webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Minuman Salaka

Rendra tampak lelah. Menatap Silva kosong dan datar. Tak ada kemarahan, tapi juga tanpa emosi apa pun. Bu Tina yang mengenali Rendra dengan jelas, masih memperlakukannya seperti seorang majikan. Segera membuatkan minuman dan menyuguhkan makanan terbaik yang ada. Melihat bu Tina dan Najma, amarah Rendra tersulut. Demi memandang Silva, ia menahan diri untuk tak melampiaskan amukan.

"Kamu udah gede, Sil. Aku gak akan selalu ada buat kamu. Kamu harus bisa mutusin apa yang baik buat kamu," tegas Rendra.

Silva menatapnya kacau. Tak tahu harus berkata apa. Najma ingin bersuara, urung ketika lampu di ruangan berkedip. Redup. Nyala. Redup. Nyala. Redup. Suara angin di sekeliling rumah terdengar berputar.

"Kayaknya mau hujan gede," bu Tina berkata, sedikit khawatir. "Nak Rendra naik mobil kan?"

Rendra hanya terdiam, tak menanggapi. Seolah enggan.

Gawai Najma berdering. Terdengar suara di seberang, berkata-kata. Najma mengerutkan kening, mencoba memahami. Wajah tegang Najma membuat Silva tak memperhatikan Rendra.

"Kamu bukan Mawar!" bentak Najma.

Terdengar suara terkikik di seberang, melemparkan pertanyaan.

"Aku gak tau Silva ada di mana!" tegas Najma, meletakkan telunjuk di bibir, meminta Silva tak berkata. Kalau bisa tak bernapas.

Angin berat berputar di luar, seolah mematahkan ranting dan menerbangkan tumpukan dedaunan kering yang telah disapu menjadi gundukan. Gerakan tak tampak di luar seolah membawa kekuatan besar. Lampu di beberapa ruangan telah dinyalakan, walau hari belum memasuki malam. Mendung sedari tadi memang lumayan menggelapkan suasana. Lampu-lampu tampak berkedip-kedip di beberapa ruangan.

Silva, tak bersuara, mencoba ingin tahu dan memaksa merebut gawai Najma. Memencet tombol pengeras.

"Bawa gadis itu, Silva, kemari! Atau Ragil mati, Najma!" suara berat Mawar mengancam.

Najma tertegak kaku.

"Aku tak main-main, Najma! Kalau kau tak segera bawa Silva ke mari, Ragil akan mati perlahan!" Mawar terkekeh. Entah apa yang dilakukannya, tapi terdengar Ragil berteriak menahan sakit.

"Najmaaa!" teriak Ragil, seolah tak sanggup menahan derita.

"Kau dengar, Tukang Batu?" bentak Mawar.

Najma menelan ludah. Menatap bu Tina yang mencoba merengkuh Silva dalam pelukannya. Rendra berdiri mematung, tak mengerti.

"Najma!" teriak Ragil sekali lagi, seolah upaya terakhirnya. "Selamatkan Silva! Jangan ke mari!"

Teriakan Ragil tak sanggup didengar. Najma mematikan teleponnya. Memandang Silva yang ketakutan dan Rendra yang lambat tanggap, namun bergerak melindungi Silva.

"Jangan macam-macam sama Silva!" tegas Rendra.

Najma mencengkram lengan Silva, seolah menariknya mendekat.

Angin di luar rumah makin menggila. Gerakannya seolah berputar, mengangkat, menekan, menggedor daun pintu dan daun jendela. Satu hentakan kuat memecahkan kaca jendela rumah bu Tina yang memiliki pola seperti rumah kuno. Kusen kayu dengan beberapa jendela kaca kotak pecah. Silva berteriak terkejut, bersamaan dengan bu Tina. Najma menarik lengan Silva kuat. Rendra menghalanginya, matanya nyalang.

"Setelah kamu mencelakakan Pandu, jangan harap kamu bisa melukai Silva!" bentak Rendra.

Dua orang dewasa mencoba adu kekuatan menarik Silva.

"Mas Rendra!" teriak Silva. "Mas bilang aku harus bisa mutusin sendiri!"

Rendra terhenyak.

"Kalau aku bisa nyelamatkan mas Ragil, akan aku lakukan!" tegas Silva.

"Ngawur kamu!" bentak Rendra.

"Ada apa semua ini?" bu Tina kebingungan, tampak khawatir. "Jangan narik-narik Silva seperti itu! Kasihan dia! Mas Rendra! Najma!"

Lampu ruang tamu mendadak pekat. Kacanya pecah tetiba, jatuh berkeping ke lantai. Walau tak melukai keempat orang yang berada di bawahnya, semua sadar peristiwa itu bukan kejadian biasa.

"Aku ikut Mbak Najma!" tegas Silva, melihat Najma terlihat berkemas.

Najma menatapnya, menggeleng kemudian. Tangannya masih mencegkram lengan Silva, namun mendorongnya ke arah bu Tina.

"Ibu, ada yang harus kuselesaikan," ujar Najma.

"Kamu mau ke mana, Nduk? Gelap kayak gini. Bentar lagi hujan gluduk!"

