webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Perebutan Perak (1)

"Silva, sorry, ya," Najma berujar penuh sesal. "Mbak gak bisa bantuin kamu lagi. Ya, setidaknya buat sementara ini."

Silva mengangguk. Ia sudah terbiasa diabaikan.

"Kamu tinggal aja sama kami," Najma seolah membaca pikiran gadis di depannya. "Sampai kamu…ya, sampai kapan kamu suka."

Baiklah, pikir Silva. Sekolahku?

"Atau kamu mau kuantar balik ke Javadiva?"

Silva menarik napas panjang. Sonna dan Candina sudah kembali ke Javadiva. Bagaimanapun, Sonna tak dapat kehilangan beasiswa dan Candina tak dapat berpisah lama dari Salaka. Apakah ia ingin kembali ke Javadiva? Entahlah. Pikiran Silva justru dipenuhi kejadian-kejadian aneh tak masuk akal yang terjadi di ruang Dahayu. Peringatan Galba. Juga pelajaran bahasa kuno yang belum dituntaskannya.

Silva ingin membantu Najma, tapi apa yang mungkin bisa dilakukannya?

🔅🔆🔅

Kembali ke Javadiva, walau tak disukai, tetap harus dilakukan Silva.

Bhumi mempersiapkan diri menjadi komikus dan animator. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang seni lukis dan gambar Dahayu. Sonna dan Silva sering berada di gedung Paramastra, tempat keduanya ingin mewujudkan mimpi sebagai jurnalis atau penulis. Sementara Salaka dan Candina lebih banyak memelajari tarian di ruang Janaloka. Rasi, yang sedikit berbeda. Minatnya pada seni sering membuatnya masuk kelas Dahayu, tetapi di satu sisi ia pun menggilai mesin dan bilangan hingga tak pernah absen dari ruang kelas di gedung Ganita.

Kadang, kesibukan membuat mereka seolah melupakan hal penting yang demikian menegangkan dan mengancam. Tapi saat istirahat, tak ada yang lebih penting selain berkumpul dan membahas perkembangan terkini.

"Kau dengar yang disampaikan Sonna, Salaka?" Candina berkata.

Pertemuan mereka di bawah pohon kapuk randu, di areal belakang Javadiva yang dipenuhi pohon-pohon besar dan sungai mengalir, cukup memberikan keleluasaan.

"Mereka, para pangeran Eropa itu yang melakukannya," Salaka berpendapat.

"Kita nggak yakin," Silva berkata, meragukan.

"Tak ada yang lebih berkepentingan terhadap perak selain pemburu-pemburu durbiksa."

"Dur...dur...apa?" Silva tak menangkap.

"Durbiksa," Candina mengulang. "Durbiksa adalah bahasa kuno untuk sebutan setan atau iblis."

"Seperti apa bentuknya?" Sonna bergidik mengucapkannya.

"Kenapa?" ujar Salaka, tersenyum. "Kau takut?"

Sonna gugup dan berkeringat. Entah durbiksa atau senyum Salaka yang membuatnya seperti itu!

Silva tampak berpikir.

"Kalau pangeran-pangeran Eropa itu memburu setan, berarti mereka sebetulnya…baik?" tanyanya.

Salaka dan Candina berpandangan.

"Bukannya kamu harus bantuin mereka, Candina?" tanya Silva ingin tahu.

Salaka menarik napas.

Candina terdiam.

"Ya…mungkin saja mereka orang baik," Candina menggumam.

"Mereka menyerang kita, ingat?" Salaka memotong. "Apapun tujuan mereka, mereka tidak melakukannya baik-baik."

Sonna mengangguk, "iya, bener juga sih. Kalau mereka main pukul, jadinya tindakan kriminal. Kayak yang mereka lakuin sama mas Ragil ya, Sil?"

Silva mengangguk.

"Emangnya, kenapa sih kalau perak itu dibagi-bagi?" tanya Silva.

Belum sempat Salaka dan Candina menjawab terdengar seekor kucing mengeong. Kembang telon, mata kanan kiri berbeda, tubuh gembul, lincah menggemaskan.

"Cookiiiiieeeesss!" sontak Sonna dan Silva berteriak girang. 'Cat person' selalu kehilangan akal sehat tiap bertemu kucing. Mengelus. Berebut memeluk dan menggendong

Lalu tersadar seketika. Silva dan Sonna otomatis menarik tangan dari bulu-bulu lembut kucing di depannya. Cookies mengusap-usapkan kepala ke kaki Sonna.

"Ini...ini...aku apain? Aku tendang?" bisik Sonna panik. "Atau...atau dibanting?"

Silva melotot ke arahnya. Makhluk sekecil itu tak pantas mendapat perlakukan kejam, kecuali kalau ia membesar seukuran sapi. Silva mengambil Cookies, menggendongnya, memeluknya.

"Sil...?" Sonna berbisik. "Dia...dia itu..."

"Durbiksa?" gumam Silva. "Setan? Jadi-jadian?"

Sonna menutup mulut dengan jemari.

Silva memeluk Cookies. Mendekapnya penuh kasih sayang. Salaka dan Candina menatap tegang. Kedua tangan Silva mengangkat Cookies ke udara, seperti ibu menggendong anak dan mengangkatnya ke atas.

