webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Pertolongan Sahabat  

Silva tergolek di atas pembaringan.

Tak bergerak. Tangannya lunglai jatuh ke sisi ranjang. Sebuah luka panjang menggores di sana, meninggalkan jejak dalam dan aliran merah jatuh ke lantai.

"Silva!" Rendra berteriak ketakutan, menghambur ke arah tubuh malang itu.

Wajah pucat. Matanya terpejam. Bibirnya tak lagi merekah segar sebagaimana gadis-gadis belia pada umumnya. Panik dan putus asa, Rendra mengguncang-guncangkan tubuhnya. Meneriakkan namanya. Memeluk kepalanya.

Seseorang muncul beringas di pintu kamar. Menatap nyalang ke arah keduanya.

"Tinggalkan dia!" suara bu Candra berubah berat dan kasar. "Dia milikku!"

"Apa yang Mama lakukan ke dia??!" teriak Rendra kalap.

"Lepaskan dia," suara itu begitu dingin, mendesis penuh ejekan. "Kamu tidak bisa menyelamatkannya."

Tak peduli, Rendra membopongnya. Tubuh mungil itu ternyata lebih berat dari dugaannya.

"Lepaskan dia, Rendra!" suara mama dan sosok asing dalam dirinya bergantian memerintahkan.

Tubuh langsing bu Candra menghalangi. Di depan Rendra yang tinggi tegap, tentu bukan penghalang yang sepadan. Namun tenaga perempuan itu sungguh hebat. Ia mampu mendorong Rendra beberapa langkah ke belakang hingga terhuyung. Tubuh Silva terlepas dari pelukan Rendra, terhempas ke lantai yang untungnya, dilapisi karpet tebal.

Tetap berusaha melawan, Rendra menguatkan kedua kakinya, mencoba melangkah ke depan. Tapi mamanya benar-benar bukan musuh yang setara kali ini. Kekuatan dan kebengisannya tak mudah ditaklukan.

"Jangan membantah Mama sekarang, Rendra! Mama nggak mau kamu celaka!!"

Rendra menatapnya marah, "Kau bukan mamaku, Setan!"

Bu Candra terbelalak menatapnya, lalu tertawa keras.

"Kau memanggilku apa tadi? Setan? Kalau aku setan, maka kamu anak setan, Rendra! Pantas kelakuan kita berdua sama-sama bejat!"

Rendra menggeleng, "Aku nggak seperti Mama!"

"Apa yang nggak kamu pelajari dari Mama, hah?" bentak bu Candra. "Kejahatan apa yang belum pernah kamu lakukan?"

"Aku nggak membunuh orang yang sedarah denganku!" tegas Rendra, sedih mengingat Fuji dan kali ini, memandang Silva yang entah hidup ataukah mati.

Bu Candra mendekatinya.

"Mama tidur dengan sembarang orang, kamu juga. Mama menipu, kamu juga. Mama memeras, kamu juga. Mama berkhianat, kamu juga!" bu Candra makin mendekat, menjamah wajah Rendra yang berkeringat.

Rendra menahan napas. Perempuan di hadapannya memiliki wujud bu Candra namun gerak gerik dan jiwanya sangat bertolak belakang. Ia tahu, mamanya bukan perempuan yang seratus persen baik. Namun menyakiti anak sendiri dan bersikap menjijikkan, jelas bukan perempuan yang pernah dikenalnya.

"Kamu mau mencicipi minuman merah yang tadi Mama minum?" bisik bu Candra. "Apapun permintaanmu, akan segera terkabul!"

Rendra memejamkan mata.

"Sekarang kamu sedang jatuh miskin. Tabunganmu terkuras. Kamu bangkrut dan sama sekali gak punya uang," bisik bu Candra di telinga Rendra. "Kita bersama bisa membangun bisnis kuat tak terkalahkan!"

Menahan napas. Mencoba berpikir jernih.

"Mama sudah membuktikannya," bu Candra mengangguk yakin. "Ada cara-cara yang bisa membuat kita sukses dengan cepat. Ayolah, Ren. Kekayaan dan kesuksesan itu bukan dosa."

Rendra menahan diri untuk tak memukul bu Candra. Kata-kata dan rayuannya memang luarbiasa. Ia sedang tak punya uang, terpuruk, bangkrut. Bu Candra membekukan akun bank yang berkaitan dengan perusahaan miliknya.

"Kalau kamu menuruti Mama," bisik bu Candra, "esok semua akan berjalan baik-baik saja. Berapapun kekayaan yang kamu minta, Mama bisa berikan."

Rendra menatap wajah mamanya yang begitu dekat. Aroma mulut perempuan cantik itu amis dan tajam. Ada kekuatan dalam rayuannya yang begitu meyakinkan. Rendra memejamkan mata sejenak, menenangkan diri. Suara Najma terngiang di telinga.

"Jangan percaya apa yang ada di hadapan Pak Rendra!"

Seketika sebuah kekuatan muncul di kedua genggaman tangannya, keyakinan yang membuat Rendra memutuskan untuk mendorong tubuh bu Candra menjauh.

"Pergilah, Setan! Aku bukan pengikutmu!" bentak Rendra.

Mata bu Candra terbelalak sejenak, lalu bangkit marah dan mulai menyerang dengan kekuatan berlipat. Rendra benar-benar tak mampu menahan gempuran berupa pukulan, cakaran, tendangan yang tak lazim dilakukan bu Candra. Satu tamparan keras mengenai pipir Rendra, membuatnya terhuyung ke belakang dan terjatuh.

