webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Mantra Silva (4)

Senja itu, berlalu dalam ketegangan.

Ragil, Bara dan Mawar bergabung diam-diam. Najma ingin cabut dan segera menjauhi Javadiva, tapi mereka tak bisa lari begitu saja. Setelah mengamankan Bhumi di rumah sakit yang sementara ini dijaga seorang oleh Sonna, mereka sepakat untuk lebih banyak mendampingi Salaka.

"Malam ini," Candina berkata,"kemungkinan prajurit perak akan bertarung habis-habisan."

Dalam kamar perempuan, Candina, Silva dan Najma berembug.

"Aku mau bicara dengan Salaka," Najma berkata. "Bertiga dengan Mas Ragil. Apa bisa?"

Candina menatap Najma dalam.

Entah mengapa, Candina seakan menjadi juru bicara bagi mereka. Seolah tak mudah untuk meminta Salaka langsung bertemu dan mengajaknya berbicara. Aura kebangsawanan Salaka membuat siapapun merasa lebih baik berhati-hati dan menjaga jarak.

🔅🔆🔅

Di ruang tamu, Rasi menepi dulu. Menjauhinya. Najma dan Ragil ingin bicara lebih lapang dan dalam. Mereka duduk berhadapan, bersiap berbicara dan saling menatap satu sama lain.

Telepon Najma berdering. Najma menatap nama yang tertera, menarik napas panjang. Setelah bertukar salam dan basa basi, di seberang suara khas itu menukik dengan beberapa pertanyaan.

"Kamu gimana kabarnya?"

"Baik."

"Apa Luna cukup membantu?"

"Sangat membantu."

Najma tak ingin mengatakan bahwa ia menggunakan nama Luna sebagai penyamaran saat memasuki Javadiva.

"Bagaimana Silva?"

"Silva baik. Dia aman bersama kami."

Hening sesaat.

"Kami?" suara di sana menegaskan.

"Ya."

"Kamu bersama Ragil?"

"Ya."

"Di mana?"

"Masih di sekitar Javadiva."

"Iya, di mana tepatnya?"

Najma menarik napas panjang dan dalam, menatap Ragil dan Salaka.

"Di sebuah rumah," jawab Najma.

Terdengar tawa sumbang di seberang. Helaan napas, hening yang tampaknya bukan isyarat kedamaian. Suara yang berikut benar-benar menyengat.

"Najma! Saya gak ngelarang kamu tinggal serumah atau tidur bareng Ragil. Tapi jangan bawa-bawa Silva!"

Najma meradang.

"Jangan samakan saya dengan cewek-cewek yang biasa Bapak bawa!" sengit jawaban Najma.

Klik.

Mereka saling menutup telepon dengan marah.

Napas Najma memburu. Apa-apaan ini? Ia tadi dituduh melakukan apa? Serumah dan tidur bersama Ragil? Seumur hidup baru kali ini ada orang menuduh dan merendahkannya seperti itu. Setelah menata hati dan menenangkan diri, Najma berpikir sinis dan sarkastik.

Bukankan seseorang menuduh sesuatu berdasarkan pengalamannya sendiri? Menuduh orang lain mudah berburuk sangka, karena pikirannya pun dipenuhi hal-hal negatif. Menduga gadis zaman sekarang mudah melepas kehormatannya dengan teman lelaki, padahal tak semuanya begitu. Boleh jadi karena lingkungan yang dijalani memang mencerminkan jalan hidup yang demikian.

"Siapa?" tanya Ragil curiga.

Najma menahan amarah, terlihat sedih dan tertekan walau mencoba menenangkan diri dengan memijit kening dan kepala.

"Rendra?" Ragil menebak.

"Hanya orang iseng. Salah sambung," sahut Najma dingin.

Salaka menatap Najma tajam.

"Siapa yang menghubungi Mbak Najma baru saja?" tanya Salaka.

Najma menatap Ragil dan Salaka bergantian.

"Gak usah dibahas, Salaka," sahut Najma. "Gak penting!"

"Apa itu salah paham?" tanya Salaka.

Najma angkat bahu, "Mungkin."

Alis Salaka naik.

"Mbak Najma tidak ingin meluruskan?" Salaka mendesak.

Najma menatap pemuda di depannya heran. Apakah itu perlu dibahas sekarang?

"Nanti kalau urusan kita udah selesai, biar aku bereskan," Najma berjanji, untuk menenangkan Salaka.

"Mbak Najma punya hubungan istinewa dengan orang tadi?" Salaka masih mengejar.

Najma menatap Ragil, matanya terbelalak. Kenapa anak ini, pikir Najma. Apa terkurung terlalu lama di Javadiva membuat otaknya terkepul berasap?

Ragil tampak menahan diri untuk tak bereaksi.

"Kalau hubungan Mas Ragil dan Mbak Najma?" Salaka menyelidik.

Najma tertegun.

Anak ini benar benar! pikirnya.

"Kami sahabat, Salaka," Ragil menyahut akhirnya, sembari tertawa. "Aku menganggap Najma sahabat. Gak tau dia anggap aku apa."

Najma melotot.

Melempar gulungan tissue.

"Apa...Mas Ragil sering menolong mbak Najma?" Salaka terus memburu.