Suara petir menggelegar, membuat semua terkesiap.

"Mbak Najma! Aku ikut!" tegas Silva.

Najma menggeleng, tangannya memegangi pipi Silva, "Silva! Dengar! Ingat apa yang tadi kita bicarakan!"

"Tapi…tapi…Mbak…"

Najma menoleh ke arah bu Tina.

"Bu! Kita harus lindungi Silva!" tegas Najma. "Ibu ingat cerita Ibu bertahun lalu? Papa Silva menitipkan barang pada Ibu. Silva butuh barang itu sekarang!"

Mata bu Tina terbelalak. Najma mengangguk, menguatkan.

"Najma!" teriak bu Tina khawatir.

Najma seolah mengabaikan. Ia berbenah menyiapkan diri segera, meraih ransel besarnya. Meninggalkan Silva dalam dekapan bu Tina dan Rendra yang hanya memandang semuanya dengan bertanya-tanya.

🔅🔆🔅

Candina menatap Salaka khawatir.

"Kamu kelihatan makin lemah, Salaka," ujarnya resah.

Salaka tersenyum, menenangkan.

"Buatkan aku minuman," pintanya. "Seperti biasa."

Candina mengangguk, beranjak menuju dapur. Menuang air dan cairan pekat ke gelas perak, mengaduknya perlahan. Salaka meneguknya cepat, memandang dasar yang kosong. Bayangan-bayangan melintas. Percakapan-percakapan terdengar.

"Aku paling gak suka madu," gerutu Mawar.

Sebaliknya, Najma terlihat melahap dua sendok ketika pagi dan sore.

"Aku justru bawa minuman yang dicampur madu. Seger, lho," ujar Najma.

Mengapa ada orang-orang yang memiliki kemiripan demikian dekat? Pikir Salaka murung.

"Kau mau lagi?" tanya Candina menawarkan, melihat Salaka memandang gelas itu begitu rupa.

Entah mengapa, Salaka menjawab, "Ya."

Candina membawakan ramuan kedua yang diteguk perlahan oleh Salaka.

"Kau harus mempersiapkan sosok pengganti, Candina," ujar Salaka.

Candina mengangguk, "Betul, Salaka. Aku mungkin tidak akan bertahan lama. Silva menurutku, calon yang tepat."

Salaka terdiam. Sosok Silva yang begitu dekat dengan Najma mengganggu benaknya.

"Bagaimana dengan Sonna?" tanya Salaka.

Candina menggeleng, "Aku lebih memilih Silva. Kenapa? Kau keberatan?"

Salaka menarik napas.

"Apa pernah, pendampingmu dalam melakukan pengawalan perak ini mengalami kegagalan?" Candina bertanya hati-hati.

Salaka tak menjawab. Justru menanyakan hal lain.

"Apakah Brotoseno masih mengawal kita?" tanyanya.

"Ya. Mereka menjagamu dengan setia," Candina menenangkan.

"Atau sebetulnya, tak membolehkanku beranjak ke mana pun," gumam Salaka.

Candina menatapnya lekat. Apakah Salaka berpikir bahwa Brontoseno dan pasukannya berlawanan arah dengan mereka?

Keheningan menyeruak.

Salaka memberi isyarat pada Candina untuk bersemedi. Kontak penting antara mereka untuk saling berkomunikasi.

Salaka :

"Aku harus ke sumur Wiswa. Tapi Brotoseno dan pasukannya tak boleh tahu."

Candina :

"Apa yang harus kulakukan?"

Salaka :

"Ajak mereka menemui harimau dan elang."

Candina :

"Kau di sini sendirian? Tanpa pengawalan?"

Salaka :

"Aku akan ke sumur Wiswa."

Candina :

"Kau gila, Salaka! Kau akan mati ke sana sendirian!"

Salaka :

"Bekal perak yang dibawakan Brotoseno kurasa cukup. Itulah sebabnya, aku minta kau bisa memperdayainya untuk meninggalkan tempat ini."

Candina :

"Bagaimana caramu ke sumur Wiswa?"

Salaka :

"Aku akan menunggang angin."

Candina :

"Katamu, kau sudah tak mampu melakukannya!"

Salaka :

"Harus kucoba lagi. Aku akan mencoba segala cara untuk menuntaskan tugasku hingga paripurna."

Candina :

"Salaka, apakah tidak cukup perak yang kau kumpulkan selama ini? Mengapa tidak dihentikan saja? Jaga dan kawal apa yang telah kau miliki. Sangat berbahaya bagimu menjelajah waktu dan terus mengumpulkan perak hingga waktu yang tidak bisa ditentukan."

Salaka :

"Candina, itulah sebabnya aku akan ke sumur Wiswa. Aku rasa, penjelajahanku harus berhenti segera. Ada tugas besar lain yang harus kuselesaikan."

Candina :

"Tugas apa itu?"

Salaka :

"Aku tidak bisa memberitahumu. Tapi bila waktunya tiba, kau orang pertama yang akan kuberi tahu."

Candina membuka mata.

Bersamaan Salaka yang juga melepaskan semedinya.

Mereka bertatapan sejenak dan saling mengangguk.

🔅🔆🔅