webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Minuman Merah

Hanya mengenakan training dan T-shirt ala kadarnya, Rendra memacu mobil menuju apartemen Casablanca. Pikirannya kacau. Bayangan mama, Fuji, Kikan, Pandu dan Silva tumpang tindih di benaknya. Kematian Fuji yang mendadak dan misterius membuat jantungnya seperti berdetak tak beraturan. Napas tak lagi sama panjang pendeknya.

"Silva," bisiknya. "Bertahanlah!"

Dulu ia sangat membenci sosok adik yang hamil di luar pernikahan sah ibunya. Perjalanan waktu mengajarkan, bahwa Silva bukanlah pihak yang harus menanggung dosa.

Ia mencoba menghubungi nomer Silva yang tak aktif, dan anehnya, Rendra tak ingin menghubungi mamanya sendiri.

🔅🔆🔅

Apartemen Casablanca serasa makam dan penjara sekaligus.

Hari-hari biasa apartemen ini terasa ekslusif dan dipenuhi ekspatriat berduit. Lalu lalang orang yang sibuk rapat, menelpon kolega atau bisik cekikian mesra antara penghuni apartemen entah dengan siapa. Rendra memiliki akses untuk bisa masuk ke lantai duapuluh. Merasakan bulu tubuhnya berdiri oleh hal yang tak dimengerti.

Suara khas alarm pintu kamar terbuka membuat telinganya berdenging. Lorong dan bagian ruang tamu terlihat gelap. Ada cahaya remang menyala di kamar dan teras luar yang tirainya terbuka. Rendra merapal doa dalam hati, sesuatu yang telah lama tak pernah dilakukannya. Tangannya meraih tombol lampu dan menyalakannya. Mata berkerjap, mencoba beradaptasi dengan suasana terang benderang.

"Silva?"

Rendra berjalan perlahan.

Gawainya berdering, mengejutkan. Rendra menggeser tombol hijau.

"Pak Rendra?" terdengar suara di seberang, yang cemas sembari menarik napas dalam.

"Ya," bisik Rendra.

"Hati-hati."

"Aku harus ngapain?"

"Tenang dan berani," suara Najma meneguhkan.

Rendra mengangguk, walau tak terlihat.

"Kalau Pak Rendra takut," Najma berkata lagi, "ucapkan : Tuhan, Penguasa Langit dan Bumi. Aku memohon perlindungan-Mu. Itu mantra yang diucapkan para ksatria ribuan tahun silam ketika menghadapi bahaya."

Tuhan, Penguasa Langit dan Bumi. Aku memohon perlindungan-Mu, bisik Rendra berulang. Harus diakui, hatinya gentar. Tangannya mencoba menyalakan semua lampu dan nyaris terlonjak ketika mendapai satu sosok tengah duduk dengan anggun di sudut ruangan.

"Kamu nyari siapa?" suara itu terasa dikenalnya dengan baik, walau sangat jauh.

Rendra menarik napas pelan, "Ma?"

"Ya. Ini Mama. Kamu ngapain di sini?"

"Aku…," Rendra menelan ludah, "…mana Silva?"

"Dia sedang tidur."

"Tidur di mana?"

"Di kamar Mama. Nggak usah kamu ganggu."

"Aku mau ketemu dia, Ma."

"Mama bilang gak usah ganggu dia, kasihan! Adikmu capek," ujar bu Candra.

Di hadapan perempuan cantik itu, berdiri gelas tinggi. Rendra tahu, mamanya suka meminum anggur jenis tertentu. Hari-hari biasa, tentu tak ia permasalahkan. Gelas red wine bu Candra bermacam-macam. Mulai yang mulutnya lebar seperti Burgundy hingga yang langsing tinggi dengan mulut lebih kecil seperti Bordeaux. Model burgundy membuat red wine memberi sensasi tertentu ketika menyentuh ujung lidah. Masalahnya, red wine yang tengah dinikmati bu Candra terlihat berbeda. Gela situ seharusnya hanya meninggalkan jejak samar kemerahan, bukan noda tebal warna merah yang tampak menempel Bagai tirai di sekeliling burgundy.

Mata bu Candra berkilat.

Ia meraih gelas burgundy, menempelkannya ke bibir. Tampak menyesap pelan-pelan, menjilati bibirnya.

"Kamu mau duduk di sini, minum bareng Mama?"

Bu Candra mengusap sedikit ujung bibirnya.

Rendra menahan napas, melihat gerakan itu. Bukan seperti gerakan tangan mengusap cairan bening. Lebih mirip mengusap cairan kental yang merembes ke luar dari ujung mulut.

"Aku mau ketemu Silva, Ma!" tegas suara Rendra.

"Duduklah sini," bu Candra berkata membujuk. "Nanti Mama jelaskan."

"Nggak!" Rendra menggeleng.

"Rendra," bisik bu Candra seolah di samping telinganya, menimbulkan sensasi bujukan kuat yang membuat kepala pening, "duduk! Duduk di sini!"

Hati Rendra menolak tapi kakinya mengikuti perintah. Bagai robot ia berjalan mendekati bu Candra dan duduk di dekatnya.

"Mama sebetulnya gak ingin bicara dalam kondisi kayak gini," bu Candra terlihat merenung, "tapi kamu kayaknya tahu lebih cepat. Jadi, lebih baik Mama terus terang aja."

Rendra terdiam. Lidahnya seolah kelu. Hanya matanya menatap tajam ke arah perempuan di depannya.

"Semua yang Mama lakukan adalah demi kebaikan kalian," bu Candra berbisik. "Mama ingin kalian bahagia. Sukses. Hidup senang. Gak kayak Mama papa dulu yang pontang panting cari duit. Itu sebabnya Mama merintis usaha apapun."

