webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Kendi Perak

Patung itu masih terbaring di sana.

Terlihat tegap walau dalam posisi tidur. Sebagian tubuhnya telah tertutup debu kembali, yang mengeras dan perlu upaya lebih untuk mengikisnya.Tim penggali sudah berusaha keras menampilkan sosok aslinya, separuh tubuh telah dibersihkan. Anehnya, hujan membuat lapisan itu mengeras kembali. Hujan, bahkan seolah membuat patung itu kembali memiliki selaput.

Baiklah. Hujan membuatnya terkubur.

Apakah panas terik pun demikian?

Salaka ingin membuktikan sesuatu, walau itu akan mempertaruhkan nyawanya.

🔅🔆🔅

"Cepat! Kita harus cepat!" Brotoseno memerintahkan.

Perkakas perak dipanggul masing-masing dalam ransel besar. Memagari Salaka yang mencoba bergerak sesegera mungkin menuju patung. Sejak ke luar dari Javadiva, terlihat tubuhnya melemah, namun ia tetap memaksakan diri untuk bertahan dan terus berjalan.

Rombongan itu terlihat seperti iring-iringan yang tak lazim di area berdebu. Beruntung, wilayah itu bukan daerah yang menimbulkan perhatian warga. Silva bersikeras ikut, walau Ragil dan Najma telah mengingatkan bahwa kemungkinan banyak hal tak dapat diramalkan.

Salaka tiba di tepi penggalian.

"Bawa aku masuk," pintanya. "Candina dan Silva ikut."

Parit sekitar patung telah diperluas, hingga para penggali dan peneliti dapat bergerak lebih leluasa, berdiri mengelilingi patung. Ragil dan Brotoseno memandu Salaka yang tampak gemetar oleh kepayahan sekaligus emosi. Pandu menyusul masuk. Sebagian besar, mengawal di bibir lubang penggalian.

Sinar terik matahari yang menyinari patung itu, tepat di bawah jalur cahaya, tampak mengeraskan lapisan permukaan patung hingga terlihat makin kusam dan tertutup.

"Salaka?" Ragil berujar, setengah bertanya.

Tangan Salaka meraba permukaan patung yang membisu. Tanpa sadar, Candina dan Silva mengikuti gerakannya. Patung itu tetap membisu, tentu, namun sebuah kejadian aneh mengikuti. Debu-debu dan lapisan lumpur bagai terkuliti satu demi satu.

Wajah Salaka memucat, peluh mengucur deras, terlihat bahunya menahan beban berat yang tak tampak. Silva dan Candina cemas melihatnya, namun tak ingin melepaskan tangan dan berusaha membantu sebisa mereka. Sepasang tangan Salaka, Silva dan Candina bagai satu kesatuan yang mampu mengikis permukaan pelapis patung.

Tap.

Tap.

Dua telapak tangan menekan permukaan patung. Melawan pengaruh Salaka yang mencoba membersihkan benda purbakala tersebut, demi melihat wujud asli dan mengenal secara utuh siapa sebenarnya dirinya. Patung itu perlahan berlapis debu kembali, lumpur pelindung dan penutup.

Salaka terperangah.

Ragil pun demikian.

Silva menatap tak percaya.

"Jangan coba-coba, Salaka!"

Mereka yang berdiri di tepi lubang penggalian terpekik terkejut.

🔅🔆🔅

"Mas Pandu??" Silva berteriak tertahan. "Apa-apaan?!"

Tangan Salaka dan Pandu bagai bertarung di permukaan patung. Jelas bukan pertarungan yang menguntungkan bagi Salaka, hanya beberapa puluh detik ia makin lemah dan sempoyongan. Refleks Ragil mencoba menghalangi Pandu, hanya sekali sentakan, Ragil terhempas ke belakang. Tertatih mencoba bangkit dengan bertelekan pada patung yang menjadi perebutan. Tenaga Pandu luarbiasa! Brotoseno, lebih memilih menopang Salaka.

"Salaka!" teriaknya. "Lepaskan! Jangan paksakan dirimu!"

Salaka tampak menolak.

Candina kebingungan. Ingin bergerak ke arah Pandu dan menghajarnya, namun khawatir gerakannya akan membuat celaka Salaka. Silva pun tampak panik dan tak yakin.

"Atau kau mau mati di sini, Salaka?" ancam Pandu.

"Mas Pandu!" teriak Silva.

"Diam! Kamu nggak tau, siapa Salaka sebenarnya!" teriak Pandu. "Aku beri sekali kesempatan, Salaka! Aku belum mengerahkan seluruh tenagaku!"

Salaka mencoba bersemedi. Sama sekali tak menyangka, dalam tim delapan hektar Silva, terselip pengkhianat.

"Salaka, lepaskan!" pinta Brotoseno.

"Masih berani coba, Salaka?!" Pandu tertawa mengejek. "Itu yang menyebabkan sosok ini mati dan terhina selama ribuan tahun di sini!"

Salaka mencoba tetap tenang, tak melepaskan.

"Matilah kau!" teriak Pandu ganas.

Kekuatan Pandu yang tak diperkirakan, melibas Silva dan Candina yang seketika terhuyung, melemah bagai terhisap kekuatan lain hingga kaki-kaki mereka lumpuh.

"Silva!" teriak Salaka. "Bertahanlah! Candina?"