"Cookies, atau Nimar, atau durbiksa!" desis Silva. "Heh! Kamu! Ya, kamu!"

Cookies mengeong pelan, dalam bayangan Sonna ia mengaum buas.

Silva menatap Cookies, tepat di manik matanya yang biru dan coklat.

"Siapapun kamu," Silva berucap tegas. "Kamu gak lebih tinggi dari manusia. Kamu tahu, Cing? Tuhan menciptakan manusia jadi penguasa terbaik. Alpha predator!"

Sonna menatap Silva terbelalak.

"Kenapa?" Silva bertanya.

"Kamu...kamu kadang aneh, Sil," desis Sonna.

"Aneh kenapa?"

"Kadang kamu keliatan lemah, gak berdaya. Tapi kalau kayak gini kamu keliatan...buas."

Silva terkekeh pelan. Tawa aneh yang membuat Sonna mengernyitkan dahi.

Salaka menatap Silva tak berkedip hingga Candina menyodok pinggangnya.

Salaka terkesiap.

"Kamu...bicara apa, Silva?" tanya Salaka, terlihat gelisah tak percaya.

Silva menoleh ke arahnya, masih menggendong Cookies. Mengelusnya. Menepuk-nepuk kepalanya. Sebentar kemudian gadis itu melepaskan Cookies untuk bermain.

Silva menaikkan alis, tanda tak mengerti.

"Yang kamu ucapkan baru saja," Salaka mengulang permintaan dan pertanyaan, "kamu bicara apa?"

Silva berpikir keras. Salaka dan Candina terkadang tak mengerti kosa kata terbaru. Silva pun masih bertanya-tanya, berasal dari tahun berapakah keduanya.

"Alpha?" Silva balik bertanya. "Alpha predator?"

Salaka menggeleng, "...yang sebelumnya."

Sonna memandang Salaka dan Silva bergantian, ikut bingung.

"Tentang Tuhan?" Sonna menimbrung. "Tentang penciptaan Tuhan?"

Salaka mengangguk," ya...tentang itu."

"Tuhan menciptakan manusia jadi...jadi penguasa terbaik?" Silva ragu mengucapkannya.

Candina dan Salaka bertatapan.

"Darimana kamu dapatkan kata-kata itu?" bisik Salaka.

Silva dan Sonna berpandangan, lalu angkat bahu berbarengan.

"Itu pepatah terkenal di kalangan manusia," Sonna menjelaskan. "Udah biasa banget kita ngomong kayak gitu. Kalau manusia itu makhluk terbaik yang diciptakan Tuhan. Penguasa tertinggi. Penguasa unggul di dunia."

Perbincangan terhenti.

Dering ponsel Sonna berseru keras. Mengejutkan dengan ringtone lagu Pop-nya Nayeon Twice.

"Halo? Iya…gakpapa. Aku lagi santai, Mbak….gakpapa, kok. Iya? Oh, ini anaknya ada," Sonna berbicara seolah pada diri sendiri.

Terdiam sesaat. Samar terdengar suara di seberang, bukan nada bahagia atau ceria.

"Gakpapa, Mbak Najma," sahut Sonna. "Silva anaknya baik, kok. Percaya deh sama aku. Nih, ngomong aja langsung."

Sonna memberikan ponsel, sembari mengisyaratkan Silva untuk menerima. Mulut Sonna berkomat kamit menyebut nama : m-b-a-k N-a-j-m-a.

"Oh, iya, Mbak?" tanya Silva.

Terdengar helaan napas di kejauhan.

"Sil, ini Mbak Najma."

"Iya…aku dengerin…"

"Silva, Mbak mau ngerepotin kamu. Mbak malu sebetulnya."

"Gakpapa, nyantai aja, Mbak. Ada apa?"

"Tapi kalau kamu gak bisa, jangan dipaksa ya, Sil."

"Iya, Mbak."

"Silva, kamu pegang uang gak?"

Hening sesaat. Silva terkaget-kaget. Ia belum pernah mendapati orang meminta tolong seperti itu.

"Silva?"

"…eh, iya, Mbak…"

"Kamu…kamu pegang uang?"

"…eh, berapa emangnya, Mbak?"

Najma menyebutkan jumlah.

Silva teringat ATM yang diberikan bu Candra, mamanya.

"Mbak usahakan kembalikan, nyicil pakai gaji Mbak Najma," terdengar suara berat di seberang. "Kondisi mas Ragil lumayan parah, Sil. Butuh operasi. Lukanya…ya, lukanya…"

Silva menatap Salaka dan Candina. Terbayang perbincangan mereka. Terbayang pangeran Eropa yang mereka curigai. Terbayang perebutan perak dan tetiba Silva menegang.

"Mbak Najma sama siapa? Lagi di mana?"

"Aku di rumah sakit."

"Sama siapa?"

"Sendirian aja."

"Oke, Mbak, aku ke sana," Silva berujar.

"Dek, kalau ada uang kamu transfer aja. Gak usah repot ke mari. Pake ebanking bisa kan?"

"Gak. Aku ke sana!" tegas Silva.

🔅🔆🔅