Bagian ini disimak baik-baik oleh Rendra.

"Mama coba jualan kue, jualan baju. Sampai jualan hasil bumi seperti bawang putih dan beras. Apapun Mama lakukan," bisik bu Candra. "Akhirnya, Mama bisa usaha tambang. Perkebunan sawit. Properti. Pariwisata. Kamu tahu, kita sebentar lagi punya usaha kapal pesiar dan tambang sendiri."

Rendra menarik napas, mengingat kolega mamanya yang berasal dari berbagai kalangan.

"Tapi bisnis itu kejam, Rendra," bisik bu Candra. "Kita bukan hanya berhadapan dengan aparat dan mafia. Kita berhadapan dengan banyak pihak yang punya kekuatan."

Mata bu Candra terlihat redup, seolah sedih. Ia tampak mengusap ujung matanya yang basah.

"Banyak yang harus Mama korbankan, banyak yang harus Mama perjuangkan," bu Candra berkata lagi. "Mama mengaku salah telah berkhianat pada papamu. Mama mencoba menebusnya."

Hati Rendra ikut sedih mendengarnya. Wajah Silva yang kurus dan pucat melintas sekilas.

Bu Candra mengangguk, jemarinya menelusuri tepian gelas burgundy. Wajahnya mendongak dan matanya menyapu wajah Rendra, menjentikkan jemari hingga putra lelakinya bisa mendapatkan kesadaran kembali.

"Ma…aku salut sama Mama," Rendra berujar pelan. "Silva mana?"

Wajah perempuan di depannya mengeras tiba-tiba.

"Ngapain sih kamu nyari-nyari Silva?" bentak bu Candra.

"Aku cuma pingin ketemu dia, Ma."

"Dia lagi tidur."

"Oh, oke. Kalau gitu, aku mau tidur bareng sama dia, ya?"

Bu Candra tampak terkejut, lalu tertawa tiba-tiba.

"Nggak boleh!" desisnya.

"Kenapa? Aku kakaknya kan," Rendra mencoba protes.

"Kalian gak boleh tidur bareng!" pekik bu Candra.

"Aku nggak akan ngapa-ngapain Silva, Ma," Rendra bersuara lembut. "Cuma mau mastikan dia aman."

Gawai di saku celana Rendra berdering pelan, tinggi nadanya sudah dikurangi banyak. Getarannya cukup mengejutkan. Rendra menekan tombol hijau, mendekatkan perlahan ke telinga.

"Ya?"

"Tuhan Pemilik Langit dan Bumi bersama Pak Rendra," bisik suara di sana. "Apapun yang ada di sana, jangan percaya begitu saja. Ambil Silva dan bawa keluar secepatnya."

Rendra mengangguk perlahan, mencoba mengulangi, "Tuhan Pemilik Langit dan Bumi bersamaku."

Bu Candra tertawa keras mendengarnya.

"Kamu mau nakut-nakutin Mama, ha?" bentaknya. Tangan perempuan itu meraih gelas burgundy, membawanya ke bibir, meneguknya cepat dan menjilati bibir dengan ujung lidah.

Rendra terkesiap. Jelas cairan itu bukan red wine. Cairan kental itu…apakah darah? Pikir Rendra kalut. Kalau darah, darah siapa? Jemari Rendra menutup telepon. Berdiri segera, berlari ke arah kamar, menggedor pintu. Sebuha kekuatan dahsyat menahan laju langkahnya. Jemari bercakar bu Candra menggores dalam lengannya.

"Kamu pikir hidup enak seperti ini gak ada pengorbanannya, hah?" bentak bu Candra. "Kamu pikir semua pengusaha itu merangkak dari bawah, belajar dari pengalaman dan meraih kesuksesan cukup dengan kerja keras?!"

Rasa sakit luarbiasa merajam tubuh. Lengannya yang tergores dalam meninggalkan rasa nyeri.

"Mama lakukan semua buat kamu dan adik-adikmu! Buat keluarga kita!" geram bu Candra.

"Mama! Lepaskan!"

Kuku tajam bu Candra menancap kuat di lengan, menggoreskan dengan kekuatan yang cukup membuat Rendra berteriak tertahan. Tanpa sadar ia mendorong dengan kekuatan penuh hingga bu Candra terdorong jatuh ke belakang.

Suara tangisan perempuan yang memelas menahan langkah Rendra.

"Ren…kamu tega kayak gitu sama Mama?" bisiknya parau.

Tak tahan melihat bu Candra yang jatuh terduduk sembari menangis, Rendra berjongkok mendekatinya.

"Mama, maafkan…," ujar Rendra pelan dan tulus, berusaha membantu bu Candra bangkit.

Mata bu Candra tetiba nyalang kembali. Tangannya meraih bahu Rendra dan menghunjamkan kuku-kukunya ke sana.

"Mama! Demi Tuhan Penguasa Langit dan Bumi!" teriak Rendra sekuat tenaga. Gemetar menahan sakit, jemarinya meraih lengan bu Candra. Bu Candra terpekik tetiba.

Rendra pun tertegun sembari meringis menahan sakit tak terkira. Jemari tangannya mengenakan cincin perak pemberian Silva, tampak memberikan dampak cukup hebat bagi serangan bu Candra. Perempuan itu berteriak tertahan. Lengannya melepuh. Ia terhuyung ke belakang, satu telapak tangannya memegangi luka bakar kecil yang meninggalkan jejak asap. Kesempatan yang tak disia-siakan Rendra untuk bergerak kembali, mendobrak pintu kamar.

Pintu terbuka paksa dan pemandangan di sana menciutkan nyali Rendra hingga sebesar sebutir biji padi.

🔅🔆🔅