Najma menatap Salaka.

Ia mulai merasa, pemuda di depannya bukan sekedar banyak tanya, tapi ada yang ingin digalinya. Ragil mengerutkan kening, merasa aneh, tapi juga berkeinginan menjawab. Ia melipat tangannya di depan dada.

"Najma ini cewek yang baik. Tapi sering bikin masalah. Yah, seperti masalahnya yang sekarang. Dia pingin bisa nolong Silva – teman kamu itu. Kalau Najma bikin masalah, dia kadang kadang...ya, gak kadang-kadang juga. Sering malah!"

Najma tambah melotot.

Ragil tertawa, walau raut wajahnya serius.

"Kalau dia punya masalah, aku yang sering nolongin dia. Gitu ceritanya," Ragil menutup penjelasan.

Salaka tersenyum, menarik napas sedikit.

Najma menatap Salaka dalam.

"Kamu pernah...ketemu orang orang kayak kami?" tanya Najma. "Sahabat, berteman, berantem; gitu?"

Salaka mengangkat wajah.

Menatap Najma sendu.

"Suatu saat aku akan cerita," Salaka bejanji. "Tapi sekarang, kita pusatkan perhatian pada prajurit perak dan Dubiksa yang kemungkinan malam ini menyerang."

Salaka menjelaskan tentang Prajurit Perak dan Dubiksa yang merupakan musuh lama wangsa kuno. Mereka telah menyisir Javadiva sejak lingkaran dalam, namun belum berhasil sepenuhnya menuju lingkaran luar. Ketika Salaka telah menceritakan semua, atau yang setidaknya perlu diketaui, Najma menyela dengan tanya.

"Apa yang bisa kami bantu, Salaka?"tanya Najma.

Salaka menatap Najam.

"Atau kamu, sebetulnya gak butuh bantuan kami?" Najma memberikan kalimat retoris.

🔅🔆🔅

Silva menyeruak ke tengah percakapan mereka.

"Mbak Najma," ujarnya. "Ingat cincin perak yang pernah kuhadiahkan padamu?"

"Yang kupakai ini?" Najma menjawab sembari menunjukkan tangan kirinya.

Silva tersenyum, "Ya."

Najma menatap binar gadis wajah di depannya, merasa suntuk begitu mengingat ucapan sang kakak yang merendahkannya.

"Mbak kenapa?" tanya Silva. "Tetiba mukanya keruh begitu?"

Najma menepiskan tangan, mengatakan semua baik-baik saja.

"Perajin perak yang pernah kuhubungi," Silva berkata. "Ia telah menyiapkan diri bersama pasukannya. Mereka siap kapaun kita minta bantuan."

"Pasukan?" tanya Ragil.

"Apa maksudmu, Silva?" tanya Salaka.

Kisah singkat Silva diutarakan kembali kepada Salaka. Perjalanannya menuju Kotagede, menyusuri lelaki tua yang memberikannya cincin perak. Bagaimana tanggapan lelaki itu terhadap simbol-simbol yang digambarkan oleh Silva. Ucapan lelaki tua itu yang terdengar seolah mengumpulkan mereka yang mengucapkan sumpah setia pada prajurit perak.

"Kamu seharusnya memberi tahuku lebih dulu!" tegur Salaka.

"Kupikir kamu butuh bantuan sebanyak-banyaknya," Silva menukas, tak enak hati.

"Siapa yang berkata demikian?" Salaka menukas dingin. "Aku meminta bantuanmu. Tapi jangan memutuskan hal-hal penting seorang diri!"

Najma berdehem.

"Kata-kata itu juga bisa tertuju untukmu, Salaka," Najma mengedipkan mata.

Ragil tersenyum.

"Apa kita gak sebaiknya bekerja sama? Mengingat, kami juga yang menyelamatkanmu ke luar dari Javadiva," Ragil menekankan.

"Mas Ragil, Mbak Najma," Salaka menegaskan. "Aku sangat menghargai bantuan kalian semua. Tapi perlu kukatakan sekali lagi, ada hal-hal yang belum kalian mengerti. Kita tidak boleh melanggarnya, jika ingin berhasil. Salah satunya adalah melaporkan kepadaku apapun pergerakan kalian."

Najma dan Ragil berpandangan.

Apakah ini tak terlalu berlebihan?

Silva tampak salah tingkah.

"Tentang bantuan pasukan perak dari lelaki tua itu apakah…"

"Jangan biarkan ia mendekat," Salaka mengingatkan. "Kita belum tahu apakah ia berniat membantu atau sebaliknya."

"Salaka, lelaki tua itu begitu bersemangat ketika mendengar nama kamu," Silva beralasan.

Salaka menarik napas panjang, menatap Silva lembut.

"Di masa lalu, ada sebuah nama yang bila disebutkan, siapapun pasti akan menyambutnya. Dengan sukacita," Salaka menjelaskan, "…atau kebencian."

Najma menahan napas. Ragil pun demikian. Serentak menatap ke arah Silva yang tetiba menjadi tertuduh.

"Silva gak niat jahat, Salaka," Najma membela.

"Aku tak menuduhnya jahat."

"Kalau ia berbuat salah, ada gak cara memperbaikinya?"

🔅🔆🔅