🔅🔆🔅

Samar, dilihatnya bayangan-bayangan dan suara.

Teriakan.

Bentakan.

Perkelahian.

Pertarungan.

Seseorang memaksanya berdiri. Menyeretnya, membawanya paksa pergi. Remuk redam tubuhnya. Sakit betul sekujur badannya. Pikiran melayang entah ke mana. Kesadaran timbul tenggelam.

Panik dan tergesa mereka lari ke lift. Ketakutan, terhimpit, terdesak seakan tak menyisakan harapan. Lari, lari, lari saja.

"Coba lihat di saku celananya, ada kunci mobil gak?"

"Ya! Ada!"

"Cepat! Cepat! Perempuan itu ngejar kita!"

"Aku lagi usaha!"

"Cepat!"

Tubuhnya terlempar ke jok mobil. Sesuatu menimpa dirinya. Rasanya mau muntah ketika orang-orang tak dikenal itu melarikan mobil dengan suara roda berdecit. Rem mendadak hingga perut mual dan isi perut serasa naik ke kepala.

"Kita ke mana?"

"Ke rumah sakit! Silva sepertinya harus dirawat!"

Seolah terlempar ke alam tak dikenal, saat malam berjalan perlahan melewati garis takdir.

🔅🔆🔅

Rendra terhenyak di kursi ruang tunggu. Matanya menatap berkeliling. Mengerjap. Kepalanya sakit luarbiasa. Perutnya melilit dahsyat, antara rasa nyeri dan mual yang tak dapat ditahan. Ia merasakan sesuatu akan meluncur ke luar hingga tubuhnya bangkit terhuyung, bergerak mencari kamar mandi terdekat.

Beruntung, isi perutnya tumpah ke luar di saat tubuhnya telah mencapai kloset

Lemas sekujur tubuhnya. Menggigil. Ketika ia kembali ke ruang tunggu yang baru disadarinya sebagai sebuah klinik kecil, matanya mengerjap. Merangkai kesadaran. Wajah seseorang yang dikenalnya, membuatnya teringat sesuatu.

"Silva! Mana Silva?!" teriaknya, menarik kerah baju pemuda di depannya tanpa sadar.

"Hei, hei!" satu sosok menahannya. "Pak Rendra, mas Ragil yang nolongin Bapak sama Silva."

Rendra mengerjap-ngerjapkan mata, kebingungan.

"Mana Silva?" tanyanya gusar.

"Sedang dirawat. Kalau klinik ini gak bisa nangani, kita harus segera ke rumah sakit besar," ujar Ragil.

Rendra menatap sekeliling. Bau karbol, pewangi lantai berbahan alkohol, aroma obat dan injeksi menguar ke sekeliling. Rasanya tak memijak bumi ketika tubuhnya terhempas di kursi kembali.

"Minum dulu, Pak," seseorang yang dikenalnya sebagai Bara, menyodorkan teh hangat.

Tunduk dan patuh, Rendra menerimanya. Meneguknya perlahan, merasakan cairan hangat membelai lambungnya yang perih akibat asam yang meningkat tajam.

"Gimana kalian bisa…?" Rendra.

"Bara mengalami hal aneh," Ragil menjelaskan. "Dia sempat ditahan karena perkelahian, tapi sudah bebas. Kami dapat kabar dari Najma dan sepakat untuk mencari Silva. Anak itu pasti dalam kondisi berbahaya, atas penjelasan Najma."

Rendra memijit keningnya. Bayangan cairan merah, bisikan kejam bu Candra menusuk telinganya.

"Pak Rendra mengganjal pintu dengan sepatu," Ragil menjelaskan.

Ya, ya.

Rendra mengingat hal itu. Ia sempat membayangkan harus melarikan diri bersama Silva jika keadaan memburuk.

"Silva bagaimana?"

"Kami masih nunggu observasi dokter. Dia kehabisan banyak darah," Ragil berkata prihatin.

"Apa aku sudah bisa ketemu?"

"Coba kita tanya perawat."

Rendra mengangguk. Melangkah menuju kamar pasien. Perawat menahan mereka di pintu, dari celah yang terbuka sedikit bayang sesosok tubuh lemah berbaring dengan selang menancap di tubuhnya. Rasanya ingin mendekati dan memeluknya. Betapa malangnya keluarga mereka memiliki seorang ibu seperti bu Candra. Apakah lebih baik kehilangan ibu yang bejat atau tetap memilikinya walau berselimutkan penderitaan?

Ragil terlihat menerima telepon. Suara di seberang terdengar cemas.

"Gimana Silva, Mas?"

"Kami gak tahu."

"Dia…masih hidup?"

Ragil menahan napas, meragukannya walau berharap besar gadis itu selamat.

"Mas Ragil?" Najma bertanya mendesak.

"Doakan aja, Naj."

Hening sesaat.

"Kamu di mana?" tanya Ragil. "Kamu mau ke sini?"

"Gak. Aku serahkan Silva sama Mas Ragil."

"Kamu di mana?"

Diam.

"Naj! Kamu jangan buat aku kesal dan khawatir!" bentak Ragil.

"Sudah, gak usah khawatirkan aku. Aku gak papa," ucap Najma.

Ada latar belakang suara deru angin di belakangnya.

Ragil tetiba menyadari, Najma sedang melakukan perjalanan, entah ke mana.

🔅🔆🔅