarnya. "Atau mereka melakukan sesuatu yang menentang law of the world, law of the conduct dari kerajaan masing-masing."

Hening beberapa saat di grup.

"Great, Silva," ujar Najma. "Apakah ada hukum alam yang dilanggar sampai Salaka harus menjalani kehidupan seperti sekarang?"

🔅🔆🔅

Fuji tampak lemah.

Wajahnya tak menyiratkan semangat hidup.

Suaranya begitu lirih ketika berkata-kata saat siuman. Ucapan yang pertama ke luar adalah umpatan.

"Cowok semuanya brengsek!" laknat Fuji. "Aku pingin ngerusak mereka semua!"

Rendra menahan napas.

Sekilas sosok Ragil dan Bara muncul, berbanding terbalik dengan tuduhan Fuji.

"Kamu sehat aja dulu, Fu," Rendra menyebut panggilan kesayangan. "Nanti mau ngapa-ngapain, bisa dilakukan kalau udah fit."

"Mama mana?"

"Otw mungkin," Rendra berbohong.

Fuji mengumpat lagi, menyebut nama mama mereka dengan berbagai sebutan. Sejenak kemudian menangis histeris hingga Rendra harus memanggil perawat untuk menyuntikkan injeksi penenang. Mata Fuji redup kemudian, lalu tertidur lagi.

Rendra menyandarkan kepala ke sofa. Lelah. Menyesali keputusan menyuruh Pandu dan Silva segera kembali ke Javadiva, padahal ia membutuhkan seseorang di sini. Seharusnya ada sosok orangtua bersama, tapi kehadiran mereka yang dipanggil mama dan papa sudah lama menghilang.

Panggilan tak terjawab dari Nikka dan Luna. Beberapa rekan kerjanya. Supir pribadi sekaligus pengawalnya, Soni. Bu Candra melakukan panggilan dua kali, enggan Rendra meneleponnya kembali. Ingin mengontak papanya, tapi tak ingin menyulut pertengkaran di rumah yang sudah seperti zona peperangan.

Ada beberapa pesan masuk, sama sekali tak ada minat membuka.

Satu pesan dari nomer tak dikenal, menyapa. Mungkin, ada yang menyebar promo, pikir Rendra. Ia lebih memilih pesan random daripada pesan dari orang-orang yang dikenal.

"Pak Rendra baik-baik saja? Ini Najma, pakai nomer yang lain," pesan di sana berbunyi.

Rendra tertegun, menatap profil picture bergambar kucing.

"Silva bilang, ada musibah di keluarga Bapak. Kami mendoakan semua baik-baik saja. Mohon maaf kalau bikin rusuh di grup. Tentang Salaka dan Silva, serahkan pada kami."

Rendra tak menjawab. Ia hanya ingin membaca pesan itu berulang-ulang.

🔅🔆🔅

Hampir tengah malam, Rendra sulit memicingkan mata. Nikka yang masih berada di Maroko, aktif mengontaknya, mengajak mengobrol berbagai hal dan beberapa kali melakukan panggilan. Dengan halus, Rendra mengatakan di Indonesia sudah waktunya istirahat.

Semakin mencoba tidur, semakin sulit memicingkan mata.

Rendra menyambar gawai, menatap beberapa nomer dan melihat masih ada yang online.

"Kamu sudah tidur? Ada yang ingin kutanyakan."

Nomer itu tak menjawab segera. Rendra menyesal telah mengontaknya.

"Belum, Pak. Masih sibuk baca manuskrip."

"Silva memberiku serbuk perak. Haruskah kupakai?"

Terlihat seseorang mengetik jawaban di sana.

"Dipakai saja. Sepanjang hanya untuk memberi sugesti dan untuk pemakaian luar, gakpapa kan?"

"Ok."

Hening lama, percakapan itu seolah selesai. Seolah menggantung.

"Kamu bilang butuh banyak perak," Rendra memulai lagi. "Aku bisa mengusahakan. Dari Maroko, aku beli cukup banyak kerajinan juga perkakas rumah tangga. Asistenku bisa mengirimkan."

"Baik, Pak. Dikirim ke alamat mas Ragil saja. Nanti saya mintakan alamatnya."

Rendra mendengus, menyesal telah berniat baik.

Suara lenguhan Fuji membuat Rendra meninggalkan gawainya. Wajah adiknya berkeringat, tampak terpenjara dalam alam mimpi yang buruk. Sebentuk benda yang diberikan Silva masih tersimpan di kantong baju. Ada keraguan di hati, namun tak ada salahnya mencoba. Benar kata Najma, toh ini hanya sugesti saja dan juga pemakaian luar.

Hati-hati, Rendra mengoleskannya ke dahi Fuji.

🔅🔆🔅