"Masih kurangkah kematian yang kau sebabkan, heh?" bentak Pandu.

Salaka tak menggubris, walau ia pun mulai merasakan seluruh kekuatan Brotoseno dan kekuatan dirinya semakin tak berarti di hadapan Pandu. Gemetar telapak tangan Salaka. Di bawah terik matahari yang berpadu dengan permukaan patung, seolah mengasap permukaan kulitnya hingga melepuh terbakar.

Teriakan Pandu terlepas, mencoba menghantam kekuatan Salaka untuk terakhir kali. Bersamaan sesosok tubuh melompat masuk ke dalam area penggalian.

🔅🔆🔅

"Kau mencari ini, kan?" sebuah suara mengiringi kehadiran yang mengejutkan.

Mata Pandu nanar. Berkilat merah.

"Aku yang mengambilnya, Pandu!" sentak Najma, memperlihatkan benda berkilau di bawah terik matahari.

Salaka, yang semakin melemah, tampak pucat walau berharap.

Seorang gadis berdiri di hadapan mereka.

"Kamu mau lihat apa yang bisa kulakukan dengan kendi ini?" tanya Najma.

Pandu menggeram marah.

"Jangan macam-macam denganku!" teriaknya.

"Kamu pikir bisa seenaknya menguasai manusia," ujar Najma tegas. "Pemimpinmu sudah kalah ribuan tahun lalu. Hari ini pun, tetap sama!"

Pandu terbahak.

Silva memegangi lengan Candina dan Salaka, mencoba saling menguatkan.

"Aku akan mengalahkanmu," Najma menatap teguh ke arah Pandu, "Dubiksa!!"

Kendi perak di tangan Najma terangkat ke atas, mengalirkan air jernih yang mengucur perlahan ke sekujur tubuh patung. Debit air di dalam kendi hanya sejumlah kecil benda cair, namun bagai menyapu kotoran di atasnya.

"Silva! Ambil gelangnya!" teriak Najma.

Silva ragu. Keraguan yang membuatnya terlambat.

Dubiksa di dalam tubuh Pandu, membanting dan mencekik Pandu hingga tubuh pemuda itu terhantam keras ke tanah. Darah mengucur dari lubang hidungnya. Silva berteriak memanggil nama abangnya, seiring tubuh Salaka ambruk dan ditopang Brotoseno yang memerintahkan agar rombongan segera kembali. Bayang gelap Dubiksa, tampak mencari-cari raga sebagai tempatnya berlindung. Namun senjata perak Brotoseno dan pasukannya, juga berbagai perkakas perak yang dibawa, tak membuatnya bergerak leluasa.

Gelegak tenggorokan Pandu menandakan Dubiksa telah ke luar, dan mencari cara melawan semua.

"Kau ingin kami menghajarmu dengan ini?!" Najma menggertak marah, mengangkat tangannya dengan cincin dan gelang perak.

Teriakan marah Dubiksa terdengar tunggang langgang. Bisikannya terdengar di telinga semua.

"Aku akan mengejar kalian semua!"

Najma, yang berpeluh dan panik, menatap patung yang telah bersih seutuhnya. Kendi perak dan air sungai, seolah menjadi penyucian jiwanya.

Walau sebuah jawaban samar telah didapat, akhir dari hari itu benar-benar mengguncangkan.

🔅🔆🔅

Salaka dilarikan ke Javadiva, tubuhnya tak mampu lagi berada lebih jauh dari pusat wilayah rahasia yang mengikat kekuatan jiwa dan raga kasarnya. Pasukan Brotoseno menemani Salaka hingga kembali ke persembunyian di dekat Javadiva. Candina selalu mengiringinya, namun tidak dengan Silva.

Pandu harus segera ke rumah sakit karena parahnya benturan di kepala.

Rendra tampak tak mampu menahan amarah melihat kondisi Pandu. Fuji masih dalam tahap pemulihan yang mudah mengalami guncangan.

"Anak sialan!" teriak Fuji, melihat Silva menangis di sisi Pandu. "Kamu memang anak haram yang selalu bikin masalah! Lihat! Baru sebentar Pandu sama kamu sudah celaka kayak gini?! Gimana ceritanya Pandu bisa sama kamu??"

"Kenapa bisa begini, Silva??!" tanya Rendra, tak percaya.

Rendra mencengkram lengan Silva, memisahkannya dari Fuji yang bersikap agresif.

"Kenapa bisa begini?!" Rendra mencoba mengatur napas.

Wajah Silva basah.

Matanya ketakutan.

Bibirnya bergetar.

"Mbak Najma, Mas Rendra…," suara Silva bergetar. "Mbak Najma…"

Rendra menarik napas berat dan kacau.

Percakapannya dengan Pandu.

"Bu Tina ketahuan mencuri barang-barang berharga Mama," ucap Pandu. "Coba selidiki pak Koko. Aku khawatir, mereka satu keluarga, gak ada yang bisa dipercaya."

Apakah Najma benar-benar yang membaca kekacauan bagi mereka semua, termasuk pada Silva dan sekarang Pandu? Setelah Fuji hampir meregang nyawa di rumah sakit, keadaan Pandu benar-benar membuat jiwa Rendra nyaris runtuh. Berbagai pertanyaan menghantam benak.

Kemalangan apa yang tengah menimpa keluarga mereka?